Strategi
Pertahanan Esensi dan Eksistensi Bahasa Ibu
dalam
Kehidupan Masyarakat
Oleh Ade Safri Fitria
Bahasa
Ibu (Bahasa Asli, Bahasa Pertama; secara harfiah mother tongue dalam bahasa Inggris) adalah bahasa pertama yang
dipelajari oleh seseorang, dan orangnya disebut penutur asli dari bahasa
tersebut. Biasanya seorang anak belajar dasar-dasar bahasa pertama mereka dari
keluarga mereka. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa Ibu
memiliki arti yakni bahasa pertama yang dikauasai manusia sejak lahir melalui
interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan
masyarakat lingkungannya. Orang tua dan
lingkungan mempunyai andil besar terhadap pemerolehan bahasa yang akan
dipejarinya di lembaga formal. Dijelaskan dalam aliran behavioristik Tolla
dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) bahwa proses penguasaan bahasa pertama
(B1) dikendalikan dari luar, yaitu oleh adanya rangsangan yang disodorkan
melalui lingkungan. Dalam hal ini keluarga (ayah, ibu, kakak, nenek, kakek) atau
orang-orang dewasa yang terdapat di sekitar anak merupakan sosok atau model
yang paling dekat dengan anak usia dini yang menjadi suatu panutan bagi anak.
Selain itu, anak usia dini memiliki karakteristik imitasi (meniru). Anak usia
dini selalu meniru kegiatan-kegiatan orang dewasa atau keluarganya baik itu
tingkah laku yang dilakukan keluarganya maupun bahasa yang diucapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Kepandaian
dalam bahasa Asli sangat penting untuk proses belajar bahasa berikutnya, karena
bahasa Ibu dianggap sebagai dasar cara berpikir. Kepandaian yang kurang dari
bahasa pertama seringkali membuat proses belajar bahasa lain menjadi sulit. Oleh
karena itu, bahasa Ibu memiliki peran pusat dalam pendidikan. Pentingnya peran
bahasa Ibu memicu kemunculan perspektif yang menganggap bahwa bahasa Ibu memang
wajib dipertahankan esensi dan eksistensinya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Beberapa peran bahasa Ibu terhadap seorang anak di antaranya yakni bahasa Ibu
merupakan alat ekspresi dan komunikasi bagi anak, bahasa Ibu merupakan sumber
pengetahuan bagi anak, bahasa Ibu merupakan pertahanan
yang kuat untuk melawan tergerusnya pemakaian bahasa daerah yang terjadi di era
globalisasi, dan bahasa Ibu menjadi
bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah. Berikut beberapa langkah yang
dapat ditempuh dalam rangka mempertahankan esensi dan eksistensi bahasa Ibu.
1. Pengindahan Peringatan Hari Bahasa Ibu
UNESCO
telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Hal
ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya bahasa Ibu untuk terus diperingati
dalam arti "dipertahankan" pemakaiannya dan "diberdayakan"
fungsinya. Dalam literatur sosiolinguistik makro, kajian pemertahanan bahasa lazimnya
tertuju pada bahasa Ibu dalam konteks bilingual, yang dalam hal ini terdapat
bahasa Ibu (minor language) atau
bahasa etnis bersehadapan dengan bahasa utama (major language), seperti bahasa nasional. Hal ini relevan dengan
konteks Indonesia, yang di dalamnya terdapat sekitar 700 bahasa etnis, dengan
jumlah penutur yang sangat beragam dari puluhan ribu sampai puluhan juta. Sejak
tahun 1951, UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa
pengantar pendidikan. Hal itu merupakan langkah konkret dalam pemertahanan dan
pemberdayaan bahasa Ibu. Pemertahanan bahasa ibu (language maintenance) lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja,
antara lain, untuk mewujudkan diversitas (keberagaman) kultural, memelihara
identitas etnis, memungkinkan adaptabilitas (kemampuan beradaptasi) sosial, secara
psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan meningkatkan kepekaan linguistis
(Crystal, 1997). Kegiatan peringatan hari bahasa Ibu dikemas dengan mengangkat
nilai-nilai kebudayaan lokal yang berkaitan dengan bahasa lokal misalnya lomba
menyanyi tembang daerah seperti macapat
di Jawa untuk tingkat provinsi.
2. Pembentukkan Peraturan yang Mengikat Eksistensi
Bahasa Ibu
Hal
ini dapat diwujudkan melalui adanya pemunculan peraturan yang merawat
keterpeliharaan pengindahan bahasa Ibu atau bahasa daerah sebagai bahasa yang
digunakan sehari-hari di dalam bermasyarakat setelah bahasa nasional seperti
pemunculan peraturan hari penggunaan bahasa Ibu yang dilaksanakan rutin setiap
hari tertentu dalam satu pekan baik di lingkungan pendidikan formal maupun
lingkungan sosial secara luas seperti keluarga, ruang kerja, ruang dinas, dan
lain-lain. Dengan adanya peraturan yang dapat mengikat eksistensi bahasa Ibu
tentu secara tidak langsung maupun secara langsung penggunaan bahasa Ibu atau
bahasa Daerah akan terlestarikan.
3. Pemuatan Bahasa Ibu dalam Mata Pelajaran Muatan
Lokal
Dengan
masuknya bahasa Ibu dalam mata pelajaran muatan lokal tentu mampu
mengoptimalkan ruang pendidikan formal sebagai penjaga esensi dan eksistensi
bahasa Ibu dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga merupakan upaya
optimalisasi penyertaan bahasa Ibu dalam ruang pendidikan formal di luar
penempatan bahasa Ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan tingkat dasar. Dengan
diajarkannya bahasa Ibu di ruang pendidikan formal mampu memberikan dampak
perluasan pengetahuan seorang anak dalam memahami bahasa daerahnya dibanding
dengan pengetahuan yang hanya ia dapatkan di ruang keluarga. Contohnya yakni
anak akan lebih menguasai pengetahuan yang lebih luas seperti pemahaman tembung
kosok balen, aksara Jawa, geguritan, dan hal lain dalam konteks
budaya Jawa dibandingkan dengan perolehan anak tentang bahasa Ibu atau bahasa
Daerah yang hanya diajarkan tentang pelafalan istilah-istilah dan penggunaan
tata bahasa seperti bahasa Jawa Ngoko dan Jawa Krama dari lingkungan
keluarganya.
4. Pemberlakuan Ruang Bahasa Ibu di Setiap Daerah
Indonesia
Langkah
ini dapat dititik beratkan pada peran pemerintah daerah dalam rangka merawat
kelestarian bahasa daerahnya dengan penguatan partisipasi masyarakat dalam upaya
ini. Dengan adanya ruang atau sudut-sudut bahasa Ibu, masyarakat umum di setiap
daerah maka masyarakat baik penutur asli maupun penutur asing dari suatu bahasa
daerah akan semakin terbiasa menggunakan bahasa lokalnya. Untuk penempatan
sistem ini bisa dilakukan dimanapun akan tetapi hal ini dapat memberikan dampak
yang cukup besar apabila sistemnya diletakkan pada ruang-ruang yang sekiranya
berada di sekitar ruang publik atau pusat keramaian sehingga banyak masyarakat
yang terpengaruh dibanding penempatan ruang bahasa Ibu di sudut terpencil dan
sepi. Contohnya pengaktualisasian Taman Kota Berbahasa Jawa.
5. Sosialisasi Keterkaitan Esensi dan Eksistensi Bahasa
Ibu Terhadap Penanaman Nasionalisme pada Anak Sejak Dini
Sosialisasi yang menerangkan keterkaitan antara
esensi dan eksistensi bahasa Ibu terhadap penanaman nasionalisme pada generasi
sejak dini juga sangat penting. Selain mengoptimalkan peran orang tua dalam
lingkungan pendidikan informal (keluarga), sosialisasi ini juga dapat dilakukan
melalui penyuluhan-penyuluhan atau seminar sebagai bentuk kerjasama antara
pemerintah dengan badan balai bahasa, lembaga pendidikan, serta lembaga
kemasyarakatan. Dengan pelestarian bahasa Ibu tentu saja hal ini memberikan
pengaruh terhadap peningkatan rasa nasionalisme dalam diri generasi masa kini
dengan pendalaman-pendalaman pemahaman terhadap esensi bahasa Ibu itu sendiri. Contohnya
penanaman rasa cinta tanah air melalui pembentukkan tata perilaku atau
kesantunan seorang anak melalui pendidikan bahasa Ibu di lingkungan Jawa dengan
penerapan tata bahasa Krama Halus misalnya.
6. Pembuatan Kamus Bahasa Ibu atau Bahasa Daerah
Digital yang Ramah Anak
Di
era yang serba modern ini segala hal tentang kehidupan banyak sekali yang dapat
dimuat dan diakses melalui jejaring sosial bahkan segala kalangan masyarakat
dapat andil di dalamnya tanpa terkecuali golongan anak-anak. Orang tua masa
kini sudah tak sedikit yang mulai memfasilitasi anak-anaknya dengan fasilitas
gawai, laptop, dan berbagai jenis alat digital lainnya. Melihat keadaan ini,
untuk meminimalisirkan dampak negatif penggunaan fasilitas digital bagi seorang
anak, dengan adanya “Kamus Bahasa Ibu Digital yang Ramah Anak” dapat menjadi
alternatif yang solutif. Ramah anak dalam hal ini yakni penerapan cara
penyampaian informasi terhadap pembaca (anak-anak) dengan metode yang mudah
diterima atau ditangkap. Aktualisasinya dapat dikemas melalui bentuk kamus yang
bergambar, karena anak-anak pada umumnya memang lebih suka melihat gambar
daripada membaca rangkaian berupa tulisan huruf perhuruf atau angka demi angka.