(Kado Orasi Diksi di Hari Kebangkitan Nasional dari Ade Safri Fitria)
Sedari 2014 kampusku beralih status dari luar
negeri (swasta) menjadi kampus negeri. Hingga 2019, rasanya lima tahun bukanlah
golongan usia kampus negeri yang layak dikata dewasa. Analoginya rumahku yang
satu ini bak balita yang sedang meraba banyak hal menyoal kehidupan, logika dan
nuraninya tentu belum cukup umur untuk menadang dinamika dunia dewasa yang
membentur. Bapak Republik, Tan Malaka menyeletuk ujaran yang sangat tidak asing
di telinga para kaum muda khususnya mahasiswa “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk” sebagai belati juang
yang harus ditanam mengakar dalam mindset
kaula muda wabilkhusus mahasiswa
itu sendiri yang dianggap sebagai agen perubahan, katanya. Naasnya benturan di
kampus kecilku ini tidak menjamin keterbentukan justru meninabobokan. Miris.
Belakangan Keluarga Mahasiswa di kampus beralmamater
jas kuning di tengah hiruk pikuk Kota Sejuta Bunga, Magelang ini dibuat pusing
tujuh keliling. Serangan fajar pasca pemperbaharuan jajaran petinggi kampus
mulai menyulut kandang kenyamanan. Kebijakan menghantam berbagai lini dengan
atas nama perubahan yang katanya akselerasi, cih! Berikut beberapa problematika yang ada di kampus mungil yang
dipaksa dewasa.
- Mulai dari gonjang-ganjing kalender akademik saat awal
tahun yang memperdebatkan libur panjang,
- Syarat pengambilan SKS berdasarkan capaian IPK,
- SIBITA dan E-LITA yang entah bagaimana kabarnya dan dipastikan
belum banyak mahasiswa mengerti atau bahkan sekadar mendengar mengenai dua
sistem akademik ini,
- Almamater mahasiswa 2018 yang ternyata sembrono ukurannya,
- Kartu Tanda Mahasiswa 2018 yang juga entah apa kabar
pemerataan pengadaannya,
- Sistem pendanaan kebutuhan organisasi kemahasiswaan yang
semakin ruwet hingga kantong mahasiswa-mahasiswa di dalamnya kerap diperas atas
nama pengorbanan,
- Peminjaman ruang yang kian dipersulit pula,
- Pengadaan inventaris Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang
diulur-ulur melulu,
- Fasilitas kampus yang belum cukup memadai seperti ruang
kelas yang tidak sesuai keberanian tampungan kuantitas kepala mahasiswa yang
semakin bombastis, wifi yang hilang-hilangan
layaknya doi, serta masih banyak sarana prasarana pendukung perkuliahan yang
belum cukup dikata mendukung,
- Kebijakan pembatasan jam malam yang pemformulasiannya tidak
melibatkan elemen mahasiswa apalagi nihil penawaran solusi terhadap segala
bentuk dampaknya,
- Pola pengembangan sumber daya mahasiswa yang semakin tak
tentu arahnya,
- Minimnya penyediaan kesekretariatan organisasi mahasiswa,Hingga UKT calon mahasiswa baru 2019 yang justru begitu mendongak
atas nama kebutuhan nadi pembangunan tanpa mempertimbangkan kondisi iklim
kampus yang sejatinya masih dekat dengan keadaan latarbelakang perekonomian mahasiswa
secara mayoritas menengah bawah, dan masih banyak hal yang belum bisa diilustrasikan
apalagi untuk didefinisikan.
Memang begitu penting proses suatu perubahan
itu muncul, bahkan saya pribadi selalu mengaminkan adanya sebuah perubahan
dalam konteks apapun selagi itu semua atas nama kebaikan. Tetapi kebaikan di
sini harus diartikan sebagai kebaikan bersama bukan sepihak saja. Saya paham
betul orientasi kampus kecil ini mulai dituntun untuk lekas menjelma langkah lampah kaki manusia dewasa, sayangnya
segala bentuk keadaan di sini masih banyak cacat pincangnya. Terbukti dengan
kurangnya keterbukaan jajaran pemimpin yang belum turut melibatkan jiwa raga
mahasiswa yang seharusnya dianggap sebagai warga kampus yang akan menjadi pencicip
segala kebijakan kampus, juga. Sistem yang kian otoriter mengingatkan ini kepala
pada dimensi rezim orde baru dimana mahasiswa selaku kaum muda dibungkam melalui
banyak cara hingga langkah juangnya terpangkas.
Terlepas dari sinisme terhadap birokrat, pun
keadaan mahasiswa sendiri harus dikritisi pula. Sudah sejauh ini kampus
merangkak dengan status kenegerian, tetapi sumber daya mahasiswa yang ada masih
banyak yang belum memahami esensi apa itu mahasiswa. Budaya yang masih
membabibuta adalah rasa nyaman pada pola mahasiswa kuliah pulang-kuliah pulang
(kupu-kupu). Masih sangat jarang ada mahasiswa yang tulus menjadi kaum kuliah
rapat-kuliah rapat (kura-kura). Dapat dihitung jari berapa jumlah mahasiswa
yang dengan konyolnya berkenan memberangkatkan diri dengan berbagai motif
mengisi ruang fungsionaris organisasi mahasiswa (ormawa) baik yang pemerintahan
seperti DPM, BEM di tingkat universitas maupun fakultas serta Himpunan baik di
tingkat jurusan maupun program studi, dan organisasi mahasiswa yang non
pemerintahan seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Organisasi Mahasiswa Daerah
(ORMADA), dan komunitas pengembangan. Saya sebut konyol karena kaum seperti
merekalah yang menjadi ikan pelawan arus di saat ikan lainnya secara mayoritas
memilih tenang tanpa mendekat pada ombak. Namun, perlu kita digarisbawahi pula
pada kenyataan yang ada; mahasiswa yang andil di dalam struktural organisasi
mahasiswa pun tidak sepenuhnya semua paham atas peranan daripada tupoksinya. Masih
begitu banyak pula kaum apatis yang berkedok di balik jubah aktivis. Pun belum
tentu mahasiswa yang tidak berkecimpung dalam ranah aktivisme justru mahasiswa ramutu yang tidak membawa kebermanfaatan
dalam kepeduliannya.
Seluruh fungsionaris entah itu organisatoris,
maupun aktivis hendaknya lebih rajin berkontemplasi sudah sejauh mana mereka
berjuang, sudah sebesar apa hal yang telah atau sedang, juga akan diperjuangkan.
Apakah masih sebatas menyandang status event
organizer (EO)? Atau sudah berani lantang melawan kebungkaman dan
menyuarakan kebenaran? Ada banyak sekali PR mahasiswa sendiri. Beberapa di antaranya
menyadarkan diri bahwa budaya lingkungan kampus harusnya diisi kerumunan mahasiswa
yang candu dalam bahasan dialektis, menanaman diskusi sebagai pangan pokok
harian, menjadikan bacaan sebagai hidangan penunjang keterbentukkan, meminimalisir
kedunguan manusia yang diperbudak telepon pintar semacam candu game yang mendukung sikap induvidualis
hingga merambah sebagai benih antipati terhadap kerumunan sosial sesama
mahasiswa, dan masih banyak lagi yang semestinya dipahamkan.
Sungguh betapapun banyak hal yang harus
diuraikan, begitu banyak hak yang dirasa semestinya diperjuangkan, dan juga
begitu banyak kepincangan tatanan sistem yang wajib diseimbangkan. Mahasiswa dalam
arti yang seluas-luasnya, seyogyanya mereka memahami bahwa yang harus mereka
musuhi adalah ketakutan atau kegelisahan dari kebungkaman perjuangan, sedang
yang semestinya diagungkan sebagai kekuatan adalah persatuan atas nama keresahan
bersama, bukan lagi kompetisi eksistensi diri maupun organisasi yang semestinya
dijadikan prinsip nurani. Sinisme antar sesama mahasiswa sudah semestinya
dipangkas dari dimensi kampus yang sedang melatah ini, karena yang mestinya
dilawan bukanlah peperangan reputasi eksistensi. Sesuai dengan hari penulisan
opini ini, Hari Kebangkitan Nasional sangat tepat menjadi momen perenungan mahasiswa
kampus kecil yang besar tuntutan dewasanya; dalam membaca berbagai kebobrokan
iklim kampus kuning di Kota Sejuta Bunga ini.
Sudah semestinya seluruh mahasiswa Universitas
Tidar tanpa terkecuali, menghayati Hari Kebangkitan Nasional dengan implementasi
kebangkitan perjuangan kaum muda sesuai dengan masa dan masing-masing caranya. Ada
banyak keresahan yang seharusnya dimengerti dampak jangka panjangnya apabila
budaya otoriterianisme birokrat dan sinisme di kalangan sesama mahasiswa dibiarkan
mewabah begitu saja di dalam kampus ini. Sengaja yang diangkat bukan perkara
penindasan di luar seperti perampasan HAM apa saja yang harus diperjuangkan,
sebab kembali pada sekian belas problematika yang menjadi sampel akan PR kampus
ini menunjukkan bahwa ada banyak sekali pembenahan internal sumber daya
mahasiswa yang semestinya ditata sedemikian rupa terlebih dahulu mulai dari
penyadaran personal atas esensi mahasiswa itu sendiri yang selayaknya selalu
dekat dan akrab dengan perjuangan-perjuangan kebenaran beserta keseimbangan
kehidupan, karena itu semua merupakan tanggungjawab primer seorang pemuda yang
berpengetahuan.
Semoga lekas terbangun dari ketertiduranmu,
kampus kecilku yang besar tuntutan dewasanya, UNTIDAR Terkasih.
Panjang umur perjuangan!
Magelang, 20 Mei 2019.
Yang selalu merenungkan kepincangan kampus, ASF.