Jumat, 22 Januari 2021

Malioboro Tanpa Angklung



“Kita selalu berbeda kecuali dalam hal cinta dan tak pernah ada yang lebih romantis dari pada bahasan menyoal kebenaran.”-
Soe Hok Gie


Seandainya era 4.0 mendatangkan mesin canggih yang bisa melukiskan isi hati dan juga pikir anak manusia dengan kecepatan sekelibat cahaya serta gelombang suara terhantar, sudah tentu akan kupinjam benda itu hanya demi mengilustrasikan bagaimana kebenaran isi lamun di balik hiruk pikuknya kota pelajar; kota istimewa; kota budaya; bahkan kota saksi pelbagai kisah berjuta pasang kekasih. Betapapun tak ada yang lebih puitis dari pada cerita yang tercetus dengan nuansa Jogja sebagai latarnya.

“Ke sini tu cocoknya sama pacar.” celetukmu yang mendapati sepasang kekasih tengah saling bermanja ria teramu hanyut ditelan suasana syahdunya Malioboro sore itu. Aku mendadak kesulitan menelan bakso limaribuan emperan yang tercengang mendengar kalimat itu. Entah karena keberadaanku yang bukan sebagai kekasih tetapi terlanjur membersamai ragamu menikmati Jogja saat itu, atau karena kisahku yang nyaris tak pernah dihabiskan bersama yang terkasih tuk sekadar saling sawang sembari mempuisikan betapa mahalnya suguhan keistimewaan kota Gudeg menjadi sebabnya, atau bahkan hanya karena sebab lain yang bahkan tidak terprediksi jangkauan daya cocoklogisme yang kupunya.

Barangkali patung Abdi Dalem sudi menjadi saksi, hendaknya aku akan meminta pembuktian. Ya bukti atas sedemikian syukurku yang beruntung menemukan satu lelaki yang bahkan kukira keberadaannya punah.   

Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” – Baba O’illah (Sarinah:17, Bung Karno).

Mendamba pemandangan kesetaraan paling sejati, tadinya kukira itu semua adalah mitos belaka. Ternyata Malioboro yang tanpa angklung hari itu membuktikan jika dalam hidup masih ada kisah seutopis drama ftv, yang misalnya: momen lelaki yang mengimbangi nalar logika perempuan setengah bingung ketika perasaannya dahaga terhasut nafsu memborong tetapi harus memilih sederet buku menarik di hadapannya dengan skala prioritas, sontak kompak menahan buku yang nyaris jatuh dari rak, bersamaan memungut sampah brosur yang terserak di halaman Maal, silih berganti mencarikan jajanan, saling merekomendasikan bahan bacaan, mempersilakan duduk di kursi yang terbatas, atau sesarkas toleransi pilihan keyakinan untuk saling tidak beribadat.

   Aku tidak tahu apakah semua perempuan dalam hidupmu diperlakukan sama atau sebaliknya, tetapi yang kudapati selama mendengar suara dan menatap matamu, aku hanya menemukan hatimu yang berpijar mengkilap tanpa sandiwara. Ketika mengamati pengaminanmu saat akan melahap makan siang di warung sudut alun-alun, aku bahkan tidak menduga-duga itu lawak atau kesungguhan.

Bagaimana kamu menjaga nilai cucu Hawa, di situ aku menyimpulkan terbiasanya tumbuhmu dimahalkan kasih sayang Ibumu. Terlepas dari persoalan bagaimana penyelesaian cemburunya kekasihmu itu, di antara segala egoku pada sesaatnya bahagia yang disaksikan Jogja dan segala keistemewaanya; aku berterima kasih betul atas jawab peyakinan raguku atas mitos kesetaraan.

Kamu dengan segala perjalanan spirituil dan literatmu menjadikan mu sebagai sosok yang terbilang langka.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar