Kamis, 11 April 2019

Doa Gadis yang Ia Hinakan



Perkenalkan.
Aku
adalah yang ia perkosa karena ujarnya aku ini wanita yang tak kenal pahala dan dosa.

Aku
adalah yang ia cabuli sebab menurutnya aku ini tak kenal illahi.

Aku
adalah yang ia hakimi najisnya hanya karena bandingan dengan kesuciannya.

Aku
adalah yang ia rajam selangkangannya hanya karena dianggap pelacur yang tidak jauh lebih theis daripada dirinya;
yang padahal sekadar beragama berdasar dogma.

Perkenalkan.
Aku
adalah yang selalu ia ibliskan;
ia najiskan
pun ia kafirkan.
Padahal ia belum tentu lebih manusia daripada aku.

Semoga
Tuhan yang ia sembah
lekas mempulangkan akal sehatnya beserta nuraninya.



Magelang, 11 April 2019.

Selasa, 09 April 2019

Kita Pisah di Persimpangan Ideologi


Jujur aku enggan kembali.
Cemas; terbayang-bayang hati yang pernah dicabik dimaki manusia yang padahal selalu aku rawat jiwanya. 

Hanya karena aku tak sempurna;
bahkan perkenalan yang sejauh ini terbangun runtuh begitu saja.

Aku tak mampu memberi kebutuhan hati,
terlepas dari konteks rasa;
ternyata aku tak pernah dianggap sebagai manusia sesamanya sejauh ini,
olehnya; manusia yang selalu kuanggap kekasih fiksi.

Tak mudah memang menghadapi ini semua.
Aku hanya mengkhawatirkan semesta turut murka,
sebab ia selalu sepihak denganku.

Aku cemas dunia turut membenci manusia macam ini,
sebab laraku selalu dibalas dendamnya oleh kehidupan di bantalan karma;
tanpa melibatkan tangan dan kakiku sendiri.

Semoga saja lukaku tak merambah kemana.

Teruntuk dikau,
aku memang jauh dari kata layak untuk kau anggap manusia;
tetapi ketika berbicara manusia,
ingat saja aku tetap membenci manusia theis yang tumpul nuraninya,
karena Tuhan pernah menjanjikan surga yang realistis padaku;
bukan macam kau yang tega hati menginjak manusia peduli hanya karena kepala kumuh yang tersekat dogma surga ilusi.

Aku tahu ini hati masih terlalu mencintamu.

Meski rasa masih terawat dalam beku dan rengkuhnya,
Jiwaku sendiri masih membencimu secara utuh rupanya.

Sial,
Sebesar apapun laraku, semua tak sebanding keteguhan ini hati untuk tetap mengaminkan namamu sebagai sosok penggenap ganjilku.

I,
Kasihku.
Adakah cara yang akan kau tawarkan lagi untuk lebih melindas nurani ini sebagai bangunan jiwa juga rasa sejatinya wanita?
Beri aku satu peyakinan mengapa aku harus berhenti mencintamu hanya karena keadaan;
yang menyimpul aku kiri yang terlalu ngiri sedang kau adalah kanan yang terlalu nganan.
Kita pisah dan saling membelakangi di persimpangan ideologi.


Magelang, 10 April 2019.

Selasa, 02 April 2019

KM Untidar Terkunci di Rumah Sendiri; PBSI Sedih Sedan Ini


     “21.00 WIB” saat ini menjadi momok seluruh mahasiswa penggiat kampus malam. Gamelan Bengkel Seni yang delapan jutaan per-nganu (katanya) terancam bisu, tulang otot para atlet UKM Olahraga terancam mengerak, pita suara PSM Grandio Sonora Tidar terancam amblas terseret cekikan riak yang tak tergerak, toa masjid kampus terancam tuli dari gemingan adzan muadzin UKAI bahkan nyaris tak ada lagi jamaah subuh di kampus tercinta ini. Pun Pramuka, Resimen Mahasiswa, Mapala, terancam tak memiliki tamu yang menjadi saudara lagi hanya karena pintu-pintu sekretariat mereka terkunci tanpa kunci, kajian-kajian para jurnalis UKM LPM Mata terancam tersekat aturan yang begitu mengikat, serta entah keresahan apa lagi yang dirasa UKM Kristiani, UKM Koperasi Mahasiswa, UKM UBC Radio dan UKM KSR.

     Terlepas dari UKM, entah bagaimana nasib kanal dialektis malam aktivis ORMAWA Pemerintahan KM Untidar. Mulai dari fungsionaris BEM dan DPM KM, BEM dan DPM Fakultas, hingga Himpunan Mahasiswa Jurusan dan Himpunan Mahasiswa Program Studi. Program kerja kini tak lagi diaminkan terlaksana hingga kampus mengantuk, bahkan segala rapat persiapan dan pengonsepan ini itu tak diperkenankan dirapatkan saat malam hari di rumah sendiri. Sungguh betapapun semua ini menyedihkan sekali.

   Tunggu dulu, kita juga perlu menilik ruang yang lain. Masih ada Organisasi Mahasiswa Daerah alias ORMADA, komunitas-komunitas pengembangan, serta adapun Himpunan Mahasiswa Bidikmisi Untidar (HIMADIKTAR) yang padahal [JUGA] butuh kanal malam untuk berdialektika membicarakan segala kepentingan mahasiswa bahkan diskusi cacian pada dunia.

   Siapa yang tak kenal Program Studi  kami, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang sejatinya kami identik dengan pentas Apresiasi Karya Sastra (AKS) PBSI semester 3, Pentas Drama PBSI semester 4, dan pentas Ilmu Perbandingan Bahasa Nusantara (IPBN) PBSI semester 5?

   Kami pikir, seisi kampus rasanya tak asing dengan suguhan-suguhan itu semua dari rumah kami, PBSI. Tetapi kini? Semua serba resah. Latihan tak lebih dari jam 9 malam; kemudian terancam diusir dari kampus, apakah kami hanya akan menampilkan suguhan dagelan spontan ala sentilan teruntuk petinggi pemegang putusan kebijakan?

    Selepas ulur tangisan dari segala perenungan kami di keharusan ruang akademik, lalu apa kabar nasib Sumber Daya Mahasiswa KM  PBSI yang padahal tersebar rapih di beberapa UKM kampus ini terutama di UKM yang beraroma seni tetapi kini ranah gerak pengembangannya tak lagi terfasilitasi?

     Terlepas lagi dari dua substansi ini, bagaimana nasib nyawa ORMAWA Pemerintahan Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (HIMAPRODI PBSI) yang padahal program kerja-program kerjanya pasti kental dengan semerbak sastra yang hanya dapat kami sajikan secara betul di malam hari? Seperti hajat besar Gelar Sastra salah satunya. Pun entah bagaimana kabar kegiatan hajat tahuban "Penulusuran Minat dan Bakat Penalaran" alias [PEMANTAPAN] Mahasiswa Baru yang sejatinya rutin dilaksanakan berhari-hari bermalam di kampus ini?

    Jika pada akhirnya memang terpaksa Pentas Drama semester 4 ini harus secara terpaksa dilaksanakan di luar kampus; seperti di balai RW misalnya, lalu  mau dikemanakan esensi hajat besar ini? Mau di-apakan nasib citra kampus ini?

     Mahasiswa di sini disandung larinya, ditangkis strategi geraknya, dibunuh kemerdekaannya, dibungkam pekikan juga suaranya, bahkan dibatasi pola pengembangannya. Lantas, mau jadi apa kampus kita yang sesungguhnya? Haruskah kami menyewa gedung dengan dana swadaya sekian kepala dan nyawa mahasiswa hingga jutaan nominalnya? Bagaimana nasib anakan manusia menengah bawah? Sungguh betapapun mahalnya bahagia kami di ruang proses penempaan diri.

       Setiap kebijakan pasti ada lebih dan kurangnya. Naas, kami belum terlepas dari belenggu cultural shock atas perubahan yang digaungkan ini. Kami masih saja merenungkan nasib esensi kesastraan dari rumah kami. Entah bagaimana nasib yang dijanjikan pada pengembangan mahasiswa.

   Haruskah kami menjadi generasi kutu buku yang dungu? Entah apa yang bisa terdefinisi lagi ketika napas kemahasiswaan kami dipangkas dari jeruji seni. Entah apa jadinya ormawa tanpa malam yang dialektis. Tak bisa dipungkiri, memang beginilah keaslian kenestapaannya. Semua penuh kata [ENTAH].

    Sedari 1 April, sepanjang malam Keluarga Mahasiswa UNTIDAR terkunci di rumah sendiri, kami pun selaku kaum dari poros PBSI akan merutin bersedih sedan ini.

Selamat jalan, Euforia Kaum Sastra.




                                   Jember, 3 April 2019.

                                       Ade Safri Fitria