
Jika Plato membutuhkan puluhan tahun masa
hidupnya untuk berguru pada Socrates, agaknya aku memerlukan seumur hidupku
untuk berguru pada siapapun tanpa terkecuali pada sosok yang adanya lebih dari pada
sekadar orang yang lebih dulu andil di GmnI, yakni Bung Arif; Kakak sekaligus
sahabat bahkan tak jarang menjadi guru kehidupan, bagiku. Barangkali pengistilahan
ini terlalu hiperbol, aku sebut Bung Arif adalah kawan dialektika semenjak masa
krisis identitas selama pencarian pisau analisis segala problematika dunia
gerakan mahasiswa. Saat aku mendapati titik terendah dalam hal kepercayaan diri
hanya karena merasa teralienasi di himpunan, jenuh dengan pemateri serangkaian
giat kaderisasi ormawa internal kampus Tuguran yang didominasi pemantik ulung laki-laki
dan monoton yaitu lagi-lagi jika bukan Arif Budianto sudah tentu ada nama
Krisnaldo Triguswinri atau satu lagi; Siam Khoirul Bahri di pamflet LKMM Pradasar,
Dasar, Menengah, dan mulai muak dengan kultur keorganisasian saat itu, dari
sanalah aku mulai merasa resah karena enggan merugi berproses di ruang yang
menurutku tidak cukup sehat untuk mengembangkan diri. Aku yang tengah getol
menyelami narasi-narasi kesetaraan, melalui banyak kontemplasi hingga jarang merebahkan
diri untuk memuaskan dahaga atas diskusi, stimulan literasi, atau sekadar
nongkrong di angkringan-angkringan hingga pagi buta, sejak saat itu aku mulai
bersepakat bahwa membaca menjadi urgensi kematangan berpikir, bersikap, dan mewacanakan
pelbagai gerakan baik secara formil keorganisasian atau secara kolektif.
Di tengah persoalan primitif; stigmatisasi
organ eksternal dari sudut pandang dedengkot-dedengkot organ intra kampus, aku
dulu berikrar bahwa suatu saat aku akan merepresentasikan iktikad kader
eksternal yang memang bisa menghegemoni kultur keorganisasian kampus Tuguran
tanpa tendeng praktik politik praktis tai kucing dan sepenuhnya konsekuen
dengan keberpihakan pada kaum Marhaen yang sebetulnya. Seperti perjalanan yang
Bung Arif tau, sedikit banyak pada akhirnya aku berhasil melawan keterasingan,
stigmatisasi, mulai terbiasa teguh pada pembiasaan analytycal thinking, bahkan
berkesempatan mengisi beberapa kanal diskusi dan mulai belajar menjadi pemateri
di beberapa agenda internal maupun eksternal kampus sampai detik ini. Layaknya kutipan
Tan Malaka yang sering Bung Arif ujar di beberapa obrolan, “pendidikan mempertajam
kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan” sampailah aku pada
pengentasan diri atas pembentukan prinsip-prinsip hidup, penghayatan welas
asih atau bahasa literatnya mungkin biasa kita sebut dengan istilah kemanusiaan,
cakap adaptif dengan siapapun yang aku temui, barangkali itu hanya sekelumit
hasil yang tengah kutuai setelah menyandang gelar sarjana pendidikan.
Kegagalan negara yang kita singgung semalam
agaknya tidak lebih naif dari pada kawanan yang dulu terlalu berlebih antipati
dengan politik praktis dan pragmatisme bahkan mencacimaki keberadaan organ
ekstra, saat ini gelagatnya justru lebih menjijikan dari pada apa yang dulu
mereka ludahi sendiri. Beberapa komunikasi politik yang mendatangi kita di
masing-masing ruang saat ini ternyata belum juga bisa kita iyakan sebelum kita ‘kelar’
dengan diri sendiri, Bung. Beda halnya dengan mereka yang mudah dibeli dan gumunan
dengan iming-iming konsensus wacana politik. Ironinya, di luar ada banyak kawan
yang ternyata sudah kebelet mengharap penyelamatan kesejahteraan pribadi
dengan cara-cara yang menumbalkan diri untuk menjadi kacung politik prematur. Kita
sepakat sampai kapanpun politik secara esensial tetaplah sebuah ‘alat’, tinggal
bagaimana hari ini kita jeli membaca peta, kesepakatan mutualisme konkret, dan tentunya
tidak menghianati nurani.
Berbicara gerakan, selepas dari dunia kampus,
perlahan adikmu ini mulai merapal bagaimana skeptisme tidak jauh bedanya dengan
optimistik, Bung. Para marhaen yang tetap dikerdilkan perselingkuhan negara
dengan borjuis-borjuis agung, saat ini sudah bukan lagi dongeng di perbincangan
tepi jalan, tetapi sudah riil menjadi kesaksian sepanjang hari. Sialan memang! Sempat
hadir pergolakan batin mungkin ada benarnya pandangan Gie tentang nasib baik;
yakni tak pernah dilahirkan atau dilahirkan tetapi mati muda. Sebab nyatanya
hidup kian kemari kian dihujani berjuta keharusan yang musti dipenuhi, seperti
memikirkan saku adik, membayari belanjaan becer harian ibu, atau sekadar
membeli kuota bulanan. Belum lagi lingkungan sekitar jika dirasa justru ulahnya
semakin individualistik. Betul yang Bung Arif kata “semua ini kesalahan kapitalisme!”.
Juga menyoal gerakan masa ternyata memang selaras dengan apa yang Bung Arif
deskripsikan; bahwa sejatinya tidak pernah ada tendensi substansional dalam
gerakan masa, semua hanya tentang pemenuhan eksistensi, cenderung pragmatis, inklusif,
dan parokal. Itu sebabnya gerakan masa tak pernah menang secara urgensi
tuntutan. Nyaris menyesali sebab pernah ada di dalamnya, tetapi ternyata semua
tetap saja bagian dari proses pembentukan yang sarat akan kebermanfaatan.
Aku masih ingat betul bocah penjual krupuk
yang menawarkan dagangannya saat kita tengah menanti sendekolo di emperan
bakaran Bonpolo. Betapapun hidup memang sawang sinawang dan ternyata ada
banyak kelas marhaen dari pada tingkat kemalangan marhaen itu sendiri, Bung. Mulai
menelisik banyak hal baru di dunia luar, menuntunku kian mengerti ternyata
memang hidup paling sejahtera tidak pernah bisa kita ukur dengan satuan angka
semata, justru kedamaian adalah saat kita berhasil menjadi manusia yang
berkecukupan dan selalu merasakan kepuasan batin pasca melakukan segala
sesuatu. Ya, barangkali wujud nyatanya adalah saat Bung Arif dan Sarinah Ugix
yang lapang hati menghidupi ‘Omah Sinau’ dengan hasil finansial yang mungkin
terbilang belum seberapa tetapi sepenunhnya menikmati proses bagaimana mendampingi
keberlangsungan belajar manusia sekitar. Pun demikian halnya yang aku rasakan
di sini, pening meratap nasib yang belum bertemu jodoh rezeki pekerjaan pascalulus,
tertekan sebab ekonomi keluarga turut terdampak pandemi, belum lagi banyak ekspektasi
orang tua yang musti kuupayakan tetapi masih ada beberapa ruang dan aktivitas
yang bisa aku jadikan sumber kedamaian tersendiri, Bung; seperti menyelami
bacaan baru yakni literasi seputar efektifitas gerakan sipil, pembangkangan
masal yang dilandasi kesadaran kolektif, membaca ‘peta’, dan berulang merenungkan
bagaimana bisa keluarga buruh tani selalu tetap saja menjalani hidup sedemikian
mengalir dan tak pernah menjual ketamakan apapun. Aku bangga dan bersyukur
lahir di keluarga marhaen yang menanamkan nilai anti merampas segala sesuatu
yang bukan menjadi haknya walau dalam keadaan sesulit apapun, Bung.
Biar bagaimana juga aku selalu tetap resah dan
gemas setiap ditawarkan kompensasi praktik kompromistik politik, Bung. Mulai tawaran
beasiswa S-2 di kampus Gajah, posisi strategis di ormas basis masa, pelibatan proyeksi
agenda 2024, ladang penghegemonian gerakan, atau sekadar makan minum gratis di
kafe-kafe elit. Yang menjadi persoalan adalah betapa bangsatnya indoktrinasi kaderisasi
sistem politik kita yang memang selalu menumbuhkan mindset generasi yang
terbiasa dengan budaya menjilat, rakus, dan bermental pengemis. Seandainya tujuan
hidupku sebatas ingin menjadi orang kaya dan ternama, mungkin sudah ada berjuta
jalan yang bisa kutempuh untuk menuju Roma, Bung. Meski paham betul, usia saat
ini seyogyanya memang harus mulai idealis realistis dan haram hukumnya jika terlalu
kaku dalam berprinsip, tetapi tetap saja masih ada perenungan bukankah terlalu
najis jika aku memakan dan menikmati seluruh tawaran ini di saat mereka yang
jauh dari ‘akses’ sistem masih kesulitan memenuhi kebutuhan tugas usus dua
belas jari dengan menahan lapar hingga berhari-hari. Di satu sisi, mungkin
karena berulang kali tidak menemukan secuilpun pijar di lautan kontestasi,
ujungnya aku tetaplah skeptis dengan pola kaderisasi politik hari-hari ini,
Bung. Mungkin belum masanya, atau bahkan memang ketidakadilan akibat kapitalism
di balik negara akan menjadi momok sekaligus musuh selamanya.
Terlepas dari semua
ledakan di atas, aku senang dan sedikit lega bisa berbagi kisah baru dengan Bung
Arif baik melalui pesan singkat, percakapan daring, atau tulisan semacam ini. Di
manapun kelak kita berpijak, semoga tetap mencoba menjadi baik dan selalu lebih
baik. Senada dengan penutup percakapan dari Bung Arif “melalui ruang politik atau
pekerjaan profesional, kita harus menyejahterakan diri terlebih dahulu supaya suatu
saat bisa lebih leluasa dalam gerakan apapun yang tentunya berpihak pada
keberlangsungan hidup masyarakat sipil.” Terakhir, terima kasih atas apapun
yang pernah Bung Arif ajarkan dan tauladankan. Lekas membaik, Bung Arif dan Bapak.
Sem