Minggu, 13 September 2020

Akan Dikemanakan Kaderisasi KM FKIP?

     Tak terasa setengah tahun yang telah berlalu ternyata seperti halnya 6 bulan perjalanan. Ya tidak jauh dari angka itu istilah “Yo meh kepiye meneh?” (ya mau gimana lagi?) menjadi perenungan rekan-rekan organisatoris sekaligus menjadi simbol kebesaran hati yang berupaya menerima “kahanan” perkuliahan dan organisasi yang dibenturkan pandemi covid-19 yang juga memaksa setiap individu untuk sesegera mungkin mencari jalan-jalan pintas demi segala keberlangsungan hidup; seperti membiasakan kehidupan serba daring misalnya.
“Pemiranya aja online, dedikasi dan segala prokernya juga online. Wkwk.”
      Terlalu lama otak tumpul dengan kehidupan yang serba dipercandu layar, sampai pada akhirnya celetuk itu muncul di lamunan setiap kali gabut. Sepintas menengok bagaimana memorabilia gerbang kisah Organisasi Mahasiswa (Ormawa) KM FKIP periode 2020/ 2021 aku (Ade) sebagai emaknya DPM FKIP, Kholid dan Rudi sebagai Ketua dan Wakil Ketua BEM FKIP, Singgih Ebit ujung tombak Himaprodi PBSI, Nurvan Arsyada ortu EDSA, Qirom Jian wali Himapipa, Rouf Heni pak’e buk’e Himatika, dan Murdani Lia payung Himapbio awal (banget) terpilih sebagai pimpinan Ormawa KM FKIP kami teko gas-gasan konsolidosa di belakang Sekre Himpunan membahas wacana-wacana brilian untuk pemajuan KM FKIP. Disusul dengan hadirnya sosok Mbak Adin yang sudi menjadi Sekjenku di DPM membuat ruh optimisme akan keberhasilan seluruh lembaga ormawa FKIP semakin cerah.
     Berbagai drama yang ditempuh demi mendapat kolega-kolega militan pada akhirnya bertemulah para insan yang hingga kini digariskan untuk bertahan sebagai rekan seperjuangan baik teman-teman DPM FKIP parlemen abdi rasa, teman-teman BEM FKIP kabinet abdi karya, keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) FKIP yang menjadi satu garda keluarga yang masih setia menjaga istilah “KM FKIP” sekalipun berbagai peliknya keadaan selama pandemi menjadi sandungan dinamika ormawa periode saat ini. Ehm, BTW nggak sengaja juga lho gais otakku dan otak Kholid Rudi seketika aja kompakan membentuk istilah “Parlemen Abdi Rasa” dan “Kabinet Abdi Karya” di masing-masing lembaga kami tanpa kompromi sebelumnya, itu pun kami sadari setelah DPM BEM rilis struktur. Secara sederhana dari sini pun dapat tercermin betapa UWUW-nya kita orang sedari awal membentuk impian yang sevisi untuk keberlangsungan ormawa FKIP.

Suka Duka Ormawa Periode Pandemi
“Esensi berorganisasi tu apa sih kalau bukan belajar untuk menghadapi masalah?”
     Entah berapa manusia yang kerap menyadarkan hal demikian pada ku. Secara tidak spontan akhirnya pola pikir yang tertanam di benakku berorganisasi berarti belajar hidup di antara segala wujud kesengsaraan yang setiap detiknya menjadi rentetan waktu penuh kemubalan (kepusingan). Tapi yaa aku sepakat dengan falsafah Jawa yang selalu menanamkan idiom “Menungso kui opo nandure” artinya apa yang akan menjadi penentu masa depan akan berbanding lurus dengan usaha, pengorbanan, pembelajaran dan segala tindakan di hari-hari kemarin dan saat ini. Pun dengan ungkapan “Jer basuki mawa beya” aku menjadi semakin mengerti organisasi adalah ruang yang tidak salah untuk membentuk penghayatan betapapun kebahagiaan (kesuksesan) dalam hidup hanya akan diraih dengan pengorbanan-pengorbanan. 
     Lebih kekirian kekinian lagi dengan meminjam jargon “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk” milik Tan Malaka aku kian sepakat bahwa melalui organisasilah pembelajaran hidup yang ilmunya tidak ada di bobot SKS mata kuliah dalam kelas justru bisa dengan sebegitu gratisnya mampu diperoleh melalui perlbagai ketertekanan, kepeningan, kesedihan, dan lagi-lagi “pengorbanan”. Aku tak begitu berminat menyisir hal apa saja yang didapat dari kehidupan berorganisasi karena rasanya aku akan terlalu menggeneralisasi indikator capaian pembelajaran di luar kelas, akan tetapi sedikit menyisir dan berbagi sepenggal perjalanan tentu saja melalui pembentukan organisasi mahasiswa (ormawa) aku kian mendapati makna-makna unik kehidupan mulai dari indahnya memiliki segudang relasi, keterampilan manajemen diri dan kelompok, terasahnya kemampuan memimpin, tahan banting, percaya diri, pola pikir terbuka, dan tetek bengek lain sampai bahkan yang paling membedakan ormawa dengan organisasi sekolah adalah satu “kesadaran peran”. Kesadaran peran tak sebatas pada bagaimana kesangaran seorang individu yang melawan tirani sebuah rezim dengan berdemonstrasi, tidak. Lebih dari pada itu memang dengan segala dinamika yang membenturkan aku menjadi paham bagaimana semestinya kehidupan seorang mahasiswa mempertanggungjawabkan statusnya sebagai mahasiswa itu sendiri.
     Kesadaran peran yang tertanam di masing-masing jiwa rekan ormawa KM FKIP tak salah jika pada akhirnya mengalami fase yang krisis akibat wacana-wacana manis di awal tetiba terkikis. Kejenuhan-kejenuhan komunikasi daring yang ditandai dengan menurunnya fungsi utama Whatsapp Grup (WAG) sebagai media keseharian ormawa menjadi kerikil yang memicu masalah-masalah baru. Tumpukan tugas dosen yang tidak sedikit terlalu “bajigur” pun turut mempengaruhi bagaimana spirit kawan-kawan dalam mempertahankan peranan diri di masing-masing kedudukannya. Ah ya, tidak mengelak memang inilah yang terjadi. Rasa pekewuh untuk mengkritik mengevaluasi pun rasanya kian terpupuk dan tumbuh subur dibanding hasrat sebelum organisasi ditimpa kahanan serba daring. Memang bahasa komunikasi primer (langsung) dengan sekunder (tidak langsung) memiliki perbedaan yang sangat signifikan dari segi penyampaian maupun penerimaannya.
     Tak hanya masalah pengkomunikasian, psikis efek terlalu lama di rumah dan jarang berinteraksi sosial juga memicu otak relatif enggan memikirkan hal-hal yang dianggap berat. Dari permasalahan sejenis inilah yang sebenarnya menjadi akar timpangnya peran pengisi struktur ormawa. Di sisi lain teman-teman yang masih mau dan mampu surviv menjadi kian terbentuk karena terbiasa tetap melangkah walau pincang, tetap bermanfaat meski tersayat. Menjamin suatu kesadaran intrapersonal memang bukan perkara mudah, tinggal bagaimana kita belajar dari keadaan ini untuk memahami miniatur kehidupan yang mengenalkan bahwa nyatanya dalam keberlangsungan sosial tidak semua individu memiliki daya tahan bermain peran yang seragam dengan kadar ‘kesadaran’ kita. 
     Terlepas dari sandungan keadaan rumah tangga ormawa, periode pandemi covid-19 juga dihujani tekanan yang tidak kalah dahsyat dari sisi luar. Desakan struktural fakultas yang menuntut ini itu tetapi mempersulit sistem penganggaran, misalnya. Anggaran yang serba dipangkas 50% dari penganggaran awal dengan kriteria pencairan yang cukup memutar balikan otak pun menjadi sensasi tersendiri bagi ormawa periode kali ini. Proker primer serba daring terancam “kurang ngena” dengan sasaran dan harapan semula. Mengharukannya teman-teman ormawa KM FKIP baik legislatif maupun eksekutif justru masih sebertahan itu dalam memperjuangkan program-program dengan mengedepankan asas kebermanfaatan.
     Meminjam doktrin guru sosiologi SMA-ku “Manusia akan selalu bersedia berserikat dan seperjuangan selama ia merasakan penderitaan yang sama rasa”,  aku menjadi bersyukur ada di masa ini bersama rekan-rekan dan adik-adik yang begitu gigih memperjuangkan peran, mengedepankan kebermanfaatan, lebih rutin saling menguatkan meski sekadar spam chat sambatan misuhan, sependeritaan sepengharapan, dan masih banyak hal-hal manis yang ternyata menjadi kesan pembeda dibanding kehidupan berorganisasi di masa yang “B” aja.

Pergibahan Kaderisasi KM FKIP Duniawi
Rasa sulit untuk melepas, khawatir pada kedewasaan generasi yang semakin dipercemas, mempertanyakan kesiapan adik-adik kita, meragukan kecukupan bekal, semua itu hal yang sangat lumrah dirasakan suatu kepemimpinan terhadap nasib organisasi di periode selanjutnya. Kekhawatiran-kekhawatiran itulah yang menjadi simbol kasih sayang dan rasa memiliki baik antar personal maupun sebagai suatu kelompok (organisasi). Pandangan yang kerap ditanam dalam membicarakan kaderisasi “baik buruknya kepemimpinan selanjutnya adalah penentu gagal atau berhasilnya kepemimpinan saat ini”. Dari penanaman inilah rasa cemas itu hadir secara manusiawi.
     Perjalanan periode serba daring jelas berdampak mengurangi nilai-nilai pengalaman atau sisi empiris kader ormawa KM FKIP. Mungkin saja kawan-kawan paham bagaimana cara mengelola administrasi seperti membuat surat undangan atau proposal, mengerti mekanisme sidang dan rapat, paham prinsip merencanakan-melakukan-mempertanggungjawabkan dalam berorganisasi, tetapi secara luas banyak dari kita yang belum begitu mengenal antar pribadi, kurang mengerti dinamika pergerakan mahasiswa yang sesungguhnya, tidak turut demonstrasi di jalanan (eh), kurang gandem dalam merekatkan hubungan anatar personal, tidak cukup kenyang dengan sensasi makan bareng di angkringan, ribut di sekretariat, menyiapkan proker sembari nugas bareng, gabut atau langsung capcus sekretariat setelah makul, rebutan printer sekre Himpunan dan DPM BEM, misohi dosen di sekretariat, gibah di warung pojok atau kantin, apalagi sensasi diusir satpam akibat batasan jam malam, dan banyak hal-hal sederhana yang kurang tercatat dalam memori ormawa periode daring.
     Turun ke perspektif lain jika sebelumnya kita merenungkan bagaimana kurangnya kader Ormawa KM FKIP periode pandemi covid-19 kurang merasakan “sisi lain” berormawa, kita juga perlu menakar bagaimana nasib keterbentukan Maba KM FKIP 2020? Otadama yang dijajah PKKMB menjadi jendela utama yang menghantarkan mindset yang terancam degradasi (menurun) lho, Gais. Secara subjektif aku sinis dengan penggeneralan sistem proses penerimaan mahasiswa baru dengan penyebutan dan konsep “PKKMB” karena jelas:
1. PKKMB merupakan konsep kaderisasi mendikbud dan pihak birokrasi kampus untuk membentuk maba yang nasionalis (tapi cuma versi negara red: semoga paham maksudku),
2. PKKMB secara tidak langsung mengikis kebebasan organ mahasiswa untuk mengenalkan dunia pergerakan yang cenderung kerap mengkritisi sistem tatanan bernegara,
3. PKKMB mempersulit gerak organ mahasiswa dalam memahamkan esensi mahasiswa itu sendiri, 
4. PKKMB hanya mendidik bagaimana jalan ringkas menjadi seorang akademisi yang sukses dengan versi IPK bagus, sopan pada dosen, taat negara, dan kaya akan segudang prestasi, 
5. Ormawa hanya diperankan sebagai (maaf) pembantu umum,
6. Monggo diteruske dewe, Lor.
     Penelusuran Minat Bakat dan Penalaran (PEMANTAPAN) dan LKMM Pradasar yang biasanya diadakan secara luring mampu menjaring bibit-bibit unggul mahasiswa setiap prodi, membentuk daya nalar kritis, mengenal diri, bisa memanajemen diri, kerja tim, dan memiliki karsa yang solid perangkatan, tentunya juga memberi bekal paradigma seputar keormawaan. Nah, dengan penyesuaian serangkaian kaderisasi berbasis daring bagaimana ketercapaian proses pembentukan mahasiswa sesuai kebutuhan dan ‘kulltur’ keprodian?
     Mendaki ke atmosfer fakultas DPM maupun BEM FKIP juga dibuatnya memutar otak lagi-lagi karena kahanan yang mengharuskan celoteh “mau ngga mau” menjadi prinsip yang harus ditegakan. Berangkat dari wacana semula ingin merintis kelas legislatif di negeri FKIP tercinteh, naas semua harus raib lalu pupus karena keadaan belum memungkinkan sehingga munculah ide Program Edukasi Legislatif (PRODUKTIF) yang jujur saja muncul di sela lamunan yang disaksikan keheningan surga inspirasi kehidupan; kamar mandi. Hehe. Tidak munafik sejauh ini kaderisasi legislator di KM Untid maupun FKIP masih terbilang rendah sehingga dampaknya secara signifikan DPM sebagai organisasi yang merepresentasikan kepentingan dan kesejahteraan seluruh lingkup (prodi/ fakultas) yang didelegasikan melalui sistem kolektif-kolegial belum cukup terasa secara optimal. Aku rasa sejauh ini kaderisasi legislatif yang masih dirasa minim karena memang pengenalan dunia kelegislatifan mahasiswa itu sendiri jauh lebih tertinggal dari pada edukasi pereksuktifan, sehingga dengan mengucap “parunten akang teteh” sejauh ini DPM secara global masih kerap kurang maksimal dalam berperan karena orang-orang di dalamnya masih didominasi manusia yang “terpaksa” memilih jalan hidup sebagai legislator. Alasannya beragam, ada yang menjadikan DPM sebagai organisasinya orang-orang yang nggak pengen gabut tapi juga ga pengen capek-capek banget, paham kan? Yas, sejauh ini DPM masih dicap sebagai lembaga yang tidak terlalu banyak peran karena prokernya selalu terbatas padahal jika ditelisik lebih dalam jadi DPM itu uaboteeee ora jamak leh! Menjadi pemikir, konseptor, stabilitator, jembatan, orang yang peka, dll sebenernya itulah bekal-bekal krusial yang harus dilekatkan pada kader-kader legislator. 
     Menengok kaderisasi eksekutif; sejauh ini tidak dipungkiri pula lagi-lagi kader pemimimpin BEM FKIP justru mengalami fase calon tunggal setiap pemira dua tahun belakangan, itupun selalu mendrama terlebih dahulu untuk memunculkan sepasang pahlawan fakultas biru nan santun santuy. Artinya, ada apa dengan kaderisasi eksekutif fakultas? Bahkan kasarnya BEM FKIP pun dari masa ke masa tidak kalah sulitnya dengan DPM FKIP dalam mencari kader militan yang siap berdedikasi benar-benar dari hati (tanpa ajakan). Ya mungkin doktrin “FKIP IS THE BEST” dan ambisi akademik IPK terjaga dan lulus cepet menjadi budaya, sehingga kader-kader ormawa FKIP cenderung merasa cukup menyudahi perjalanan hanya sampai dedikasi maksimal di himpunan. Tetapi jika boleh menjustifikasi, setelah 3 tahun menghayati dinamika perormawaan FKIP aku berani menduga akar krisisnya kader fakultas juga berangkat dari kurang berhasilnya kaderisasi taraf himpunan. Bukan tanpa sebab, jika boleh ria aku pertama kali berangkat di ormawa memulai dari peran sebagai PSDM Himaprodi PBSI kemudian lanjut meniti karir sebagai kahim PBSI 2019, artinya aku memberi nilai lemah pada kaderisasi taraf himpunan karena aku sendiri pernah menyelami hiruk pikuknya.
     Pembiasaan ormawa KM FKIP yang mengedepankan asas kekeluargaan akhirnya menjadi suatu pola yang kebablasen alias kelewatan. Pasalnya kehidupan yang serba sinergis kurang bisa ditempatkan secara bijak. Mustinya keluarga himpunan paham posisi di mana harus berkompromi dan di mana harus saling berkompetisi. Maksudku kompetisi di sini adalah persaingan bagaimana pola persaingan sukses-suksesan kaderisasi himpunan. Contoh konkret antar himpunan saling berlomba mengemas PEMANTAPAN dengan versi yang lebih merujuk kestudian lagi, mbok yao ojo ngono-ngono wae koyo sek uwes-uwes. Bisa juga menempuh langkah saingan melalui pamer-pameran Badan Semi Otonom (BSO) atau komunitas keprodian, pemberian jalur alternatif kaderisasi di luar otadama prodi, Pemantapan, LKMM-PD, membangun strategi politik mahasiswa yang lebih hidup dan dinamis, menanamkan keyakinan ketika identitas prodi mampu menduduki suatu kekuasaan fakultas (BEM/ DPM) berarti pembentukan mahasiswa prodi tersebut dinilai maksimal, dan masih banyak cara lain. 
     Mengenang perjalanan suram tahun-tahun lalu sosok Buyung, Mas Presma aset FKIP dulu sempat menggegerkan Ormawa FKIP periode 2018. Jika tidak salah mengenang, yang kuingat kala itu Buyung menempelkan selebaran di sekitaran sekretariat yang tak aku ingat narasinya tapi di situ pada intinya Buyung mengkritik habis Ormawa FKIP dengan cuitan FKIP kehilangan mahasiswa lah, FKIP banyak mahasiswa apatis lah, dan entah apalagi sampai akhirnya ormawa FKIP berhasil diinisiasi untuk duduk melingkar membicarakan kultur keapatisan (meminjam istilah Buyung saat itu) yang sudah waktunya dimusnahkan dari pergerakan KM FKIP. Pada masa itu aku belum terlalu mengenal sobatque yang ternyata kader militan EDSA yang samaan PSDM semasa aku juga menjadi PSDM di Himaprodi PBSI. Dibarengi aku yang terlalu sering bergaul dengan organ eksternal dan senior-senior asal fakultas lain akhirnya aku terbiasa dibanjiri makian betapa cupunya ormawa FKIP lah, bahkan di era 2016 katanya FKIP pernah diteriaki fakultas banci oleh salah seorang aktivis fakultas lain karena tidak turut andil di aksi KM UNTIDAR, dan masih banyak budaya lama yang masih melekat erat di memori. Pun bukan tanpa pertanggungjawaban, Buyung yang mengkritik rumah sendiri telah terbukti dedikasinya selama ada di sirkel ormawa FKIP hingga detik ini setia menjaga citra fakultas biru di peran ke-presmaan-nya, pun denganku yang kerap protes pada senior-senior PBSI akhirnya berani berangkat nyakahim dan bertahan sampai kiprah di kursi Ketum DPM FKIP sampai kini.
     Tidak, maksudku tidak mengarah bahwa kader terbaik FKIP berarti harus menjadi seperti Buyung atau Ade yang IPK sangar tapi demo ya rajin, tidak Gais. Wkwk. Tetapi maksudku aku sepenuhnya merasakan bagaimana nurani kebanyakan kawan-kawan yang menyayangkan keadaan SDM FKIP, pola pergerakan ormawa yang mungkin masih dinilai monoton, atau apalah itu. Dengan rasa-rasa yang sepadan, cobalah mulai hari ini berani memberangkatkan hati untuk mempertanggungjawabkan keresahan dengan mengambil peran lalu menuntaskan perubahan itu sendiri. Pun belakangan aku berani meyakini bahwa fakultas kita tengah naik daun dengan sistem yang mulai lebih terbentuk semakin rapih (sejak dulu emang ormawa FKIP rapih), sinergisitas antar lembaga semakin solid, DPM semakin jelas pergerakannya, BEM semakin inovatif, Himpunan semakin dinamis, pemikiran-pemikiran kritis mulai kerap tumbuh subur di forum-forum kita, dan masih banyak lagi yang sebenarnya memang sudah menjadi peningkatan kaderisasi rumah biru. Tinggal bagaimana hari-hari ke depan Ormawa FKIP menjaga konsistensi peran dan mengentaskan PR untuk menghapus jarak antara Ormawa dengan Keluarga Mahasiswa umum.

Penutup
     Aku bersyukur telah menemu banyak hal di hari-hari yang panjang selama berormawa di Fakultas Biru. Mengenal banyak dinamika yang membentuk dan menemu banyak manusia baik yang membersamai proses adalah kesan paling bermakna. Teruntuk siapapun yang akan, sedang, dan telah berjuang terima kasih karena menjadi bagian dari catatan juang ruh pergerakan hal baik. Setiap masa ada dinamikanya masing-masing dan setiap dinamika selalu menjadi saksi juang bagi masing-masing masa. Perjuangan harus dituntaskan, pengorbanan harus tetap dirawat. Doa baik teriring bagi kalian yang telah meniti banyak kisah.
Salam.
Hidup mahasiswa!

Sabtu, 18 April 2020

Mampukah Himpunan Mahasiswa Bahasa dan/ atau Sastra Indonesia Mempertahankan Diri di Tengah Pandemi?

    Berbagai wacana manis kini ubah menjadi cerita ironis, tanpa diminta; jauh dari praduga seisi dunia dikejutkan wabah corona yang entah memang bencana atau konspirasi semata. Visi misi para pengisi takhta pimpinan pelbagai organisasi sedari pimpinan pemerintahan, hingga visi misi pimpinan organisasi kemahasiswaan akankah setabuh janji para politikus yang kerap diberi sentilan cuit satire “janji hanyalah barang dagang semasa pemilihan” (?). Tidak lain tidak asing kritik yang menghujani organisasi mahasiswa dengan sebutan budak program kerja atau event organizer (EO) kini diamini oleh semesta. Segala wacana kegiatan yang serba dirancang “wah” kini telah dipertumpul keadaan. Estimasi anggaran tahunan tinggalah rencana tanpa makna, ekspektasi euforia mahasiswa bahasa dan/ atau sastra tinggalah cerita, ingin bergerak tetapi dimensi dipisahkan jarak.
    Pandemi covid-19 memicu pulangnya kebanyakan mahasiswa ke masing-masing rumah (asal) tanpa terkecuali internal fungsionaris alias pengurus-pengurus himpunan mahasiswa bahasa dan/ atau sastra Indonesia. Dengan tiadanya objek dan subjek simbiosis organisasi antar penyejahtera dengan yang disejahterakan, jelas kini kampus masing-masing kita tinggalah sekadar gedung yang merindukan hiruk pikuknya. 
    Seluruh pemimpin himpunan mahasiswa bahasa dan/ atau sastra Indonesia agaknya kini dipaksa kenyataan untuk bersikap dingin kemudian menyembunyikan kegelisahan demi menenangkan siapapun yang ia pimpin agar tetap konsisten menjaga api pada segala dedikasi di tiap organisasi. Mungkin saja ada pemimpin yang benar-benar segera menginovasi gerakan, ada yang masih merancang, bahkan ada juga yang entah karena apa hingga kini masih belum melakukan apa-apa (eh). Semesta mendukungku untuk angkat topi kepada rekan-rekan penggerak organisasi yang berhasil memberangkatkan diri untuk melakukan segala bentuk aksi sosial di tengah maraknya wabah covid-19 (apapun aksi sosialnya) baik secara gerak kolektif maupun secara keorganisasian formal. 
   Garis merah harus membawahi keterangan “Pandemi Covid-19”. Keadaan mewabahnya virus ini tentu bukanlah suatu dinamika yang dikehendaki masing-masing pengurus hima, kahim atau ketum, koor program studi, jajaran birokrasi fakultas serta universitas khususon rektor, apalagi emak-emak kantin kampus. Dalam hal ini mau tidak mau kita harus mengamini bahwasanya memang manusia hanya bisa berencana, selebihnya semesta yang menentukan banyak hal. Apa yang menjadi rancangan di awal tak berujung manis, tersandung keadaan miris. Di tengah keadaan demikian, benarkah para pengisi struktur pengurus hima sedang pening merenungkan beban moral atas masing-masing jabatannya? Atau tidak sedikit dari mereka (para pengurus hima) sedang marah dengan semesta karena sebagian besar rancangan program kerjanya tersandung wabah? Akankah para aktivis yang kerap dihujani cibiran “budak proker” alias EO tetap mampu menjaga eksistensi organisasi di masa seperti ini? Terparahnya, akankah budak proker kini akan berubah menjadi sebatas “budak medsos” yang kontribusinya hanya bermain desain bingo untuk ditandai lingkar-lingkar, unggah dan menandai akun instagram hima, lalu diunggah ulang alias repost. Haha akankah tetap segabut itu arah gerak himpunan mahasiswa saat ini? 
   Anggaran yang semestinya digunakan untuk kepentingan penyejahteraan mahasiswa tetapi belum diresap melalui kegiatan hingga detik ini, sudahkah teman-teman pertanyakan nasib keuangan ini ke masing-masing orang tua di kampus larinya ke mana atau sedang terjaga oleh tangan siapa? Jika teman-teman saat ini tengah merenungkan nasib seminar keren yang sudah dirancang di awal, benarkah seminar masih menjadi gong program kerja hima yang paling memberi dampak dan meninggalkan makna? Tidakkah teman-teman berpikir bahwa di era saat ini secara fulgar kita patut mengakui bahwa seminar hanyalah program di mana mahasiswa dihadapkan dengan orang yang dianggap “mumpuni”, duduk tak sama rendah berdiri tak sama tinggi (karena pemateri sudah pasti umumnya dipanggungkan), mayoritas peserta lebih berhasrat untuk berswafoto demi konten media sosial, merunduk saat pemateri tengah berdalil bukan karena khusyuk menyimak tetapi karena sedang “disambil” asik dengan gawai masing-masing, menerima kudapan, menerima sertifikat, entah substansi apa yang diserap. Lalu, di mana titik kepatutan rekan-rekan untuk menyedihkan seminar yang gagal terselenggara? 
   Di sisi lain mayoritas hima juga memiliki bidang-bidang penyaluran minat dan bakat baik dengan kemasan lomba seperti ajang kompetisi baca tulis puisi atau essay, pelatihan-pelatihan seperti komunitas teater prodi, komunitas debat, kanal jurnalistik, dan lain sebagainya. Dengan adanya dampak pandemi, sudahkah teman-teman kehilangan akal untuk merealisasikan tanggungan moral hima dalam menyejahterakan dan membentuk mahasiswa secara umum sejenis ini? 
  Trobosan-trobosan yang paling relevan untuk keadaan masing-masing hima tentu hanya teman-teman sendiri yang dapat memformulasikannya kemudian menyimpulkannya dan mengaktualisasikan. Tetapi jika boleh bersaran, mungkin sebaiknya kuatkan terlebih dahulu mengenai pemahaman esensi himpunan mahasiswa adalah wadah penyejahtera mahasiswa secara meluas, bukan sekadar organisasi yang berisi hal-hal elitis yang segala kepentingannya hanya mengarah pada kebaikan dan kesenangan manusia-manusia yang ada di dalamnya saja (pengurus). Apapun keadaan dan tantangannya, rekan-rekan sendiri yang sudah memilih untuk berorganisasi. Memilih berkecimpung di organisasi artinya rekan-rekan memilih untuk hidup selalu ada di bawah masalah-masalah yang selalu bermunculan bukan? Nah, tentunya apapun yang menjadi kendala di organisasi harusnya setiap individu berhak dan wajib menyadari peranan diri. Grup whatsapp yang hanya ditanggapi beberapa manusia, rupanya ini menjadi penyakit bagi rumah tangga kebanyakan hima. Sibuk dengan masing-masing tugas-tugas daring tentu etisnya ini menjadi batasan kendala kehidupan pribadi sebagai mahasiswa seutuhnya bukan alasan yang patut dilempar sebagai kendala dalam melakukan peran di organisasi. Artinya, “profesionalitas” menjadi hal yang patut kita pertanyakan dalm hal ini. Manajemen diri dan pengelolaan waktu adalah tuntutan yang semestinya sudah menjadi keahlian organisatoris sejati. Bagaimana bisa memimpin manusia lain jika kepentingan pribadi belum bisa ditata sendiri? 
     Pelbagai masalah-masalah lain tentu akan menjadi beban pikir tersendiri bagi pemimpin yang menyadari bahwa dirinya memang seorang pemimpin. Kebaikan dan keberhasilan suatu organisasi ialah milik “bersama”, tapi buruk dan gagalnya organisasi adalah kesalahan utama bagi “pemimpinnya”. Berysukurlah siapapun yang kini tengah menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, bidang/ divisi/ departemen, dan bagi himpunan mahasiswanya. Mengutip ujaran Tan “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.”, sepatutnya kita yakin bahwa benang merah dari pendewasaan organisasi tidak lain hanya bersumber dari masalah-masalah yang dilalui sebagai rangkain proses. 
   Setelah pondasi-pondasi ini kokoh sebagai kuda-kuda kaki para pendedikasi himpunan mahasiswa, kemudian meniliklah ke dimensi yang konteksnya lebih luas lagi. Selain keharusan sebagaimana mestinya pemimpin sejati harus tetap mengendalikan kemampuan di tengah kenyataan, kembalilah untuk merefleksi perihal apa yang bisa kita beri sebagai kebermanfaatan melalui organisasi? Benarkah keadaan saat ini akan menekuk lututkan iktikad pengabdian rekan-rekan? Covid-19 memaksa setiap insan untuk bertahan pada perkembangan era, salah satunya ialah tuntutan yang mengharuskan kehidupan serba modern dan berpacu pada keberadaan teknologi masa kini; tanpa terkecuali bagi himpunan mahasiswa dan organisatoris sejati. Mungkin dengan adanya kemajuan teknologi rekan-rekan bisa memanfaatkannya untuk alternatif program-program pelatihan, diskusi daring seperti konsep yang tengah saya inisiasi belakangan ini, pemuatan karya ke blog atau website, unggah musikalisasi puisi mahasiswa umum melalui instagram atau youtube, dan lain sebagainya. Sedangkan peran yang berkaitan dengan pergerakan kampus mungkin rekan-rekan hima mulai menginisiasi pengkritisan kebijakan kampus masing-masing seperti perihal transparansi alokasi UKT semester ini, mengadakan tuntutan toleransi akademik, dan hal-hal lain yang sekiranya berdampak besar pada kesejahteraan mahasiswa umum yang rekan-rekan himpun. 
    Apapun yang terjadi, yang jelas badai hanya akan menyisakan pohon tinggi yang akarnya kuat tertanan. Artinya di lain sisi setiap masa ada masing-masing dinamika, setiap insan yang memilih jalan berkceimpung di dunia organisasi berarti ia siap menjadi individu yang selalu pening dan dihadapkan berbagai masalah lalu diharuskan tetap bertahan di segala keadaan. Organisasi yang dihujani masalah akan membentuk organisator sebagai individu-individu yang tangguh. Selamat mencari jalan, Seperjuangan. Tetaplah menjadi berguna untuk makna abadi, sebab mati bukan hanya milik si tua. Teruslah berproses untuk “memberi” jangan melulu berorganisasi sekadar untuk “mencari”. Terakhir; setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.

Panjang umur perjuangan!