Rabu, 08 September 2021

Rudi Si Sahabat Ketemu Gede Akhirnya Nyusul Sarjana Juga

Rudi adalah seekor teman bajingan yang pernah aku kenal dengan segala kepal pembangkangannya baik pada rezim, kecacatan peran organisasi mahasiswa, atau apapun yang berbau dengan ketimpangan. Harusnya aku mulai berbincang sedari jumpa pertama di Jember pada suatu agenda kongres yang ternyata begitu tidak bermutu. Sialnya saat itu aku hanya menyadari ketidaktertarikannya untuk menjadi bagian fungsionaris salah satu organisasi yang katanya mengayomi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia seJawa Madura. Seekor teman ini justru sengaja semesta akrabkan denganku semenjak agenda kompetisi debat tingkat daerah di kampusnya, Univet Sukoharjo. Belum cukup banyak perbincangan saat itu tetapi tanpa mempertimbangkan banyak hal ternyata kami cukup ‘nyambung’ untuk sekadar kongkow.

Tidak pernah secuil pun perkiraan hadir untuk mengira bahwa pertemanan kami berlanjut sejauh negara langgeng dalam perselingkungahannya dengan para elite kapitalis di belakang ketabahan masyarakatnya. Perbincangan-perbincangan kecil berlanjut berkat izin Akung Marx, barangkali. Hari-hari berbagi api berjalan begitu puitis sebab bersama rekan satu ini aku kian menyadari betapa kerdilnya manusia yang tidak ‘membaca’. Berkunjung ke sekretariat serasa padepokan mahasiswa tunawisma kala itu tidak berhasil membuatku mengerti gambaran gerakan mahasiswa atau inovasi himpunan mahasiswa sastra di sana, justru bangsatnya aku malah dipahamkan soal keparatnya mereka yang bergurau dengan wakil rektor dengan begitu khidmatnya. Tak lupa Rudi putra metal ini turut bersaran baiknya aku membawa oleh-oleh khas yang harganya cukup ramah di kalangan kantong mahasiswa bidikmisi, yaitu Ciu Bekonang, Leh!

Perspektifnya tentang kemajuan masyarakat Jawa dari sisi spiritualitas masih cukup lekat membekas dan bahkan masih mendoktrin cara pandangku dalam memaknai pribahasa Jawa “nrimo ing pandhum” atau umpatan “ndherek kersanipun Gusti”. Wacana untuk melanjutkan studi kemudian menjadi budayawan atau keminatan menjadi seorang politikus baginya dan bagiku entah masih tersisa sebagai harap atau tidak, semoga apapun yang kini menjadi asa tetap selalu berpihak pada narasi kebaikan.

Rud, seperti ketabahan Mbok Sukijah juru kunci Tidar yang pernah aku dapati ketauladanannya dalam romantism dialog seputar histori Pakuning Tanah Jawi, aku ingin selalu hidup damai dalam setiap kesederhanaan dan setia menjaga amanah yang selalu bertengger pada jiwa yang tepat. Tapi sialnya ternyata kita hidup mustahil lepas dari ekspektasi dan nafsu. Seandainya aku tidak dituntut lulus 3,5 tahun dengan predikat cumlaude dan kembali ‘pulang’ mungkin aku akan meraih kemerdekaan dengan mencoba bertapa demi olah roso yang lebih serius. Rud, setelah lulus rasanya hidup paling sejahtera sepertinya hanya akan dirasakan mereka yang bebas dengan dirinya sendiri tapi naas aku sudah tidak lagi sebebas mahasiswa yang bisa diskusi di angkringan hingga pagi buta, mengagendakan gerakan, beridealisme sebagai kekayaan terakhir, menggenjreng gitar tanpa pertimbangan fals atau merdu, bedah film, membaca buku, menemani kawanan bermabuk semalaman, menjadi saksi perselingkuhan aktivis-aktivis patriarkat, atau menulis puisi sembari nge-vape dan ngopi. Mungkin setelah ini dirimu turut menyusul kerinduan yang sejenis, atau bahkan sebaliknya kau justru jauh lebih merdeka dari sebelumnya.

Panjang umur, sehat, dan bermanfaat selalu di manapun setelah ini kita berpijak, Rud. Datuk Tan Malaka barangkali akan terus mengawasimu, Rud. Sementara Eyang Sukarno akan terus mengawasiku untuk memastikan cucunya setia bermarhaenisme tetap melalui ruang bawah tanah dan gerakan akar rumput atau bahkan resmi membanteng menjadi kader ‘Ibuk’. Haha. Semoga jiwa reformis kita takan pernah raib ditelan penyesuaian idealisme. Terima kasih untuk segala kisah yang pernah dibagi. Sukoharjo akan selalu mengingatkan seluruh kenang tentang Himaprosa, Rudi yang metal, Ritha yang criwis, Mas Angga yang penyayang, Mas Sandi yang sumeh, semua kawan yang aku dapati di sana, dan Bekonang tentunya! Ohya satu lagi; mengingat Rudi juga turut akan mengingatkan tentang ‘Darah Juang’ dan sahabat kita satu lagi; A Topan si anarko metal UPI punya. Haha.

Tidak ada selamat atau buket atas sarjana-mu, Rud sebab aku merasa bukan itu simbol kasih sayang yang pantas dipersembahkan dari seorang aku. Anyway, maaf dulu tak sempat menemui di stasiun Kutoarjo dan gagal meminjamkan powerbank di tengah aksi Gejayan Memanggil 2019 karena keadaan yang tidak memungkinkan. Selamat melanjutkan petualangan hidup!


Jumat, 13 Agustus 2021

Tak Perlu Penjudulan Bagi Curhatan untuk Bung Arif

  


Jika Plato membutuhkan puluhan tahun masa hidupnya untuk berguru pada Socrates, agaknya aku memerlukan seumur hidupku untuk berguru pada siapapun tanpa terkecuali pada sosok yang adanya lebih dari pada sekadar orang yang lebih dulu andil di GmnI, yakni Bung Arif; Kakak sekaligus sahabat bahkan tak jarang menjadi guru kehidupan, bagiku. Barangkali pengistilahan ini terlalu hiperbol, aku sebut Bung Arif adalah kawan dialektika semenjak masa krisis identitas selama pencarian pisau analisis segala problematika dunia gerakan mahasiswa. Saat aku mendapati titik terendah dalam hal kepercayaan diri hanya karena merasa teralienasi di himpunan, jenuh dengan pemateri serangkaian giat kaderisasi ormawa internal kampus Tuguran yang didominasi pemantik ulung laki-laki dan monoton yaitu lagi-lagi jika bukan Arif Budianto sudah tentu ada nama Krisnaldo Triguswinri atau satu lagi; Siam Khoirul Bahri di pamflet LKMM Pradasar, Dasar, Menengah, dan mulai muak dengan kultur keorganisasian saat itu, dari sanalah aku mulai merasa resah karena enggan merugi berproses di ruang yang menurutku tidak cukup sehat untuk mengembangkan diri. Aku yang tengah getol menyelami narasi-narasi kesetaraan, melalui banyak kontemplasi hingga jarang merebahkan diri untuk memuaskan dahaga atas diskusi, stimulan literasi, atau sekadar nongkrong di angkringan-angkringan hingga pagi buta, sejak saat itu aku mulai bersepakat bahwa membaca menjadi urgensi kematangan berpikir, bersikap, dan mewacanakan pelbagai gerakan baik secara formil keorganisasian atau secara kolektif.

Di tengah persoalan primitif; stigmatisasi organ eksternal dari sudut pandang dedengkot-dedengkot organ intra kampus, aku dulu berikrar bahwa suatu saat aku akan merepresentasikan iktikad kader eksternal yang memang bisa menghegemoni kultur keorganisasian kampus Tuguran tanpa tendeng praktik politik praktis tai kucing dan sepenuhnya konsekuen dengan keberpihakan pada kaum Marhaen yang sebetulnya. Seperti perjalanan yang Bung Arif tau, sedikit banyak pada akhirnya aku berhasil melawan keterasingan, stigmatisasi, mulai terbiasa teguh pada pembiasaan analytycal thinking, bahkan berkesempatan mengisi beberapa kanal diskusi dan mulai belajar menjadi pemateri di beberapa agenda internal maupun eksternal kampus sampai detik ini. Layaknya kutipan Tan Malaka yang sering Bung Arif ujar di beberapa obrolan, “pendidikan mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan” sampailah aku pada pengentasan diri atas pembentukan prinsip-prinsip hidup, penghayatan welas asih atau bahasa literatnya mungkin biasa kita sebut dengan istilah kemanusiaan, cakap adaptif dengan siapapun yang aku temui, barangkali itu hanya sekelumit hasil yang tengah kutuai setelah menyandang gelar sarjana pendidikan.

Kegagalan negara yang kita singgung semalam agaknya tidak lebih naif dari pada kawanan yang dulu terlalu berlebih antipati dengan politik praktis dan pragmatisme bahkan mencacimaki keberadaan organ ekstra, saat ini gelagatnya justru lebih menjijikan dari pada apa yang dulu mereka ludahi sendiri. Beberapa komunikasi politik yang mendatangi kita di masing-masing ruang saat ini ternyata belum juga bisa kita iyakan sebelum kita ‘kelar’ dengan diri sendiri, Bung. Beda halnya dengan mereka yang mudah dibeli dan gumunan dengan iming-iming konsensus wacana politik. Ironinya, di luar ada banyak kawan yang ternyata sudah kebelet mengharap penyelamatan kesejahteraan pribadi dengan cara-cara yang menumbalkan diri untuk menjadi kacung politik prematur. Kita sepakat sampai kapanpun politik secara esensial tetaplah sebuah ‘alat’, tinggal bagaimana hari ini kita jeli membaca peta, kesepakatan mutualisme konkret, dan tentunya tidak menghianati nurani.

Berbicara gerakan, selepas dari dunia kampus, perlahan adikmu ini mulai merapal bagaimana skeptisme tidak jauh bedanya dengan optimistik, Bung. Para marhaen yang tetap dikerdilkan perselingkuhan negara dengan borjuis-borjuis agung, saat ini sudah bukan lagi dongeng di perbincangan tepi jalan, tetapi sudah riil menjadi kesaksian sepanjang hari. Sialan memang! Sempat hadir pergolakan batin mungkin ada benarnya pandangan Gie tentang nasib baik; yakni tak pernah dilahirkan atau dilahirkan tetapi mati muda. Sebab nyatanya hidup kian kemari kian dihujani berjuta keharusan yang musti dipenuhi, seperti memikirkan saku adik, membayari belanjaan becer harian ibu, atau sekadar membeli kuota bulanan. Belum lagi lingkungan sekitar jika dirasa justru ulahnya semakin individualistik. Betul yang Bung Arif kata “semua ini kesalahan kapitalisme!”. Juga menyoal gerakan masa ternyata memang selaras dengan apa yang Bung Arif deskripsikan; bahwa sejatinya tidak pernah ada tendensi substansional dalam gerakan masa, semua hanya tentang pemenuhan eksistensi, cenderung pragmatis, inklusif, dan parokal. Itu sebabnya gerakan masa tak pernah menang secara urgensi tuntutan. Nyaris menyesali sebab pernah ada di dalamnya, tetapi ternyata semua tetap saja bagian dari proses pembentukan yang sarat akan kebermanfaatan.

Aku masih ingat betul bocah penjual krupuk yang menawarkan dagangannya saat kita tengah menanti sendekolo di emperan bakaran Bonpolo. Betapapun hidup memang sawang sinawang dan ternyata ada banyak kelas marhaen dari pada tingkat kemalangan marhaen itu sendiri, Bung. Mulai menelisik banyak hal baru di dunia luar, menuntunku kian mengerti ternyata memang hidup paling sejahtera tidak pernah bisa kita ukur dengan satuan angka semata, justru kedamaian adalah saat kita berhasil menjadi manusia yang berkecukupan dan selalu merasakan kepuasan batin pasca melakukan segala sesuatu. Ya, barangkali wujud nyatanya adalah saat Bung Arif dan Sarinah Ugix yang lapang hati menghidupi ‘Omah Sinau’ dengan hasil finansial yang mungkin terbilang belum seberapa tetapi sepenunhnya menikmati proses bagaimana mendampingi keberlangsungan belajar manusia sekitar. Pun demikian halnya yang aku rasakan di sini, pening meratap nasib yang belum bertemu jodoh rezeki pekerjaan pascalulus, tertekan sebab ekonomi keluarga turut terdampak pandemi, belum lagi banyak ekspektasi orang tua yang musti kuupayakan tetapi masih ada beberapa ruang dan aktivitas yang bisa aku jadikan sumber kedamaian tersendiri, Bung; seperti menyelami bacaan baru yakni literasi seputar efektifitas gerakan sipil, pembangkangan masal yang dilandasi kesadaran kolektif, membaca ‘peta’, dan berulang merenungkan bagaimana bisa keluarga buruh tani selalu tetap saja menjalani hidup sedemikian mengalir dan tak pernah menjual ketamakan apapun. Aku bangga dan bersyukur lahir di keluarga marhaen yang menanamkan nilai anti merampas segala sesuatu yang bukan menjadi haknya walau dalam keadaan sesulit apapun, Bung.

  Biar bagaimana juga aku selalu tetap resah dan gemas setiap ditawarkan kompensasi praktik kompromistik politik, Bung. Mulai tawaran beasiswa S-2 di kampus Gajah, posisi strategis di ormas basis masa, pelibatan proyeksi agenda 2024, ladang penghegemonian gerakan, atau sekadar makan minum gratis di kafe-kafe elit. Yang menjadi persoalan adalah betapa bangsatnya indoktrinasi kaderisasi sistem politik kita yang memang selalu menumbuhkan mindset generasi yang terbiasa dengan budaya menjilat, rakus, dan bermental pengemis. Seandainya tujuan hidupku sebatas ingin menjadi orang kaya dan ternama, mungkin sudah ada berjuta jalan yang bisa kutempuh untuk menuju Roma, Bung. Meski paham betul, usia saat ini seyogyanya memang harus mulai idealis realistis dan haram hukumnya jika terlalu kaku dalam berprinsip, tetapi tetap saja masih ada perenungan bukankah terlalu najis jika aku memakan dan menikmati seluruh tawaran ini di saat mereka yang jauh dari ‘akses’ sistem masih kesulitan memenuhi kebutuhan tugas usus dua belas jari dengan menahan lapar hingga berhari-hari. Di satu sisi, mungkin karena berulang kali tidak menemukan secuilpun pijar di lautan kontestasi, ujungnya aku tetaplah skeptis dengan pola kaderisasi politik hari-hari ini, Bung. Mungkin belum masanya, atau bahkan memang ketidakadilan akibat kapitalism di balik negara akan menjadi momok sekaligus musuh selamanya.

Terlepas dari semua ledakan di atas, aku senang dan sedikit lega bisa berbagi kisah baru dengan Bung Arif baik melalui pesan singkat, percakapan daring, atau tulisan semacam ini. Di manapun kelak kita berpijak, semoga tetap mencoba menjadi baik dan selalu lebih baik. Senada dengan penutup percakapan dari Bung Arif “melalui ruang politik atau pekerjaan profesional, kita harus menyejahterakan diri terlebih dahulu supaya suatu saat bisa lebih leluasa dalam gerakan apapun yang tentunya berpihak pada keberlangsungan hidup masyarakat sipil.” Terakhir, terima kasih atas apapun yang pernah Bung Arif ajarkan dan tauladankan. Lekas membaik, Bung Arif dan Bapak. Sem

Jumat, 22 Januari 2021

Malioboro Tanpa Angklung



“Kita selalu berbeda kecuali dalam hal cinta dan tak pernah ada yang lebih romantis dari pada bahasan menyoal kebenaran.”-
Soe Hok Gie


Seandainya era 4.0 mendatangkan mesin canggih yang bisa melukiskan isi hati dan juga pikir anak manusia dengan kecepatan sekelibat cahaya serta gelombang suara terhantar, sudah tentu akan kupinjam benda itu hanya demi mengilustrasikan bagaimana kebenaran isi lamun di balik hiruk pikuknya kota pelajar; kota istimewa; kota budaya; bahkan kota saksi pelbagai kisah berjuta pasang kekasih. Betapapun tak ada yang lebih puitis dari pada cerita yang tercetus dengan nuansa Jogja sebagai latarnya.

“Ke sini tu cocoknya sama pacar.” celetukmu yang mendapati sepasang kekasih tengah saling bermanja ria teramu hanyut ditelan suasana syahdunya Malioboro sore itu. Aku mendadak kesulitan menelan bakso limaribuan emperan yang tercengang mendengar kalimat itu. Entah karena keberadaanku yang bukan sebagai kekasih tetapi terlanjur membersamai ragamu menikmati Jogja saat itu, atau karena kisahku yang nyaris tak pernah dihabiskan bersama yang terkasih tuk sekadar saling sawang sembari mempuisikan betapa mahalnya suguhan keistimewaan kota Gudeg menjadi sebabnya, atau bahkan hanya karena sebab lain yang bahkan tidak terprediksi jangkauan daya cocoklogisme yang kupunya.

Barangkali patung Abdi Dalem sudi menjadi saksi, hendaknya aku akan meminta pembuktian. Ya bukti atas sedemikian syukurku yang beruntung menemukan satu lelaki yang bahkan kukira keberadaannya punah.   

Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” – Baba O’illah (Sarinah:17, Bung Karno).

Mendamba pemandangan kesetaraan paling sejati, tadinya kukira itu semua adalah mitos belaka. Ternyata Malioboro yang tanpa angklung hari itu membuktikan jika dalam hidup masih ada kisah seutopis drama ftv, yang misalnya: momen lelaki yang mengimbangi nalar logika perempuan setengah bingung ketika perasaannya dahaga terhasut nafsu memborong tetapi harus memilih sederet buku menarik di hadapannya dengan skala prioritas, sontak kompak menahan buku yang nyaris jatuh dari rak, bersamaan memungut sampah brosur yang terserak di halaman Maal, silih berganti mencarikan jajanan, saling merekomendasikan bahan bacaan, mempersilakan duduk di kursi yang terbatas, atau sesarkas toleransi pilihan keyakinan untuk saling tidak beribadat.

   Aku tidak tahu apakah semua perempuan dalam hidupmu diperlakukan sama atau sebaliknya, tetapi yang kudapati selama mendengar suara dan menatap matamu, aku hanya menemukan hatimu yang berpijar mengkilap tanpa sandiwara. Ketika mengamati pengaminanmu saat akan melahap makan siang di warung sudut alun-alun, aku bahkan tidak menduga-duga itu lawak atau kesungguhan.

Bagaimana kamu menjaga nilai cucu Hawa, di situ aku menyimpulkan terbiasanya tumbuhmu dimahalkan kasih sayang Ibumu. Terlepas dari persoalan bagaimana penyelesaian cemburunya kekasihmu itu, di antara segala egoku pada sesaatnya bahagia yang disaksikan Jogja dan segala keistemewaanya; aku berterima kasih betul atas jawab peyakinan raguku atas mitos kesetaraan.

Kamu dengan segala perjalanan spirituil dan literatmu menjadikan mu sebagai sosok yang terbilang langka.      

Advokasi dan Peran Organisasi Mahasiswa


Preambul

Kampus sebagai representasi miniatur negara di dalam penataan dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari satu istilah yang disebut dengan ‘sistem’, mulai dari sistem keorganisasian, sistem penganggaran atau keuangan, sistem administrasi, hingga sistem sosial di lingkungannya. Dalam hal ini kita tidak akan mengulik menyoal sistem yang beraroma ke arah birokrasi kampus, melainkan kita hanya akan membicarakan menyoal sistem organisasi mahasiswa dan segala tetek bengeknya.

Ikan hiu ikan cucut, lanjut!

 Membaca Pintas Organisasi Mahasiswa

Sistem keorganisasian mahasiswa di setiap kampus memiliki keunikan-keunikan yang beragam, tentunya hal ini disebabkan karena kebutuhan dan ‘kultur’ setiap pergerakan organ mahasiswa tiap kampus berbeda-beda. Penataan organisasi mahasiswa biasanya tidak bisa terlepas jauh dari trias politica di mana di dalam suatu kelompok (negara) menerapkan kelembagaan yang berperan di tiga bidang yang meliputi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di dunia organisasi kemahasiswaan pada umumnya trias politica tidak diterapkan secara mutlak, umumnya di kampus-kampus organ mahasiswa hanya memenuhi kelembagaan legislatif dan eksekutif. Lembaga legislatif mahasiswa biasanya diperankan oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Senat Mahasiswa (Sema), Dewan Mahasiswa (Dema), Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) dan istilah-istilah lain yang sejenis. Sedangkan lembaga eksekutif meliputi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa (Hima), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Badan Semi Otonom (BSO), dan lain sebagainya.

Jika berbicara organ mahasiswa internal kampus kita memang kerap mengenal dinamika yang sebatas persoalan bagaimana peran kelegislatifan dan keeksekutifan, sedangkan jika kita melihat ke sudut pandang luar kampus ada lebih banyak organ mahasiswa eksternal yang dinamikanya sudah mengarah ke kontestasi politik mahasiswa dan dinamika ideologi. Seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) bergerak dengan ideologi maerhaenisme milik Bung Karno misalnya, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan ke-NU-an, KAMMI, HMI, IMM, PMKRI, LMND, FMN dan organ ekstra lainnya.

Pada dasarnya jika digeneralkan apapun benderanya, baik organisasi internal maupun eksternal kampus normalnya mereka sama-sama kelompok mahasiswa yang musti bergerak untuk kepentingan mahasiswa; kesejahteraan utamanya. Jika kembali ke hakikat kampus sebagai miniatur negara, tentulah organ mahasiswa ini menjadi pengisi strata yang setara dengan peran pemerintah dalam suatu negara yakni sebagai pemenuh kesejahteraan rakyat (mahasiswa umum). Dengan paradigma yang meluas, bahkan organ mahasiswa sebagai mata pisau mahasiswa selaku agen of change semestinya juga berperan sebagai pioner penyelesaian masalah-masalah yang mengusik kesejahteraan masyarakat; seperti membersamai gerakan kaum buruh dan tani secara konkret di lapangan misalnya atau minimal menjadi individu intelek muda yang mempelopori gerakan kepemudaan di desanya sendiri. Sayangnya hari-hari ini peran organ mahasiswa terancam mengalami kemunduran nilai atas keberadaannya dan perlu dipertanyakan konsistensi perjuangannya tanpa terkecuali peran diri saya sendiri yang dirasa mampu berduduk melingkar untuk rapat dan berdialektika di selasar gedung fakultas dan sekretariat tetapi masih mal-dedikatif di lingkungan masyarakat sekitar.

Aku bertanya; apakah gunanya pendidikan

jika hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya?

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibu kota,

kikuk pulang ke daerahnya?

Apakah guna seseorang belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja

bila pada akhirnya ketika pulang ke daerahya lalu berkata;

“Di sini aku merasa asing dan sepi!”

 

Kutipan “Sajak Seonggok Jagung”

W.S. Rendra

 


Aspirasi adalah Syarat Advokasi

Untuk membicarakan perihal advokasi lebih jauh, etisnya kita lebih dulu membahas menyoal aspirasi sebagai akar musabab proses pengadvokasian itu sendiri karena memang hakikat advokasi dapat dilakukan apabila ada suatu aspirasi atau aduan yang jelas dari suatu pihak maupun kelompok yang perlu dibela haknya dalam permasalahan tertentu. Individu ataupun kelompok tidak berwenang untuk menyelenggarakan proses advokasi selama pihak yang tertimpa masalah tidak mengajukan aduan (aspirasi).

Secara esensial aspirasi merupakan kebutuhan atau keinginan yang kuat. Aspirasi juga dapat diartikan sebagai suatu tuntutan yang mengusulkan untuk diadakannya proses atau perubahan terhadap suatu hal. Misalnya aspirasi yang menuntut adanya perbaikan kebijakan penurunan nominal UKT, aspirasi transparansi pengelolaan keuangan universitas, dan lain sebagainya. Aspirasi menurut pembahasaan pribadi dapat digolongkan menjadi dua jenis yakni aspirasi internal dan aspirasi eksternal. Berikut penjelasannya.

a)      Aspirasi internal

Aspirasi internal merupakan tuntutan yang berkaitan dengan kinerja lembaga eksekutif mahasiswa.

b)     Aspirasi eksternal

Aspirasi eksternal merupakan tuntutan yang berkaitan dengan kinerja atau kebijakan yang diberikan oleh birokrasi baik birokrasi kampus maupun pemerintahan.

Organisasi mahasiswa dapat menyerap aspirasi secara langsung maupun tidak langsung. Penyerapan aspirasi secara langsung dapat diimplementasikan dengan melakukan kunjungan terhadap pihak terkait atau pengadaan forum terbuka bagi mahasiswa. Sedangkan penyerapan aspirasi tidak langsung dapat diterapkan dengan menyebar angket baik selebaran maupun google formulir dan sejenisnya.

 Selain aspirasi, organ mahasiswa secara umum dan lembaga legislatif mahasiswa secara khusus harus mampu menjadi organisasi mahasiswa yang memiliki keberanian tinggi dalam mengadvokasi suatu permasalahan yang tercermin dari aspirasi-aspirasi mahasiswa. Advokasi dapat diartikan suatu tindak pembelaan yang sengaja dilakukan dalam rangka mengupayakan perubahan kebijakan yang memang dinilai tidak relevan dengan keadaan dan kebutuhan, atau advokasi ialah upaya mempengaruhi suatu kebijakan publik dalam melakukan pola komunikasi persuasif (ajakan/ proganda).

Dalam penerapannya advokasi tidak hanya dilakukan oleh lembaga legislatif mahasiswa, tetapi dalam hal ini lembaga eksekutif mahasiswa juga harus beriringan sinergis bersama lembaga legislatif mengadvokasikan segala permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan mahasiswa agar mencapai kesejahteraan bersama. Sekilas memang advokasi lembaga legislatif dan eksekutif mahasiswa nyaris tidak ada bedanya, tetapi jika ditelisik penuh jeli advokasi yang dilakukan lembaga legislatif melalui proses penjaringan aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, sedangkan advokasi lembaga eksekutif berangkat dari aduan mahasiswa secara langsung dan cenderung lebih intim (pembelaan hak, penuntutan, dll) contohnya kasus cuti.

 Kiat Beradvokasi—ria

Seringnya tokoh-tokoh organ mahasiswa justru terlalu utopis dalam memasang indikator capaian advokasi, bahkan dengan tanpa menafikan diri mulanya saya membayangkan proses menyelesaikan keresahan mahasiswa berarti yaaa peroses yang bersiklus sekadar kajian-profokasi-aksi-publikasi. Haha, konyol sangat memang premis masa lalu saya. Ternyata lambat laun perjalanan empiris penempaan diri dalam berkecimpung di dunia organisasi mahasiswa, pembiasaan berdialektika, memanfaatkan jejaring relasi, dan benturan nyata dalam segala proses akhirnya cukup memahamkan saya untuk mengartikan advokasi berarti perjuangan yang sederhana tetapi tidak sederhana. Dengan kata lain advokasi dalam benak saya merupakan tindak konkret yang dilakukan individu atau kelompok tertentu dalam memperjuangkan hak kaum yang perlu diberi pertolongan pembelaan dan kadar keberhasilannya terletak pada proses advokasi itu sendiri bukan pada istilah ‘menang’ atas penyelesaian kasus tertentu.


“Tidak ada orang yang bermimpi menjadi seseorang yang gagal, tetapi hukum yang menyatakan proses adalah segalanya memang jauh lebih mulia daripada dogma bahwa kemenangan atas sesuatu hal adalah harga diri sebuah perjuangan.”

 

Kiranya perenungan demikian-lah yang menjadi aji-aji selama ini. Penyelesaian masalah dengan langsung menempuh jalan terakhir (demonstrasi) adalah cerita usang yang memang tidak salah, tetapi tidak sepatutnya dibenarkan. Memang secara tanpa sadar pembentukan selama hidup di lembaga eksekutif, himpunan mahasiswa, jujur saja saat itu membawa seisi kepala terlumur doktrin-doktrin ‘kultur’ pergerakan yang relatif konfrontatif dan cenderung bergegas untuk melakukaan hal-hal yang nampak kasat mata demi membela kesejahteraan mahasiswa. Beda cerita dengan aura pola tindak yang saya pelajari di lembaga legislatif mahasiswa. Dengan formulasi perspektif pribadi, berikut kiat advokasi yang dapat saya bagi.

1.      Kenali lalu pahami terlebih dahulu pihak yang akan diperjuangkan dan pihak yang seharusnya mendengarkan; hal ini merupakan pondasi paling mendasar dalam sebuah proses advokasi karena dengan mengenal pihak-pihak yang bersinggungan akan membantu kita secara taktis mampu membaca dan mempersiapkan strategi jitu dalam menyelesaikan suatu masalah. Misalnya saya sebagai DPM Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan akan lebih mudah mengadvokasi kasus ketidaksesuaian penentuan nominal UKT terhadap keadaan nyata mahasiswa apabila menggunakan strategi dengar-pendapat atau sebar kuisioner pada publik, mengobservasi kondisi ekonomi keluarga mahasiswa terkait, melaporkan hasil aduan ke wakil dekan kemahasiswaan agar segera ditindaklanjuti ke pihak birokrasi universitas dari pada secara tiba-tiba menyebar pamflet satire yang menyinggung rektor tuli, kampus tidak manusiawi, dsb. 

2.      Tidak selamanya mengadvokasi berarti melawan; serumit apapun masalah kita bukankah semua akan terasa minimal agak mendingan jika kita menceritakannya dengan orang lain? Nah, begitupun dengan advokasi. Menuntut suatu perubahan atas suatu hal yang berkaitan dengan kebijakan dan kesejahteraan tidak melulu harus ditempuh lewat jalur-jalur anarkis seperti membakar ban di depan gedung rektorat, menggebrak meja di ruang audiensi birokrasi kampus dengan organ mahasiswa, atau tindakan-tindakan lain yang justru memiliki potensi memperluas jarak atau sekat antara pihak penuntut dengan pihak yang dituntut.

3.      Ciptakan dan manfaatkan hubungan baik; idealisme mahasiswa rasanya memang mustahil disatukan dengan kedudukan dan kepentingan pejabat-pejabat kampus, entah ini memang budaya wajib di kehidupan sosial kampus atau memang semuanya secara kebetulan terbangun demikian. Eits, meski idealisme adalah harga diri kaum muda bukan berarti kita harus menggadainya jika menginginkan suatu hal dari pihak tertentu, khususnya birokrasi kampus. Hidup yang enak mah hidup yang fleksibel gitu. Bolehlah kita sebagai pion organ mahasiswa menyimpan rasa sinis tersendiri terhadap petinggi kampus di palung hati, tetapi sebagai manusia yang manusia juga sebagai individu yang berpendidikan tidak sewajarnya kita membenci kepersonalan beliau-beliau. Oleh karena itu, harmonisasi perlu diwujudkan agar selain berperan penuh batasan kelas dalam memperjuangkan sesuatu hal yang dianggap rumit, kita dapat meleburkan diri dengan memposisikan hubungan intra-personal. Contoh kondisi tegang aksi masa mahasiswa yang masif biasanya tidak jauh dengan konsekuensi represi pejabat kampus, akan tetapi beda halnya dengan pengalaman saya yang pernah sok-berani berorasi dan sejujurnya khawatir dengan ancaman Pak Dekan serta jajarannya pada akhirnya semua sirna setelah saya dipanggil secara pribadi oleh Kajur saya kemudian membicarakan banyak hal seputar aksi tersebut, ajaibnya hanya karena beliau-beliau mengenal saya sebagai organisator yang tetap konsisten dalam menjaga prestasi dan IPK, data mahasiswa partisipan demonstrasi tiap fakultas yang seharusnya dilaporkan ke wakil rektor agar ditindak lanjut justru saat itu mutlak 100% data saya diputihkan (tidak dicantumkan dalam list mahasiswa provokator aksi delegasi fakultas).

4.      Beli otak dulu baru jual jasa advokasi! Perumpamaan ini mungkin terkesan sarkas, tetapi saya tidak melarang penilaian tersebut karena memang pada kenyataannya banyak sekali mahasiswa bermental baja berani orasi dan heroik dalam berperan di garda terdepan masa aksi atau turut meramaikan tagar provokatif di media sosial agar aksi kelompoknya menjadi trending topik, tetapi dari sini justru tak sedikit dari mereka yang sebenarnya andil tanpa isi kepala. Artinya mereka yang bermental makmum tanpa mengerti substansi yang diperjuangkan hanyalah properti-properti perjalanan advokasi. Memang secara psikologis kekuatan jumlah masa yang mendukung secara moril menjadi logistik non-fisik yang menambah spirit tersendiri bagi seseorang yang menempuh perjuangan advokasi, tetapi jika berbicara perjalanan efektifitas proses, sedikit atau banyaknya pihak pendukung belum tentu menjamin keberhasilan advokasi. Berbicara otak dalam advokasi tentu saja erat kaitannya dengan kedudukan kajian strategi. Kajian strategi menjadi vital dalam penuntutan atas suatu hal, karena dengan meneriakan keinginan saja malah akan ‘ditertawakan’ ketika narasi-narasi dilempar melayang tanpa analisis cermat terhadap permasalahan yang tengah terjadi beserta praduga pembelaan-pembelaan yang mungkin terlontar dari kubu pihak yang dituntut.

5.      Propaganda juga jadi modal advokasi, lho! Apalah arti hasil kajian strategi jika suatu individu atau kelompok belum memiliki daya dalam mempengaruhi pihak yang hendak diperjuangkan kesejahteraannya. Kebanyakan pihak yang ditindas justru kaum yang (maaf) cukup lemah alias tidak bernyali untuk sekadar mengeluh apalagi bersuara. Nah, dari sinilah skill propaganda menjadi penting pula. Bukan berarti propaganda yang perlu ditekuni adalah mekanisme menyebarluaskan pamflet atau spanduk provokatif, tidak. Propaganda di sini juga saya artikan sebagai kemampuan daya mempengaruhi pihak tertindas untuk berani sekadar menceritakan apa yang sebenarnya menjadi ketertekanan pihaknya (individu maupun kelompok). Propaganda akan menjadi suatu kemampuan tingkat dewa jika dibarengi pembiasaan peranan individu atau kelompok mahasiswa yang ‘luwes’ membaur secara non-formal, karena membuka kenyamanan berarti kita sudah membuka kunci keterbukaan, hasekkk.

6.      Lidi satu tidaklah berarti, tetapi lidi yang menjadi satu kesatuan tentulah akan membawa kebermanfaatan; apapun identitas atau ideologinya, organisasi mahasiswa yang sudi saling sinergi dengan menyampingkan tendensi golongan berjuang demi kepentingan yang benar-benar mengatasnamakan kesejahteraan ‘mahasiswa’ akan selalu menjadi basis masa yang kuat dalam memperjuangkan stabilitas kehidupan baik di lingkungan sosial kampus bahkan masyarakat luas.

7.     Sebaik-baiknya niat baik adalah yang dilakukan; advokasi demi apapun tidak akan menjadi berarti jika tidak dilaksanakan.

 Penutup

Perjuangan yang termulia bukan perjuangan yang berujung menang atau yang diikuti banyak pendukung, karena kemuliaan perjuangan letaknya hanya ada di hati masing-masing pemiliknya. Sekian.

Panjang umur perjuangan!