Preambul
Kampus sebagai representasi miniatur
negara di dalam penataan dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari satu
istilah yang disebut dengan ‘sistem’, mulai dari sistem keorganisasian, sistem
penganggaran atau keuangan, sistem administrasi, hingga sistem sosial di lingkungannya.
Dalam hal ini kita tidak akan mengulik menyoal sistem yang beraroma ke arah
birokrasi kampus, melainkan kita hanya akan membicarakan menyoal sistem
organisasi mahasiswa dan segala tetek bengeknya.
Ikan
hiu ikan cucut, lanjut!
Membaca
Pintas Organisasi Mahasiswa
Sistem keorganisasian mahasiswa di setiap
kampus memiliki keunikan-keunikan yang beragam, tentunya hal ini disebabkan
karena kebutuhan dan ‘kultur’ setiap pergerakan organ mahasiswa tiap kampus
berbeda-beda. Penataan organisasi mahasiswa biasanya tidak bisa terlepas jauh
dari trias politica di mana di dalam suatu kelompok (negara) menerapkan
kelembagaan yang berperan di tiga bidang yang meliputi legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Di dunia organisasi kemahasiswaan pada umumnya trias politica
tidak diterapkan secara mutlak, umumnya di kampus-kampus organ mahasiswa
hanya memenuhi kelembagaan legislatif dan eksekutif. Lembaga legislatif
mahasiswa biasanya diperankan oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Senat Mahasiswa
(Sema), Dewan Mahasiswa (Dema), Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) dan
istilah-istilah lain yang sejenis. Sedangkan lembaga eksekutif meliputi Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa (Hima), Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM), Badan Semi Otonom (BSO), dan lain sebagainya.
Jika berbicara organ mahasiswa internal
kampus kita memang kerap mengenal dinamika yang sebatas persoalan bagaimana
peran kelegislatifan dan keeksekutifan, sedangkan jika kita melihat ke sudut
pandang luar kampus ada lebih banyak organ mahasiswa eksternal yang dinamikanya
sudah mengarah ke kontestasi politik mahasiswa dan dinamika ideologi. Seperti
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) bergerak dengan ideologi
maerhaenisme milik Bung Karno misalnya, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) dengan ke-NU-an, KAMMI, HMI, IMM, PMKRI, LMND, FMN dan organ ekstra
lainnya.
Pada dasarnya jika digeneralkan apapun
benderanya, baik organisasi internal maupun eksternal kampus normalnya mereka
sama-sama kelompok mahasiswa yang musti bergerak untuk kepentingan mahasiswa;
kesejahteraan utamanya. Jika kembali ke hakikat kampus sebagai miniatur negara,
tentulah organ mahasiswa ini menjadi pengisi strata yang setara dengan peran
pemerintah dalam suatu negara yakni sebagai pemenuh kesejahteraan rakyat
(mahasiswa umum). Dengan paradigma yang meluas, bahkan organ mahasiswa sebagai
mata pisau mahasiswa selaku agen of change semestinya juga berperan
sebagai pioner penyelesaian masalah-masalah yang mengusik kesejahteraan
masyarakat; seperti membersamai gerakan kaum buruh dan tani secara konkret di
lapangan misalnya atau minimal menjadi individu intelek muda yang mempelopori gerakan
kepemudaan di desanya sendiri. Sayangnya hari-hari ini peran organ mahasiswa terancam
mengalami kemunduran nilai atas keberadaannya dan perlu dipertanyakan
konsistensi perjuangannya tanpa terkecuali peran diri saya sendiri yang dirasa mampu
berduduk melingkar untuk rapat dan berdialektika di selasar gedung fakultas dan
sekretariat tetapi masih mal-dedikatif di lingkungan masyarakat sekitar.
Aku bertanya;
apakah gunanya pendidikan
jika hanya akan
membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya
pendidikan
bila hanya
mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibu kota,
kikuk pulang ke
daerahnya?
Apakah guna
seseorang belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja
bila pada akhirnya
ketika pulang ke daerahya lalu berkata;
“Di sini aku
merasa asing dan sepi!”
Kutipan “Sajak
Seonggok Jagung”
W.S. Rendra
Aspirasi adalah Syarat
Advokasi
Untuk membicarakan
perihal advokasi lebih jauh, etisnya kita lebih dulu membahas menyoal aspirasi
sebagai akar musabab proses pengadvokasian itu sendiri karena memang hakikat
advokasi dapat dilakukan apabila ada suatu aspirasi atau aduan yang jelas dari
suatu pihak maupun kelompok yang perlu dibela haknya dalam permasalahan
tertentu. Individu ataupun kelompok tidak berwenang untuk menyelenggarakan
proses advokasi selama pihak yang tertimpa masalah tidak mengajukan aduan
(aspirasi).
Secara esensial
aspirasi merupakan kebutuhan atau keinginan yang kuat. Aspirasi juga dapat
diartikan sebagai suatu tuntutan yang mengusulkan untuk diadakannya proses atau
perubahan terhadap suatu hal. Misalnya aspirasi yang menuntut adanya perbaikan
kebijakan penurunan nominal UKT, aspirasi transparansi pengelolaan keuangan
universitas, dan lain sebagainya. Aspirasi menurut pembahasaan pribadi dapat
digolongkan menjadi dua jenis yakni aspirasi internal dan aspirasi eksternal.
Berikut penjelasannya.
a) Aspirasi
internal
Aspirasi
internal merupakan tuntutan yang berkaitan dengan kinerja lembaga eksekutif
mahasiswa.
b) Aspirasi
eksternal
Aspirasi
eksternal merupakan tuntutan yang berkaitan dengan kinerja atau kebijakan yang
diberikan oleh birokrasi baik birokrasi kampus maupun pemerintahan.
Organisasi
mahasiswa dapat menyerap aspirasi secara langsung maupun tidak langsung.
Penyerapan aspirasi secara langsung dapat diimplementasikan dengan melakukan
kunjungan terhadap pihak terkait atau pengadaan forum terbuka bagi mahasiswa.
Sedangkan penyerapan aspirasi tidak langsung dapat diterapkan dengan menyebar
angket baik selebaran maupun google formulir dan sejenisnya.
Selain aspirasi, organ mahasiswa secara umum
dan lembaga legislatif mahasiswa secara khusus harus mampu menjadi organisasi
mahasiswa yang memiliki keberanian tinggi dalam mengadvokasi suatu permasalahan
yang tercermin dari aspirasi-aspirasi mahasiswa. Advokasi dapat diartikan suatu
tindak pembelaan yang sengaja dilakukan dalam rangka mengupayakan perubahan
kebijakan yang memang dinilai tidak relevan dengan keadaan dan kebutuhan, atau
advokasi ialah upaya mempengaruhi suatu kebijakan publik dalam melakukan pola
komunikasi persuasif (ajakan/ proganda).
Dalam penerapannya
advokasi tidak hanya dilakukan oleh lembaga legislatif mahasiswa, tetapi dalam
hal ini lembaga eksekutif mahasiswa juga harus beriringan sinergis bersama
lembaga legislatif mengadvokasikan segala permasalahan yang berkaitan dengan
kepentingan mahasiswa agar mencapai kesejahteraan bersama. Sekilas memang
advokasi lembaga legislatif dan eksekutif mahasiswa nyaris tidak ada bedanya,
tetapi jika ditelisik penuh jeli advokasi yang dilakukan lembaga legislatif
melalui proses penjaringan aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, sedangkan
advokasi lembaga eksekutif berangkat dari aduan mahasiswa secara langsung dan
cenderung lebih intim (pembelaan hak, penuntutan, dll) contohnya kasus cuti.
Kiat
Beradvokasi—ria
Seringnya tokoh-tokoh organ mahasiswa
justru terlalu utopis dalam memasang indikator capaian advokasi, bahkan dengan
tanpa menafikan diri mulanya saya membayangkan proses menyelesaikan keresahan
mahasiswa berarti yaaa peroses yang bersiklus sekadar
kajian-profokasi-aksi-publikasi. Haha, konyol sangat memang premis masa lalu
saya. Ternyata lambat laun perjalanan empiris penempaan diri dalam berkecimpung
di dunia organisasi mahasiswa, pembiasaan berdialektika, memanfaatkan jejaring
relasi, dan benturan nyata dalam segala proses akhirnya cukup memahamkan saya
untuk mengartikan advokasi berarti perjuangan yang sederhana tetapi tidak
sederhana. Dengan kata lain advokasi dalam benak saya merupakan tindak konkret
yang dilakukan individu atau kelompok tertentu dalam memperjuangkan hak kaum
yang perlu diberi pertolongan pembelaan dan kadar keberhasilannya terletak pada
proses advokasi itu sendiri bukan pada istilah ‘menang’ atas penyelesaian kasus
tertentu.
“Tidak ada orang
yang bermimpi menjadi seseorang yang gagal, tetapi hukum yang menyatakan proses
adalah segalanya memang jauh lebih mulia daripada dogma bahwa kemenangan atas
sesuatu hal adalah harga diri sebuah perjuangan.”
Kiranya perenungan demikian-lah yang
menjadi aji-aji selama ini. Penyelesaian masalah dengan langsung menempuh jalan
terakhir (demonstrasi) adalah cerita usang yang memang tidak salah, tetapi
tidak sepatutnya dibenarkan. Memang secara tanpa sadar pembentukan selama hidup
di lembaga eksekutif, himpunan mahasiswa, jujur saja saat itu membawa seisi
kepala terlumur doktrin-doktrin ‘kultur’ pergerakan yang relatif konfrontatif
dan cenderung bergegas untuk melakukaan hal-hal yang nampak kasat mata demi
membela kesejahteraan mahasiswa. Beda cerita dengan aura pola tindak yang saya
pelajari di lembaga legislatif mahasiswa. Dengan formulasi perspektif pribadi,
berikut kiat advokasi yang dapat saya bagi.
1. Kenali
lalu pahami terlebih dahulu pihak yang akan diperjuangkan dan pihak yang
seharusnya mendengarkan; hal ini merupakan pondasi paling
mendasar dalam sebuah proses advokasi karena dengan mengenal pihak-pihak yang
bersinggungan akan membantu kita secara taktis mampu membaca dan mempersiapkan
strategi jitu dalam menyelesaikan suatu masalah. Misalnya saya sebagai DPM
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan akan lebih mudah mengadvokasi kasus
ketidaksesuaian penentuan nominal UKT terhadap keadaan nyata mahasiswa apabila
menggunakan strategi dengar-pendapat atau sebar kuisioner pada publik, mengobservasi
kondisi ekonomi keluarga mahasiswa terkait, melaporkan hasil aduan ke wakil
dekan kemahasiswaan agar segera ditindaklanjuti ke pihak birokrasi universitas
dari pada secara tiba-tiba menyebar pamflet satire yang menyinggung rektor
tuli, kampus tidak manusiawi, dsb.
2. Tidak
selamanya mengadvokasi berarti melawan; serumit apapun masalah
kita bukankah semua akan terasa minimal agak mendingan jika kita
menceritakannya dengan orang lain? Nah, begitupun dengan advokasi. Menuntut
suatu perubahan atas suatu hal yang berkaitan dengan kebijakan dan
kesejahteraan tidak melulu harus ditempuh lewat jalur-jalur anarkis seperti
membakar ban di depan gedung rektorat, menggebrak meja di ruang audiensi
birokrasi kampus dengan organ mahasiswa, atau tindakan-tindakan lain yang
justru memiliki potensi memperluas jarak atau sekat antara pihak penuntut
dengan pihak yang dituntut.
3. Ciptakan
dan manfaatkan hubungan baik; idealisme mahasiswa
rasanya memang mustahil disatukan dengan kedudukan dan kepentingan
pejabat-pejabat kampus, entah ini memang budaya wajib di kehidupan sosial
kampus atau memang semuanya secara kebetulan terbangun demikian. Eits,
meski idealisme adalah harga diri kaum muda bukan berarti kita harus
menggadainya jika menginginkan suatu hal dari pihak tertentu, khususnya
birokrasi kampus. Hidup yang enak mah hidup yang fleksibel gitu.
Bolehlah kita sebagai pion organ mahasiswa menyimpan rasa sinis tersendiri
terhadap petinggi kampus di palung hati, tetapi sebagai manusia yang manusia
juga sebagai individu yang berpendidikan tidak sewajarnya kita membenci
kepersonalan beliau-beliau. Oleh karena itu, harmonisasi perlu diwujudkan agar
selain berperan penuh batasan kelas dalam memperjuangkan sesuatu hal yang
dianggap rumit, kita dapat meleburkan diri dengan memposisikan hubungan
intra-personal. Contoh kondisi tegang aksi masa mahasiswa yang masif biasanya
tidak jauh dengan konsekuensi represi pejabat kampus, akan tetapi beda halnya
dengan pengalaman saya yang pernah sok-berani berorasi dan sejujurnya
khawatir dengan ancaman Pak Dekan serta jajarannya pada akhirnya semua sirna
setelah saya dipanggil secara pribadi oleh Kajur saya kemudian membicarakan
banyak hal seputar aksi tersebut, ajaibnya hanya karena beliau-beliau mengenal
saya sebagai organisator yang tetap konsisten dalam menjaga prestasi dan IPK,
data mahasiswa partisipan demonstrasi tiap fakultas yang seharusnya dilaporkan
ke wakil rektor agar ditindak lanjut justru saat itu mutlak 100% data saya
diputihkan (tidak dicantumkan dalam list mahasiswa provokator aksi delegasi
fakultas).
4. Beli
otak dulu baru jual jasa advokasi! Perumpamaan ini mungkin
terkesan sarkas, tetapi saya tidak melarang penilaian tersebut karena memang
pada kenyataannya banyak sekali mahasiswa bermental baja berani orasi dan
heroik dalam berperan di garda terdepan masa aksi atau turut meramaikan tagar provokatif
di media sosial agar aksi kelompoknya menjadi trending topik, tetapi dari sini
justru tak sedikit dari mereka yang sebenarnya andil tanpa isi kepala. Artinya
mereka yang bermental makmum tanpa mengerti substansi yang diperjuangkan
hanyalah properti-properti perjalanan advokasi. Memang secara psikologis
kekuatan jumlah masa yang mendukung secara moril menjadi logistik non-fisik
yang menambah spirit tersendiri bagi seseorang yang menempuh perjuangan
advokasi, tetapi jika berbicara perjalanan efektifitas proses, sedikit atau
banyaknya pihak pendukung belum tentu menjamin keberhasilan advokasi. Berbicara
otak dalam advokasi tentu saja erat kaitannya dengan kedudukan kajian strategi.
Kajian strategi menjadi vital dalam penuntutan atas suatu hal, karena dengan
meneriakan keinginan saja malah akan ‘ditertawakan’ ketika narasi-narasi
dilempar melayang tanpa analisis cermat terhadap permasalahan yang tengah
terjadi beserta praduga pembelaan-pembelaan yang mungkin terlontar dari kubu
pihak yang dituntut.
5. Propaganda
juga jadi modal advokasi, lho! Apalah arti hasil kajian
strategi jika suatu individu atau kelompok belum memiliki daya dalam
mempengaruhi pihak yang hendak diperjuangkan kesejahteraannya. Kebanyakan pihak
yang ditindas justru kaum yang (maaf) cukup lemah alias tidak bernyali untuk
sekadar mengeluh apalagi bersuara. Nah, dari sinilah skill propaganda menjadi
penting pula. Bukan berarti propaganda yang perlu ditekuni adalah mekanisme
menyebarluaskan pamflet atau spanduk provokatif, tidak. Propaganda di sini juga
saya artikan sebagai kemampuan daya mempengaruhi pihak tertindas untuk berani
sekadar menceritakan apa yang sebenarnya menjadi ketertekanan pihaknya
(individu maupun kelompok). Propaganda akan menjadi suatu kemampuan tingkat
dewa jika dibarengi pembiasaan peranan individu atau kelompok mahasiswa yang ‘luwes’
membaur secara non-formal, karena membuka kenyamanan berarti kita sudah membuka
kunci keterbukaan, hasekkk.
6. Lidi
satu tidaklah berarti, tetapi lidi yang menjadi satu kesatuan tentulah akan
membawa kebermanfaatan; apapun identitas atau ideologinya,
organisasi mahasiswa yang sudi saling sinergi dengan menyampingkan tendensi
golongan berjuang demi kepentingan yang benar-benar mengatasnamakan
kesejahteraan ‘mahasiswa’ akan selalu menjadi basis masa yang kuat dalam
memperjuangkan stabilitas kehidupan baik di lingkungan sosial kampus bahkan
masyarakat luas.
7. Sebaik-baiknya
niat baik adalah yang dilakukan; advokasi demi apapun
tidak akan menjadi berarti jika tidak dilaksanakan.
Penutup
Perjuangan yang termulia bukan perjuangan
yang berujung menang atau yang diikuti banyak pendukung, karena kemuliaan
perjuangan letaknya hanya ada di hati masing-masing pemiliknya. Sekian.
Panjang
umur perjuangan!