Rudi
adalah seekor teman bajingan yang pernah aku kenal dengan segala kepal pembangkangannya
baik pada rezim, kecacatan peran organisasi mahasiswa, atau apapun yang berbau
dengan ketimpangan. Harusnya aku mulai berbincang sedari jumpa pertama di
Jember pada suatu agenda kongres yang ternyata begitu tidak bermutu. Sialnya saat
itu aku hanya menyadari ketidaktertarikannya untuk menjadi bagian fungsionaris
salah satu organisasi yang katanya mengayomi mahasiswa Bahasa dan Sastra
Indonesia seJawa Madura. Seekor teman ini justru sengaja semesta akrabkan
denganku semenjak agenda kompetisi debat tingkat daerah di kampusnya, Univet
Sukoharjo. Belum cukup banyak perbincangan saat itu tetapi tanpa mempertimbangkan
banyak hal ternyata kami cukup ‘nyambung’ untuk sekadar kongkow.
Tidak
pernah secuil pun perkiraan hadir untuk mengira bahwa pertemanan kami berlanjut
sejauh negara langgeng dalam perselingkungahannya dengan para elite kapitalis
di belakang ketabahan masyarakatnya. Perbincangan-perbincangan kecil berlanjut berkat
izin Akung Marx, barangkali. Hari-hari berbagi api berjalan begitu puitis sebab
bersama rekan satu ini aku kian menyadari betapa kerdilnya manusia yang tidak ‘membaca’.
Berkunjung ke sekretariat serasa padepokan mahasiswa tunawisma kala itu tidak berhasil
membuatku mengerti gambaran gerakan mahasiswa atau inovasi himpunan mahasiswa
sastra di sana, justru bangsatnya aku malah dipahamkan soal keparatnya mereka
yang bergurau dengan wakil rektor dengan begitu khidmatnya. Tak lupa Rudi putra
metal ini turut bersaran baiknya aku membawa oleh-oleh khas yang harganya cukup
ramah di kalangan kantong mahasiswa bidikmisi, yaitu Ciu Bekonang, Leh!
Perspektifnya
tentang kemajuan masyarakat Jawa dari sisi spiritualitas masih cukup lekat
membekas dan bahkan masih mendoktrin cara pandangku dalam memaknai pribahasa
Jawa “nrimo ing pandhum” atau umpatan “ndherek kersanipun Gusti”.
Wacana untuk melanjutkan studi kemudian menjadi budayawan atau keminatan
menjadi seorang politikus baginya dan bagiku entah masih tersisa sebagai harap
atau tidak, semoga apapun yang kini menjadi asa tetap selalu berpihak pada
narasi kebaikan.
Rud,
seperti ketabahan Mbok Sukijah juru kunci Tidar yang pernah aku dapati ketauladanannya
dalam romantism dialog seputar histori Pakuning Tanah Jawi, aku ingin
selalu hidup damai dalam setiap kesederhanaan dan setia menjaga amanah yang
selalu bertengger pada jiwa yang tepat. Tapi sialnya ternyata kita hidup
mustahil lepas dari ekspektasi dan nafsu. Seandainya aku tidak dituntut lulus
3,5 tahun dengan predikat cumlaude dan kembali ‘pulang’ mungkin aku akan
meraih kemerdekaan dengan mencoba bertapa demi olah roso yang lebih
serius. Rud, setelah lulus rasanya hidup paling sejahtera sepertinya hanya akan
dirasakan mereka yang bebas dengan dirinya sendiri tapi naas aku sudah tidak
lagi sebebas mahasiswa yang bisa diskusi di angkringan hingga pagi buta,
mengagendakan gerakan, beridealisme sebagai kekayaan terakhir, menggenjreng
gitar tanpa pertimbangan fals atau merdu, bedah film, membaca buku, menemani
kawanan bermabuk semalaman, menjadi saksi perselingkuhan aktivis-aktivis patriarkat,
atau menulis puisi sembari nge-vape dan ngopi. Mungkin setelah ini
dirimu turut menyusul kerinduan yang sejenis, atau bahkan sebaliknya kau justru
jauh lebih merdeka dari sebelumnya.
Panjang
umur, sehat, dan bermanfaat selalu di manapun setelah ini kita berpijak, Rud. Datuk
Tan Malaka barangkali akan terus mengawasimu, Rud. Sementara Eyang Sukarno akan
terus mengawasiku untuk memastikan cucunya setia bermarhaenisme tetap melalui
ruang bawah tanah dan gerakan akar rumput atau bahkan resmi membanteng menjadi
kader ‘Ibuk’. Haha. Semoga jiwa reformis kita takan pernah raib ditelan penyesuaian
idealisme. Terima kasih untuk segala kisah yang pernah dibagi. Sukoharjo akan
selalu mengingatkan seluruh kenang tentang Himaprosa, Rudi yang metal, Ritha
yang criwis, Mas Angga yang penyayang, Mas Sandi yang sumeh, semua kawan yang
aku dapati di sana, dan Bekonang tentunya! Ohya satu lagi; mengingat Rudi juga
turut akan mengingatkan tentang ‘Darah Juang’ dan sahabat kita satu lagi; A Topan
si anarko metal UPI punya. Haha.
Tidak
ada selamat atau buket atas sarjana-mu, Rud sebab aku merasa bukan itu simbol kasih
sayang yang pantas dipersembahkan dari seorang aku. Anyway, maaf dulu
tak sempat menemui di stasiun Kutoarjo dan gagal meminjamkan powerbank
di tengah aksi Gejayan Memanggil 2019 karena keadaan yang tidak memungkinkan. Selamat
melanjutkan petualangan hidup!