Jumat, 13 Agustus 2021

Tak Perlu Penjudulan Bagi Curhatan untuk Bung Arif

  


Jika Plato membutuhkan puluhan tahun masa hidupnya untuk berguru pada Socrates, agaknya aku memerlukan seumur hidupku untuk berguru pada siapapun tanpa terkecuali pada sosok yang adanya lebih dari pada sekadar orang yang lebih dulu andil di GmnI, yakni Bung Arif; Kakak sekaligus sahabat bahkan tak jarang menjadi guru kehidupan, bagiku. Barangkali pengistilahan ini terlalu hiperbol, aku sebut Bung Arif adalah kawan dialektika semenjak masa krisis identitas selama pencarian pisau analisis segala problematika dunia gerakan mahasiswa. Saat aku mendapati titik terendah dalam hal kepercayaan diri hanya karena merasa teralienasi di himpunan, jenuh dengan pemateri serangkaian giat kaderisasi ormawa internal kampus Tuguran yang didominasi pemantik ulung laki-laki dan monoton yaitu lagi-lagi jika bukan Arif Budianto sudah tentu ada nama Krisnaldo Triguswinri atau satu lagi; Siam Khoirul Bahri di pamflet LKMM Pradasar, Dasar, Menengah, dan mulai muak dengan kultur keorganisasian saat itu, dari sanalah aku mulai merasa resah karena enggan merugi berproses di ruang yang menurutku tidak cukup sehat untuk mengembangkan diri. Aku yang tengah getol menyelami narasi-narasi kesetaraan, melalui banyak kontemplasi hingga jarang merebahkan diri untuk memuaskan dahaga atas diskusi, stimulan literasi, atau sekadar nongkrong di angkringan-angkringan hingga pagi buta, sejak saat itu aku mulai bersepakat bahwa membaca menjadi urgensi kematangan berpikir, bersikap, dan mewacanakan pelbagai gerakan baik secara formil keorganisasian atau secara kolektif.

Di tengah persoalan primitif; stigmatisasi organ eksternal dari sudut pandang dedengkot-dedengkot organ intra kampus, aku dulu berikrar bahwa suatu saat aku akan merepresentasikan iktikad kader eksternal yang memang bisa menghegemoni kultur keorganisasian kampus Tuguran tanpa tendeng praktik politik praktis tai kucing dan sepenuhnya konsekuen dengan keberpihakan pada kaum Marhaen yang sebetulnya. Seperti perjalanan yang Bung Arif tau, sedikit banyak pada akhirnya aku berhasil melawan keterasingan, stigmatisasi, mulai terbiasa teguh pada pembiasaan analytycal thinking, bahkan berkesempatan mengisi beberapa kanal diskusi dan mulai belajar menjadi pemateri di beberapa agenda internal maupun eksternal kampus sampai detik ini. Layaknya kutipan Tan Malaka yang sering Bung Arif ujar di beberapa obrolan, “pendidikan mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan” sampailah aku pada pengentasan diri atas pembentukan prinsip-prinsip hidup, penghayatan welas asih atau bahasa literatnya mungkin biasa kita sebut dengan istilah kemanusiaan, cakap adaptif dengan siapapun yang aku temui, barangkali itu hanya sekelumit hasil yang tengah kutuai setelah menyandang gelar sarjana pendidikan.

Kegagalan negara yang kita singgung semalam agaknya tidak lebih naif dari pada kawanan yang dulu terlalu berlebih antipati dengan politik praktis dan pragmatisme bahkan mencacimaki keberadaan organ ekstra, saat ini gelagatnya justru lebih menjijikan dari pada apa yang dulu mereka ludahi sendiri. Beberapa komunikasi politik yang mendatangi kita di masing-masing ruang saat ini ternyata belum juga bisa kita iyakan sebelum kita ‘kelar’ dengan diri sendiri, Bung. Beda halnya dengan mereka yang mudah dibeli dan gumunan dengan iming-iming konsensus wacana politik. Ironinya, di luar ada banyak kawan yang ternyata sudah kebelet mengharap penyelamatan kesejahteraan pribadi dengan cara-cara yang menumbalkan diri untuk menjadi kacung politik prematur. Kita sepakat sampai kapanpun politik secara esensial tetaplah sebuah ‘alat’, tinggal bagaimana hari ini kita jeli membaca peta, kesepakatan mutualisme konkret, dan tentunya tidak menghianati nurani.

Berbicara gerakan, selepas dari dunia kampus, perlahan adikmu ini mulai merapal bagaimana skeptisme tidak jauh bedanya dengan optimistik, Bung. Para marhaen yang tetap dikerdilkan perselingkuhan negara dengan borjuis-borjuis agung, saat ini sudah bukan lagi dongeng di perbincangan tepi jalan, tetapi sudah riil menjadi kesaksian sepanjang hari. Sialan memang! Sempat hadir pergolakan batin mungkin ada benarnya pandangan Gie tentang nasib baik; yakni tak pernah dilahirkan atau dilahirkan tetapi mati muda. Sebab nyatanya hidup kian kemari kian dihujani berjuta keharusan yang musti dipenuhi, seperti memikirkan saku adik, membayari belanjaan becer harian ibu, atau sekadar membeli kuota bulanan. Belum lagi lingkungan sekitar jika dirasa justru ulahnya semakin individualistik. Betul yang Bung Arif kata “semua ini kesalahan kapitalisme!”. Juga menyoal gerakan masa ternyata memang selaras dengan apa yang Bung Arif deskripsikan; bahwa sejatinya tidak pernah ada tendensi substansional dalam gerakan masa, semua hanya tentang pemenuhan eksistensi, cenderung pragmatis, inklusif, dan parokal. Itu sebabnya gerakan masa tak pernah menang secara urgensi tuntutan. Nyaris menyesali sebab pernah ada di dalamnya, tetapi ternyata semua tetap saja bagian dari proses pembentukan yang sarat akan kebermanfaatan.

Aku masih ingat betul bocah penjual krupuk yang menawarkan dagangannya saat kita tengah menanti sendekolo di emperan bakaran Bonpolo. Betapapun hidup memang sawang sinawang dan ternyata ada banyak kelas marhaen dari pada tingkat kemalangan marhaen itu sendiri, Bung. Mulai menelisik banyak hal baru di dunia luar, menuntunku kian mengerti ternyata memang hidup paling sejahtera tidak pernah bisa kita ukur dengan satuan angka semata, justru kedamaian adalah saat kita berhasil menjadi manusia yang berkecukupan dan selalu merasakan kepuasan batin pasca melakukan segala sesuatu. Ya, barangkali wujud nyatanya adalah saat Bung Arif dan Sarinah Ugix yang lapang hati menghidupi ‘Omah Sinau’ dengan hasil finansial yang mungkin terbilang belum seberapa tetapi sepenunhnya menikmati proses bagaimana mendampingi keberlangsungan belajar manusia sekitar. Pun demikian halnya yang aku rasakan di sini, pening meratap nasib yang belum bertemu jodoh rezeki pekerjaan pascalulus, tertekan sebab ekonomi keluarga turut terdampak pandemi, belum lagi banyak ekspektasi orang tua yang musti kuupayakan tetapi masih ada beberapa ruang dan aktivitas yang bisa aku jadikan sumber kedamaian tersendiri, Bung; seperti menyelami bacaan baru yakni literasi seputar efektifitas gerakan sipil, pembangkangan masal yang dilandasi kesadaran kolektif, membaca ‘peta’, dan berulang merenungkan bagaimana bisa keluarga buruh tani selalu tetap saja menjalani hidup sedemikian mengalir dan tak pernah menjual ketamakan apapun. Aku bangga dan bersyukur lahir di keluarga marhaen yang menanamkan nilai anti merampas segala sesuatu yang bukan menjadi haknya walau dalam keadaan sesulit apapun, Bung.

  Biar bagaimana juga aku selalu tetap resah dan gemas setiap ditawarkan kompensasi praktik kompromistik politik, Bung. Mulai tawaran beasiswa S-2 di kampus Gajah, posisi strategis di ormas basis masa, pelibatan proyeksi agenda 2024, ladang penghegemonian gerakan, atau sekadar makan minum gratis di kafe-kafe elit. Yang menjadi persoalan adalah betapa bangsatnya indoktrinasi kaderisasi sistem politik kita yang memang selalu menumbuhkan mindset generasi yang terbiasa dengan budaya menjilat, rakus, dan bermental pengemis. Seandainya tujuan hidupku sebatas ingin menjadi orang kaya dan ternama, mungkin sudah ada berjuta jalan yang bisa kutempuh untuk menuju Roma, Bung. Meski paham betul, usia saat ini seyogyanya memang harus mulai idealis realistis dan haram hukumnya jika terlalu kaku dalam berprinsip, tetapi tetap saja masih ada perenungan bukankah terlalu najis jika aku memakan dan menikmati seluruh tawaran ini di saat mereka yang jauh dari ‘akses’ sistem masih kesulitan memenuhi kebutuhan tugas usus dua belas jari dengan menahan lapar hingga berhari-hari. Di satu sisi, mungkin karena berulang kali tidak menemukan secuilpun pijar di lautan kontestasi, ujungnya aku tetaplah skeptis dengan pola kaderisasi politik hari-hari ini, Bung. Mungkin belum masanya, atau bahkan memang ketidakadilan akibat kapitalism di balik negara akan menjadi momok sekaligus musuh selamanya.

Terlepas dari semua ledakan di atas, aku senang dan sedikit lega bisa berbagi kisah baru dengan Bung Arif baik melalui pesan singkat, percakapan daring, atau tulisan semacam ini. Di manapun kelak kita berpijak, semoga tetap mencoba menjadi baik dan selalu lebih baik. Senada dengan penutup percakapan dari Bung Arif “melalui ruang politik atau pekerjaan profesional, kita harus menyejahterakan diri terlebih dahulu supaya suatu saat bisa lebih leluasa dalam gerakan apapun yang tentunya berpihak pada keberlangsungan hidup masyarakat sipil.” Terakhir, terima kasih atas apapun yang pernah Bung Arif ajarkan dan tauladankan. Lekas membaik, Bung Arif dan Bapak. Sem