Selasa, 09 April 2019

Kita Pisah di Persimpangan Ideologi


Jujur aku enggan kembali.
Cemas; terbayang-bayang hati yang pernah dicabik dimaki manusia yang padahal selalu aku rawat jiwanya. 

Hanya karena aku tak sempurna;
bahkan perkenalan yang sejauh ini terbangun runtuh begitu saja.

Aku tak mampu memberi kebutuhan hati,
terlepas dari konteks rasa;
ternyata aku tak pernah dianggap sebagai manusia sesamanya sejauh ini,
olehnya; manusia yang selalu kuanggap kekasih fiksi.

Tak mudah memang menghadapi ini semua.
Aku hanya mengkhawatirkan semesta turut murka,
sebab ia selalu sepihak denganku.

Aku cemas dunia turut membenci manusia macam ini,
sebab laraku selalu dibalas dendamnya oleh kehidupan di bantalan karma;
tanpa melibatkan tangan dan kakiku sendiri.

Semoga saja lukaku tak merambah kemana.

Teruntuk dikau,
aku memang jauh dari kata layak untuk kau anggap manusia;
tetapi ketika berbicara manusia,
ingat saja aku tetap membenci manusia theis yang tumpul nuraninya,
karena Tuhan pernah menjanjikan surga yang realistis padaku;
bukan macam kau yang tega hati menginjak manusia peduli hanya karena kepala kumuh yang tersekat dogma surga ilusi.

Aku tahu ini hati masih terlalu mencintamu.

Meski rasa masih terawat dalam beku dan rengkuhnya,
Jiwaku sendiri masih membencimu secara utuh rupanya.

Sial,
Sebesar apapun laraku, semua tak sebanding keteguhan ini hati untuk tetap mengaminkan namamu sebagai sosok penggenap ganjilku.

I,
Kasihku.
Adakah cara yang akan kau tawarkan lagi untuk lebih melindas nurani ini sebagai bangunan jiwa juga rasa sejatinya wanita?
Beri aku satu peyakinan mengapa aku harus berhenti mencintamu hanya karena keadaan;
yang menyimpul aku kiri yang terlalu ngiri sedang kau adalah kanan yang terlalu nganan.
Kita pisah dan saling membelakangi di persimpangan ideologi.


Magelang, 10 April 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar