Selasa, 16 Juli 2024

Keanekaragaman Budaya di Indonesia (Tias Permata Aprilia Siswa Kelas IV SDN Dukuhturi 03, Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes)

Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau dengan berbagai macam suku, adat istiadat, bahasa, dan budaya. Keanekaragaman ini menjadi kekayaan bangsa yang perlu kita jaga dan lestarikan. Dalam karya ilmiah ini, kita akan membahas tentang keanekaragaman budaya di Indonesia serta pentingnya menjaga kerukunan dalam keberagaman tersebut.

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang keanekaragaman budaya di Indonesia dan pentingnya toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Keanekaragaman Budaya di Indonesia

  1. Suku Bangsa
    • Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa yang tersebar di berbagai pulau. Setiap suku memiliki kebudayaan, adat istiadat, dan bahasa yang berbeda-beda. Misalnya, suku Jawa, suku Batak, suku Minangkabau, dan suku Dayak.
  2. Bahasa Daerah
    • Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, terdapat lebih dari 700 bahasa daerah yang digunakan oleh berbagai suku di Indonesia. Contohnya, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Batak, dan bahasa Bugis.
  3. Pakaian Adat
    • Setiap daerah di Indonesia memiliki pakaian adat yang unik. Pakaian adat ini biasanya dikenakan pada acara-acara tertentu seperti upacara pernikahan, upacara adat, dan perayaan hari besar. Contoh pakaian adat adalah kebaya dari Jawa, ulos dari Batak, dan songket dari Sumatra Barat.
  4. Tarian Tradisional
    • Tarian tradisional merupakan bagian penting dari kebudayaan Indonesia. Setiap daerah memiliki tarian khas yang sering dipentaskan pada acara-acara budaya. Misalnya, tari Pendet dari Bali, tari Saman dari Aceh, dan tari Kecak dari Bali.
  5. Upacara Adat
    • Setiap suku di Indonesia memiliki upacara adat yang beragam. Upacara adat ini biasanya berkaitan dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian. Contohnya, upacara Ngaben di Bali, upacara Rambu Solo' di Toraja, dan upacara Kasada di Tengger.

Pentingnya Menjaga Kerukunan dalam Keberagaman

Keanekaragaman budaya di Indonesia adalah anugerah yang harus kita syukuri dan jaga. Dengan memahami dan menghargai perbedaan, kita dapat hidup rukun dan damai. Toleransi dan saling menghormati adalah kunci utama dalam menjaga kerukunan di tengah keberagaman. Mari kita bersama-sama menjaga dan melestarikan budaya bangsa agar tetap menjadi kebanggaan Indonesia.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang sangat kaya dan beragam. Keanekaragaman ini menjadi identitas bangsa yang harus kita lestarikan. Dengan menjaga kerukunan dan toleransi, kita dapat hidup damai dan harmonis di tengah perbedaan.

Daftar Pustaka

  1. Buku Pendidikan Kewarganegaraan
  2. Ensiklopedia Kebudayaan Indonesia
  3. Artikel tentang Keanekaragaman Budaya di Indonesia

Penulis
Nama : Tias Permata Aprilia
Tempat Tanggal Lahir : Brebes, 25 Mei 2012
Alamat : Karangtuang, Desa Dukuhturi, Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah

 

Manfaat Tanaman bagi Kehidupan Manusia (Alma Anindya Putri Siswa Kelas IV SDN Dukuhturi 03 Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes)

Pendahuluan

Tanaman memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Selain menjadi sumber makanan, tanaman juga memberikan manfaat lain yang tak kalah penting. Dalam karya ilmiah ini, kita akan membahas berbagai manfaat tanaman bagi kehidupan manusia.

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang berbagai manfaat tanaman dan pentingnya menjaga kelestarian tanaman di sekitar kita.

Manfaat Tanaman

  1. Sumber Makanan
    • Tanaman menyediakan berbagai jenis makanan seperti buah-buahan, sayuran, biji-bijian, dan rempah-rempah. Makanan dari tanaman mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.
  2. Penghasil Oksigen
    • Melalui proses fotosintesis, tanaman menghasilkan oksigen yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup di Bumi. Oksigen diperlukan untuk bernapas dan menjaga kelangsungan hidup.
  3. Pengatur Iklim
    • Tanaman membantu mengatur iklim dengan menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen. Hutan dan pepohonan juga membantu menjaga keseimbangan suhu dan kelembaban di bumi.
  4. Penyaring Udara
    • Tanaman dapat menyaring polusi udara dengan menyerap zat-zat berbahaya melalui daun dan akar mereka. Ini membantu menjaga kualitas udara yang kita hirup tetap bersih.
  5. Mencegah Erosi Tanah
    • Akar tanaman membantu menahan tanah dan mencegah erosi. Ini sangat penting untuk menjaga kesuburan tanah dan mencegah longsor.
  6. Obat-obatan
    • Banyak tanaman yang digunakan sebagai bahan dasar obat-obatan tradisional dan modern. Contohnya, tanaman jahe dan kunyit memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tanaman memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menjaga kelestarian tanaman dan lingkungan di sekitar kita. Dengan demikian, kita dapat menikmati manfaat yang diberikan oleh tanaman dan memastikan keberlangsungan hidup yang sehat dan seimbang.

Daftar Pustaka

  1. Buku Biologi Dasar
  2. Ensiklopedia Tanaman
  3. Artikel tentang Fotosintesis dan Manfaat Tanaman

Penulis 
Nama : Alma Anindya Putri 
Tempat Tanggal Lahir : Brebes, 30 September 2012
Alamat : Bayur, Desa Dukuhturi RT 07/ RW 06, Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah


 


Jumat, 03 November 2023

Sejarah Logo SMA Negeri 1 Bumiayu





         Logo SMA Negeri 1 Bumiayu dicetuskan oleh Bapak Abdul Rochim, B.A setelah SMA PEMDA diresmikan menjadi SMA Negeri 1 Bumiayu pada 5 November 1980. Pencetusan logo ini murni sebagai buah pikir dan kreatifitas Bapak Rochim sendiri yang saat itu tengah menjadi guru di SMA Negeri 1 Bumiayu lahiran 17 Agustus 1950. Bapak Abdul Rochim memiliki konsentrasi studi khusus geografi, tetapi selama menjadi guru di SMA Negeri 1 Bumiayu beliau juga mengampu mata pelajaran lain seperti seni rupa, sosiologi, antropologi, oseanografi, dan stenografi.

 Saat Bapak Abdul Rochim menjadi pembina OSIS SMA Negeri 1 Bumiayu yang pertama, Bapak Machali Ali Soedjono, B.A. sebagai kepala sekolah saat itu menugaskan beliau untuk menyusun rancangan logo sekolah. Kemudian Bapak Rochim menyusun rancangan logo semalaman membuat sketsanya dengan media cat air dan pagi harinya rancangan logo dirapatkan bersama kepala sekolah dan dewan guru. Dalam rapat tersebut pemaparan rancangan logo SMA Negeri 1 Bumiayu beserta filosofi yang disampaikan Bapak Rochim diterima dan ditetapkan sebagai logo resmi sekolah. Berikut filosofi logo SMA Negeri 1 Bumiayu.

                                        Logo SMA Negeri 1 Bumiayu yang pertama kali dibuat

1)    Lima bintang yang terbuat dari biji cengkih melambangkan Pancasila dan gambaran potensi alam di Bumiayu dan sekitarnya saat itu memiliki banyak kawasan yang ditanami tumbuhan cengkih,

2)   Sepasang sebelas butir padi hijau melambangkan bulan 11 (November) sebagai bulan berdirinya SMA Negeri 1 Bumiayu dan hijau dipilih sebagai warna padi dengan tujuan kelak kejayaan sekolah bertahan lama (abadi),

3)      Pena melambangkan angka 1 sebagai identitas sekolah,

4)     Dasar pena berbentuk lingkaran dan ujung menyerupai kubah melambangkan masyarakat Bumiayu yang mayoritas beragama muslim,

5)   Kertas putih di belakang pena dan bintang lima dari cengkih melambangkan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila,

6)    Lingkaran di bawah pena melambangkan angka 8 dan 0 yang diperindah sebagai ciri tahun berdiri SMA Negeri 1 Bumiayu yakni tahun 1980,

7)    Tulisan SMA Negeri dan Bumiayu melambangkan identitas sekolah,

8)    Pita putih melambangkan seni budaya sebagai bidang yang menjadi bagian dari pada pendidikan di SMA Negeri 1 Bumiayu,

9)   Lingkaran tiga melambangkan seni sebagai bidang yang menjadi bagian dari pada pendidikan di SMA Negeri 1 Bumiayu,

10)  Perisai melambangkan penahan bahaya (pendidikan SMA Negeri 1 Bumiayu menjadi benteng).

11)  Makna-makna warna dasar yakni biru (perdamaian), kuning (kecerahan), merah (keberanian), putih (bersih/ suci), hijau (kesuburan), dan coklat (kehormatan).



Dokumentasi Bapak Abdul Rochim yang diwawancarai Ade Safri Fitria alumni angkatan 33 
(lulus tahun 2017) sebagai pencari fakta sejarah logo SMA Negeri 1 Bumiayu pada tahun 2018
Lokasi : Kediaman Bapak Abdul Rochim di Menggala Langkap, Kecamatan Bumiayu

SEJARAH BERDIRINYA SMA NEGERI 1 BUMIAYU


Dengan berkat rakhmat Tuhan yang Maha Kuasa, bahwa sejarah singkat SMA Negeri 1 Bumiayu sebagai berikut.

Cikal Bakal                 : SMA Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes   (SMA PEMDA)  

Menumpang di            : SMP Negeri 1 Bumiayu (pada awal tahun pelajaran)

Pada Tanggal               : 2 Januari 1974                                          

Disebut                        : SMA PUSPONEGORO 2 Bumiayu                       

Karena pada saat itu belum memiliki gedung sendiri, maka SMA Negeri 1 Bumiayu sempat berpindah-pindah tempat antara lain menyinggahi:

a. Gedung di sebelah Timur Lapangan Asri Bumiayu,

b. Gedung disebelah Selatan Kantor Koramil Bumiayu,

c. Gedung SD Bumiayu 4,

d. Gedung Tua (sekarang SMA An-Nuriyah Bumiayu) dengan Kepala Sekolah saat itu Bapak Hanief   Nasucha,B.A.

Dengan didukung oleh masyarakat Bumiayu, bersama para tokoh masyarakat dan MUSPIKA Kecamatan Bumiayu maka:

1. Mendesak agar di Bumiayu didirikan SMA Negeri, 

2. Mengajukan proposal kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi 

    Jawa Tengah dengan disetujui oleh  Bupati  Brebes,

3. Membentuk Komite pembangunan SMA Negeri 1 Bumiayu dan membangun 6 ruang 

    kelas di Dukuh Talok Desa Dukuhturi  Kecamatan Bumiayu.


Pada hari Rabu tanggal 5 November 1980, SMA PEMDA Bumiayu Kabupaten Brebes diresmikan sebagai SMA NEGERI 1 BUMIAYU Kabupaten Brebes oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah (Bapak Drs. Koestidjo) sesuai dengan SK Mendikbud RI No. 0208/0 /1980  tanggal 30 Juli 1980. Pada tahun tersebut sudah ada kelas 1 dan 2 dan sebagai Kepala Sekolah saat itu adalah Bapak Machali Ali  Seodjono, B.A. yang menjabat pada tahun 1980/1981  sampai dengan tahun 1981/1982.

SMA Negeri 1 Bumiayu telah meluluskan lulusannya sejak tahun 1981 sebagai lulusan pertama dan sampai saat ini sudah meluluskan angkatan ke-37. Semoga piagam sejarah ini bisa dijadikan pedoman untuk mendorong prestasi sekolah menjadi lebih maju. Amin.




Penelusuran sejarah ini disusun dan selesai pada 5 November 2018 

Ade Safri Fitria, S.Pd. (Alumni 2017 angkatan 33)

 

 


Rabu, 08 September 2021

Rudi Si Sahabat Ketemu Gede Akhirnya Nyusul Sarjana Juga

Rudi adalah seekor teman bajingan yang pernah aku kenal dengan segala kepal pembangkangannya baik pada rezim, kecacatan peran organisasi mahasiswa, atau apapun yang berbau dengan ketimpangan. Harusnya aku mulai berbincang sedari jumpa pertama di Jember pada suatu agenda kongres yang ternyata begitu tidak bermutu. Sialnya saat itu aku hanya menyadari ketidaktertarikannya untuk menjadi bagian fungsionaris salah satu organisasi yang katanya mengayomi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia seJawa Madura. Seekor teman ini justru sengaja semesta akrabkan denganku semenjak agenda kompetisi debat tingkat daerah di kampusnya, Univet Sukoharjo. Belum cukup banyak perbincangan saat itu tetapi tanpa mempertimbangkan banyak hal ternyata kami cukup ‘nyambung’ untuk sekadar kongkow.

Tidak pernah secuil pun perkiraan hadir untuk mengira bahwa pertemanan kami berlanjut sejauh negara langgeng dalam perselingkungahannya dengan para elite kapitalis di belakang ketabahan masyarakatnya. Perbincangan-perbincangan kecil berlanjut berkat izin Akung Marx, barangkali. Hari-hari berbagi api berjalan begitu puitis sebab bersama rekan satu ini aku kian menyadari betapa kerdilnya manusia yang tidak ‘membaca’. Berkunjung ke sekretariat serasa padepokan mahasiswa tunawisma kala itu tidak berhasil membuatku mengerti gambaran gerakan mahasiswa atau inovasi himpunan mahasiswa sastra di sana, justru bangsatnya aku malah dipahamkan soal keparatnya mereka yang bergurau dengan wakil rektor dengan begitu khidmatnya. Tak lupa Rudi putra metal ini turut bersaran baiknya aku membawa oleh-oleh khas yang harganya cukup ramah di kalangan kantong mahasiswa bidikmisi, yaitu Ciu Bekonang, Leh!

Perspektifnya tentang kemajuan masyarakat Jawa dari sisi spiritualitas masih cukup lekat membekas dan bahkan masih mendoktrin cara pandangku dalam memaknai pribahasa Jawa “nrimo ing pandhum” atau umpatan “ndherek kersanipun Gusti”. Wacana untuk melanjutkan studi kemudian menjadi budayawan atau keminatan menjadi seorang politikus baginya dan bagiku entah masih tersisa sebagai harap atau tidak, semoga apapun yang kini menjadi asa tetap selalu berpihak pada narasi kebaikan.

Rud, seperti ketabahan Mbok Sukijah juru kunci Tidar yang pernah aku dapati ketauladanannya dalam romantism dialog seputar histori Pakuning Tanah Jawi, aku ingin selalu hidup damai dalam setiap kesederhanaan dan setia menjaga amanah yang selalu bertengger pada jiwa yang tepat. Tapi sialnya ternyata kita hidup mustahil lepas dari ekspektasi dan nafsu. Seandainya aku tidak dituntut lulus 3,5 tahun dengan predikat cumlaude dan kembali ‘pulang’ mungkin aku akan meraih kemerdekaan dengan mencoba bertapa demi olah roso yang lebih serius. Rud, setelah lulus rasanya hidup paling sejahtera sepertinya hanya akan dirasakan mereka yang bebas dengan dirinya sendiri tapi naas aku sudah tidak lagi sebebas mahasiswa yang bisa diskusi di angkringan hingga pagi buta, mengagendakan gerakan, beridealisme sebagai kekayaan terakhir, menggenjreng gitar tanpa pertimbangan fals atau merdu, bedah film, membaca buku, menemani kawanan bermabuk semalaman, menjadi saksi perselingkuhan aktivis-aktivis patriarkat, atau menulis puisi sembari nge-vape dan ngopi. Mungkin setelah ini dirimu turut menyusul kerinduan yang sejenis, atau bahkan sebaliknya kau justru jauh lebih merdeka dari sebelumnya.

Panjang umur, sehat, dan bermanfaat selalu di manapun setelah ini kita berpijak, Rud. Datuk Tan Malaka barangkali akan terus mengawasimu, Rud. Sementara Eyang Sukarno akan terus mengawasiku untuk memastikan cucunya setia bermarhaenisme tetap melalui ruang bawah tanah dan gerakan akar rumput atau bahkan resmi membanteng menjadi kader ‘Ibuk’. Haha. Semoga jiwa reformis kita takan pernah raib ditelan penyesuaian idealisme. Terima kasih untuk segala kisah yang pernah dibagi. Sukoharjo akan selalu mengingatkan seluruh kenang tentang Himaprosa, Rudi yang metal, Ritha yang criwis, Mas Angga yang penyayang, Mas Sandi yang sumeh, semua kawan yang aku dapati di sana, dan Bekonang tentunya! Ohya satu lagi; mengingat Rudi juga turut akan mengingatkan tentang ‘Darah Juang’ dan sahabat kita satu lagi; A Topan si anarko metal UPI punya. Haha.

Tidak ada selamat atau buket atas sarjana-mu, Rud sebab aku merasa bukan itu simbol kasih sayang yang pantas dipersembahkan dari seorang aku. Anyway, maaf dulu tak sempat menemui di stasiun Kutoarjo dan gagal meminjamkan powerbank di tengah aksi Gejayan Memanggil 2019 karena keadaan yang tidak memungkinkan. Selamat melanjutkan petualangan hidup!


Jumat, 13 Agustus 2021

Tak Perlu Penjudulan Bagi Curhatan untuk Bung Arif

  


Jika Plato membutuhkan puluhan tahun masa hidupnya untuk berguru pada Socrates, agaknya aku memerlukan seumur hidupku untuk berguru pada siapapun tanpa terkecuali pada sosok yang adanya lebih dari pada sekadar orang yang lebih dulu andil di GmnI, yakni Bung Arif; Kakak sekaligus sahabat bahkan tak jarang menjadi guru kehidupan, bagiku. Barangkali pengistilahan ini terlalu hiperbol, aku sebut Bung Arif adalah kawan dialektika semenjak masa krisis identitas selama pencarian pisau analisis segala problematika dunia gerakan mahasiswa. Saat aku mendapati titik terendah dalam hal kepercayaan diri hanya karena merasa teralienasi di himpunan, jenuh dengan pemateri serangkaian giat kaderisasi ormawa internal kampus Tuguran yang didominasi pemantik ulung laki-laki dan monoton yaitu lagi-lagi jika bukan Arif Budianto sudah tentu ada nama Krisnaldo Triguswinri atau satu lagi; Siam Khoirul Bahri di pamflet LKMM Pradasar, Dasar, Menengah, dan mulai muak dengan kultur keorganisasian saat itu, dari sanalah aku mulai merasa resah karena enggan merugi berproses di ruang yang menurutku tidak cukup sehat untuk mengembangkan diri. Aku yang tengah getol menyelami narasi-narasi kesetaraan, melalui banyak kontemplasi hingga jarang merebahkan diri untuk memuaskan dahaga atas diskusi, stimulan literasi, atau sekadar nongkrong di angkringan-angkringan hingga pagi buta, sejak saat itu aku mulai bersepakat bahwa membaca menjadi urgensi kematangan berpikir, bersikap, dan mewacanakan pelbagai gerakan baik secara formil keorganisasian atau secara kolektif.

Di tengah persoalan primitif; stigmatisasi organ eksternal dari sudut pandang dedengkot-dedengkot organ intra kampus, aku dulu berikrar bahwa suatu saat aku akan merepresentasikan iktikad kader eksternal yang memang bisa menghegemoni kultur keorganisasian kampus Tuguran tanpa tendeng praktik politik praktis tai kucing dan sepenuhnya konsekuen dengan keberpihakan pada kaum Marhaen yang sebetulnya. Seperti perjalanan yang Bung Arif tau, sedikit banyak pada akhirnya aku berhasil melawan keterasingan, stigmatisasi, mulai terbiasa teguh pada pembiasaan analytycal thinking, bahkan berkesempatan mengisi beberapa kanal diskusi dan mulai belajar menjadi pemateri di beberapa agenda internal maupun eksternal kampus sampai detik ini. Layaknya kutipan Tan Malaka yang sering Bung Arif ujar di beberapa obrolan, “pendidikan mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan” sampailah aku pada pengentasan diri atas pembentukan prinsip-prinsip hidup, penghayatan welas asih atau bahasa literatnya mungkin biasa kita sebut dengan istilah kemanusiaan, cakap adaptif dengan siapapun yang aku temui, barangkali itu hanya sekelumit hasil yang tengah kutuai setelah menyandang gelar sarjana pendidikan.

Kegagalan negara yang kita singgung semalam agaknya tidak lebih naif dari pada kawanan yang dulu terlalu berlebih antipati dengan politik praktis dan pragmatisme bahkan mencacimaki keberadaan organ ekstra, saat ini gelagatnya justru lebih menjijikan dari pada apa yang dulu mereka ludahi sendiri. Beberapa komunikasi politik yang mendatangi kita di masing-masing ruang saat ini ternyata belum juga bisa kita iyakan sebelum kita ‘kelar’ dengan diri sendiri, Bung. Beda halnya dengan mereka yang mudah dibeli dan gumunan dengan iming-iming konsensus wacana politik. Ironinya, di luar ada banyak kawan yang ternyata sudah kebelet mengharap penyelamatan kesejahteraan pribadi dengan cara-cara yang menumbalkan diri untuk menjadi kacung politik prematur. Kita sepakat sampai kapanpun politik secara esensial tetaplah sebuah ‘alat’, tinggal bagaimana hari ini kita jeli membaca peta, kesepakatan mutualisme konkret, dan tentunya tidak menghianati nurani.

Berbicara gerakan, selepas dari dunia kampus, perlahan adikmu ini mulai merapal bagaimana skeptisme tidak jauh bedanya dengan optimistik, Bung. Para marhaen yang tetap dikerdilkan perselingkuhan negara dengan borjuis-borjuis agung, saat ini sudah bukan lagi dongeng di perbincangan tepi jalan, tetapi sudah riil menjadi kesaksian sepanjang hari. Sialan memang! Sempat hadir pergolakan batin mungkin ada benarnya pandangan Gie tentang nasib baik; yakni tak pernah dilahirkan atau dilahirkan tetapi mati muda. Sebab nyatanya hidup kian kemari kian dihujani berjuta keharusan yang musti dipenuhi, seperti memikirkan saku adik, membayari belanjaan becer harian ibu, atau sekadar membeli kuota bulanan. Belum lagi lingkungan sekitar jika dirasa justru ulahnya semakin individualistik. Betul yang Bung Arif kata “semua ini kesalahan kapitalisme!”. Juga menyoal gerakan masa ternyata memang selaras dengan apa yang Bung Arif deskripsikan; bahwa sejatinya tidak pernah ada tendensi substansional dalam gerakan masa, semua hanya tentang pemenuhan eksistensi, cenderung pragmatis, inklusif, dan parokal. Itu sebabnya gerakan masa tak pernah menang secara urgensi tuntutan. Nyaris menyesali sebab pernah ada di dalamnya, tetapi ternyata semua tetap saja bagian dari proses pembentukan yang sarat akan kebermanfaatan.

Aku masih ingat betul bocah penjual krupuk yang menawarkan dagangannya saat kita tengah menanti sendekolo di emperan bakaran Bonpolo. Betapapun hidup memang sawang sinawang dan ternyata ada banyak kelas marhaen dari pada tingkat kemalangan marhaen itu sendiri, Bung. Mulai menelisik banyak hal baru di dunia luar, menuntunku kian mengerti ternyata memang hidup paling sejahtera tidak pernah bisa kita ukur dengan satuan angka semata, justru kedamaian adalah saat kita berhasil menjadi manusia yang berkecukupan dan selalu merasakan kepuasan batin pasca melakukan segala sesuatu. Ya, barangkali wujud nyatanya adalah saat Bung Arif dan Sarinah Ugix yang lapang hati menghidupi ‘Omah Sinau’ dengan hasil finansial yang mungkin terbilang belum seberapa tetapi sepenunhnya menikmati proses bagaimana mendampingi keberlangsungan belajar manusia sekitar. Pun demikian halnya yang aku rasakan di sini, pening meratap nasib yang belum bertemu jodoh rezeki pekerjaan pascalulus, tertekan sebab ekonomi keluarga turut terdampak pandemi, belum lagi banyak ekspektasi orang tua yang musti kuupayakan tetapi masih ada beberapa ruang dan aktivitas yang bisa aku jadikan sumber kedamaian tersendiri, Bung; seperti menyelami bacaan baru yakni literasi seputar efektifitas gerakan sipil, pembangkangan masal yang dilandasi kesadaran kolektif, membaca ‘peta’, dan berulang merenungkan bagaimana bisa keluarga buruh tani selalu tetap saja menjalani hidup sedemikian mengalir dan tak pernah menjual ketamakan apapun. Aku bangga dan bersyukur lahir di keluarga marhaen yang menanamkan nilai anti merampas segala sesuatu yang bukan menjadi haknya walau dalam keadaan sesulit apapun, Bung.

  Biar bagaimana juga aku selalu tetap resah dan gemas setiap ditawarkan kompensasi praktik kompromistik politik, Bung. Mulai tawaran beasiswa S-2 di kampus Gajah, posisi strategis di ormas basis masa, pelibatan proyeksi agenda 2024, ladang penghegemonian gerakan, atau sekadar makan minum gratis di kafe-kafe elit. Yang menjadi persoalan adalah betapa bangsatnya indoktrinasi kaderisasi sistem politik kita yang memang selalu menumbuhkan mindset generasi yang terbiasa dengan budaya menjilat, rakus, dan bermental pengemis. Seandainya tujuan hidupku sebatas ingin menjadi orang kaya dan ternama, mungkin sudah ada berjuta jalan yang bisa kutempuh untuk menuju Roma, Bung. Meski paham betul, usia saat ini seyogyanya memang harus mulai idealis realistis dan haram hukumnya jika terlalu kaku dalam berprinsip, tetapi tetap saja masih ada perenungan bukankah terlalu najis jika aku memakan dan menikmati seluruh tawaran ini di saat mereka yang jauh dari ‘akses’ sistem masih kesulitan memenuhi kebutuhan tugas usus dua belas jari dengan menahan lapar hingga berhari-hari. Di satu sisi, mungkin karena berulang kali tidak menemukan secuilpun pijar di lautan kontestasi, ujungnya aku tetaplah skeptis dengan pola kaderisasi politik hari-hari ini, Bung. Mungkin belum masanya, atau bahkan memang ketidakadilan akibat kapitalism di balik negara akan menjadi momok sekaligus musuh selamanya.

Terlepas dari semua ledakan di atas, aku senang dan sedikit lega bisa berbagi kisah baru dengan Bung Arif baik melalui pesan singkat, percakapan daring, atau tulisan semacam ini. Di manapun kelak kita berpijak, semoga tetap mencoba menjadi baik dan selalu lebih baik. Senada dengan penutup percakapan dari Bung Arif “melalui ruang politik atau pekerjaan profesional, kita harus menyejahterakan diri terlebih dahulu supaya suatu saat bisa lebih leluasa dalam gerakan apapun yang tentunya berpihak pada keberlangsungan hidup masyarakat sipil.” Terakhir, terima kasih atas apapun yang pernah Bung Arif ajarkan dan tauladankan. Lekas membaik, Bung Arif dan Bapak. Sem

Jumat, 22 Januari 2021

Malioboro Tanpa Angklung



“Kita selalu berbeda kecuali dalam hal cinta dan tak pernah ada yang lebih romantis dari pada bahasan menyoal kebenaran.”-
Soe Hok Gie


Seandainya era 4.0 mendatangkan mesin canggih yang bisa melukiskan isi hati dan juga pikir anak manusia dengan kecepatan sekelibat cahaya serta gelombang suara terhantar, sudah tentu akan kupinjam benda itu hanya demi mengilustrasikan bagaimana kebenaran isi lamun di balik hiruk pikuknya kota pelajar; kota istimewa; kota budaya; bahkan kota saksi pelbagai kisah berjuta pasang kekasih. Betapapun tak ada yang lebih puitis dari pada cerita yang tercetus dengan nuansa Jogja sebagai latarnya.

“Ke sini tu cocoknya sama pacar.” celetukmu yang mendapati sepasang kekasih tengah saling bermanja ria teramu hanyut ditelan suasana syahdunya Malioboro sore itu. Aku mendadak kesulitan menelan bakso limaribuan emperan yang tercengang mendengar kalimat itu. Entah karena keberadaanku yang bukan sebagai kekasih tetapi terlanjur membersamai ragamu menikmati Jogja saat itu, atau karena kisahku yang nyaris tak pernah dihabiskan bersama yang terkasih tuk sekadar saling sawang sembari mempuisikan betapa mahalnya suguhan keistimewaan kota Gudeg menjadi sebabnya, atau bahkan hanya karena sebab lain yang bahkan tidak terprediksi jangkauan daya cocoklogisme yang kupunya.

Barangkali patung Abdi Dalem sudi menjadi saksi, hendaknya aku akan meminta pembuktian. Ya bukti atas sedemikian syukurku yang beruntung menemukan satu lelaki yang bahkan kukira keberadaannya punah.   

Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” – Baba O’illah (Sarinah:17, Bung Karno).

Mendamba pemandangan kesetaraan paling sejati, tadinya kukira itu semua adalah mitos belaka. Ternyata Malioboro yang tanpa angklung hari itu membuktikan jika dalam hidup masih ada kisah seutopis drama ftv, yang misalnya: momen lelaki yang mengimbangi nalar logika perempuan setengah bingung ketika perasaannya dahaga terhasut nafsu memborong tetapi harus memilih sederet buku menarik di hadapannya dengan skala prioritas, sontak kompak menahan buku yang nyaris jatuh dari rak, bersamaan memungut sampah brosur yang terserak di halaman Maal, silih berganti mencarikan jajanan, saling merekomendasikan bahan bacaan, mempersilakan duduk di kursi yang terbatas, atau sesarkas toleransi pilihan keyakinan untuk saling tidak beribadat.

   Aku tidak tahu apakah semua perempuan dalam hidupmu diperlakukan sama atau sebaliknya, tetapi yang kudapati selama mendengar suara dan menatap matamu, aku hanya menemukan hatimu yang berpijar mengkilap tanpa sandiwara. Ketika mengamati pengaminanmu saat akan melahap makan siang di warung sudut alun-alun, aku bahkan tidak menduga-duga itu lawak atau kesungguhan.

Bagaimana kamu menjaga nilai cucu Hawa, di situ aku menyimpulkan terbiasanya tumbuhmu dimahalkan kasih sayang Ibumu. Terlepas dari persoalan bagaimana penyelesaian cemburunya kekasihmu itu, di antara segala egoku pada sesaatnya bahagia yang disaksikan Jogja dan segala keistemewaanya; aku berterima kasih betul atas jawab peyakinan raguku atas mitos kesetaraan.

Kamu dengan segala perjalanan spirituil dan literatmu menjadikan mu sebagai sosok yang terbilang langka.