“Kita
selalu berbeda kecuali dalam hal cinta dan tak pernah ada yang lebih romantis
dari pada bahasan menyoal kebenaran.”- Soe Hok Gie
Seandainya
era 4.0 mendatangkan mesin canggih yang bisa melukiskan isi hati dan juga pikir
anak manusia dengan kecepatan sekelibat cahaya serta gelombang suara terhantar,
sudah tentu akan kupinjam benda itu hanya demi mengilustrasikan bagaimana
kebenaran isi lamun di balik hiruk pikuknya kota pelajar; kota istimewa; kota
budaya; bahkan kota saksi pelbagai kisah berjuta pasang kekasih. Betapapun tak
ada yang lebih puitis dari pada cerita yang tercetus dengan nuansa Jogja
sebagai latarnya.
“Ke
sini tu cocoknya sama pacar.” celetukmu yang mendapati sepasang kekasih
tengah saling bermanja ria teramu hanyut ditelan suasana syahdunya Malioboro
sore itu. Aku mendadak kesulitan menelan bakso limaribuan emperan yang
tercengang mendengar kalimat itu. Entah karena keberadaanku yang bukan sebagai
kekasih tetapi terlanjur membersamai ragamu menikmati Jogja saat itu, atau
karena kisahku yang nyaris tak pernah dihabiskan bersama yang terkasih tuk
sekadar saling sawang sembari mempuisikan betapa mahalnya suguhan keistimewaan
kota Gudeg menjadi sebabnya, atau bahkan hanya karena sebab lain yang bahkan
tidak terprediksi jangkauan daya cocoklogisme yang kupunya.
Barangkali
patung Abdi Dalem sudi menjadi saksi, hendaknya aku akan meminta pembuktian. Ya
bukti atas sedemikian syukurku yang beruntung menemukan satu lelaki yang bahkan
kukira keberadaannya punah.
“Laki-laki
dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama
kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang
setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah
terbang burung itu sama sekali.” – Baba O’illah (Sarinah:17, Bung Karno).
Mendamba
pemandangan kesetaraan paling sejati, tadinya kukira itu semua adalah mitos
belaka. Ternyata Malioboro yang tanpa angklung hari itu membuktikan jika
dalam hidup masih ada kisah seutopis drama ftv, yang misalnya: momen lelaki
yang mengimbangi nalar logika perempuan setengah bingung ketika perasaannya
dahaga terhasut nafsu memborong tetapi harus memilih sederet buku menarik di
hadapannya dengan skala prioritas, sontak kompak menahan buku yang nyaris jatuh
dari rak, bersamaan memungut sampah brosur yang terserak di halaman Maal, silih
berganti mencarikan jajanan, saling merekomendasikan bahan bacaan, mempersilakan
duduk di kursi yang terbatas, atau sesarkas toleransi pilihan keyakinan untuk
saling tidak beribadat.
Aku tidak tahu apakah semua perempuan dalam
hidupmu diperlakukan sama atau sebaliknya, tetapi yang kudapati selama
mendengar suara dan menatap matamu, aku hanya menemukan hatimu yang berpijar
mengkilap tanpa sandiwara. Ketika mengamati pengaminanmu saat akan melahap
makan siang di warung sudut alun-alun, aku bahkan tidak menduga-duga itu lawak
atau kesungguhan.
Bagaimana kamu menjaga nilai cucu Hawa, di situ aku menyimpulkan terbiasanya tumbuhmu dimahalkan kasih sayang Ibumu. Terlepas dari persoalan bagaimana penyelesaian cemburunya kekasihmu itu, di antara segala egoku pada sesaatnya bahagia yang disaksikan Jogja dan segala keistemewaanya; aku berterima kasih betul atas jawab peyakinan raguku atas mitos kesetaraan.
Kamu dengan segala perjalanan spirituil dan literatmu menjadikan mu sebagai sosok yang terbilang langka.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar