Rabu, 08 September 2021

Rudi Si Sahabat Ketemu Gede Akhirnya Nyusul Sarjana Juga

Rudi adalah seekor teman bajingan yang pernah aku kenal dengan segala kepal pembangkangannya baik pada rezim, kecacatan peran organisasi mahasiswa, atau apapun yang berbau dengan ketimpangan. Harusnya aku mulai berbincang sedari jumpa pertama di Jember pada suatu agenda kongres yang ternyata begitu tidak bermutu. Sialnya saat itu aku hanya menyadari ketidaktertarikannya untuk menjadi bagian fungsionaris salah satu organisasi yang katanya mengayomi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia seJawa Madura. Seekor teman ini justru sengaja semesta akrabkan denganku semenjak agenda kompetisi debat tingkat daerah di kampusnya, Univet Sukoharjo. Belum cukup banyak perbincangan saat itu tetapi tanpa mempertimbangkan banyak hal ternyata kami cukup ‘nyambung’ untuk sekadar kongkow.

Tidak pernah secuil pun perkiraan hadir untuk mengira bahwa pertemanan kami berlanjut sejauh negara langgeng dalam perselingkungahannya dengan para elite kapitalis di belakang ketabahan masyarakatnya. Perbincangan-perbincangan kecil berlanjut berkat izin Akung Marx, barangkali. Hari-hari berbagi api berjalan begitu puitis sebab bersama rekan satu ini aku kian menyadari betapa kerdilnya manusia yang tidak ‘membaca’. Berkunjung ke sekretariat serasa padepokan mahasiswa tunawisma kala itu tidak berhasil membuatku mengerti gambaran gerakan mahasiswa atau inovasi himpunan mahasiswa sastra di sana, justru bangsatnya aku malah dipahamkan soal keparatnya mereka yang bergurau dengan wakil rektor dengan begitu khidmatnya. Tak lupa Rudi putra metal ini turut bersaran baiknya aku membawa oleh-oleh khas yang harganya cukup ramah di kalangan kantong mahasiswa bidikmisi, yaitu Ciu Bekonang, Leh!

Perspektifnya tentang kemajuan masyarakat Jawa dari sisi spiritualitas masih cukup lekat membekas dan bahkan masih mendoktrin cara pandangku dalam memaknai pribahasa Jawa “nrimo ing pandhum” atau umpatan “ndherek kersanipun Gusti”. Wacana untuk melanjutkan studi kemudian menjadi budayawan atau keminatan menjadi seorang politikus baginya dan bagiku entah masih tersisa sebagai harap atau tidak, semoga apapun yang kini menjadi asa tetap selalu berpihak pada narasi kebaikan.

Rud, seperti ketabahan Mbok Sukijah juru kunci Tidar yang pernah aku dapati ketauladanannya dalam romantism dialog seputar histori Pakuning Tanah Jawi, aku ingin selalu hidup damai dalam setiap kesederhanaan dan setia menjaga amanah yang selalu bertengger pada jiwa yang tepat. Tapi sialnya ternyata kita hidup mustahil lepas dari ekspektasi dan nafsu. Seandainya aku tidak dituntut lulus 3,5 tahun dengan predikat cumlaude dan kembali ‘pulang’ mungkin aku akan meraih kemerdekaan dengan mencoba bertapa demi olah roso yang lebih serius. Rud, setelah lulus rasanya hidup paling sejahtera sepertinya hanya akan dirasakan mereka yang bebas dengan dirinya sendiri tapi naas aku sudah tidak lagi sebebas mahasiswa yang bisa diskusi di angkringan hingga pagi buta, mengagendakan gerakan, beridealisme sebagai kekayaan terakhir, menggenjreng gitar tanpa pertimbangan fals atau merdu, bedah film, membaca buku, menemani kawanan bermabuk semalaman, menjadi saksi perselingkuhan aktivis-aktivis patriarkat, atau menulis puisi sembari nge-vape dan ngopi. Mungkin setelah ini dirimu turut menyusul kerinduan yang sejenis, atau bahkan sebaliknya kau justru jauh lebih merdeka dari sebelumnya.

Panjang umur, sehat, dan bermanfaat selalu di manapun setelah ini kita berpijak, Rud. Datuk Tan Malaka barangkali akan terus mengawasimu, Rud. Sementara Eyang Sukarno akan terus mengawasiku untuk memastikan cucunya setia bermarhaenisme tetap melalui ruang bawah tanah dan gerakan akar rumput atau bahkan resmi membanteng menjadi kader ‘Ibuk’. Haha. Semoga jiwa reformis kita takan pernah raib ditelan penyesuaian idealisme. Terima kasih untuk segala kisah yang pernah dibagi. Sukoharjo akan selalu mengingatkan seluruh kenang tentang Himaprosa, Rudi yang metal, Ritha yang criwis, Mas Angga yang penyayang, Mas Sandi yang sumeh, semua kawan yang aku dapati di sana, dan Bekonang tentunya! Ohya satu lagi; mengingat Rudi juga turut akan mengingatkan tentang ‘Darah Juang’ dan sahabat kita satu lagi; A Topan si anarko metal UPI punya. Haha.

Tidak ada selamat atau buket atas sarjana-mu, Rud sebab aku merasa bukan itu simbol kasih sayang yang pantas dipersembahkan dari seorang aku. Anyway, maaf dulu tak sempat menemui di stasiun Kutoarjo dan gagal meminjamkan powerbank di tengah aksi Gejayan Memanggil 2019 karena keadaan yang tidak memungkinkan. Selamat melanjutkan petualangan hidup!