(Revitalisasi Pendidikan Informal sebagai Karakterisasi Terpenting dalam Hidup)
Oleh: Ade Safri Fitria
Pendidikan
merupakan upaya terstruktur yang dilakukan secara sengaja dalam rangka
memanusiakan manusia muda. Dengan kata lain, pendidikan berarti sebuah proses
karakterisasi atau proses pembentukan kepribadian seorang manusia. Dalam
Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 1 menjelaskan “Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.” Sedangkan tujuan dari pendidikan memiliki tiga
substansi yakni pembentukkan afeksi (sikap), kognisi (pengetahuan), dan
psikomotor (keterampilan).
Selain
pendefinisian tentang pendidikan, UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS pasal
13 ayat (1) juga menyebutkan tentang ruang pendidikan dengan redaksi “Jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya.” Pendidikan formal mencakup pendidikan dasar, menengah serta
pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal diselenggarakan
bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan/ atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan
kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk
kegiatan belajar secara mandiri.
Keluarga
sebagai kanal pendidikan informal dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi atau
satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam tatanan masyarakat. Tanpa
dijabarkan secara rinci, tentu khalayak umum paham bahwa di dalam komponen
keluarga seorang lelaki berperan sebagai subjek dengan istilah seorang “ayah”
yang notabene berfungsi selayaknya kepala dan juga topangan rumah tangga
khususnya dalam hal finansial (nafkah), sedangkan perempuan berperan sebagai
subjek (ibu) yang menentukan keterbentukkan afeksi (sikap) dari generasi atau
seorang anak dalam hal ini. Itu sebabnya peran seorang lelaki dengan perempuan
sebenarnya tidak ada dominasi subjek mana yang bertugas paling berat dalam
tatanan sosial khususnya untuk konteks keluarga, karena keduanya memiliki
koridor dan bobot atas masing-masing tanggungan baik secara moril maupun
materil. Sesuai dengan penjabaran substansi pendidikan di dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, keluarga memiliki urgensi sebagai kanal
pendidikan informal yang berposisi sebagai pendidikan terdekat dan paling
berpengaruh terhadap pembentukkan suatu kepribadian seorang anak.
Konsep
keseimbangan peran antara lelaki dengan perempuan dianalogikan oleh Bung Karno
dengan gagasan yang menyatakan “laki-laki dan perempuan adalah seperti dua
sayap dari seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung
itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; Jika patah satu dari pada dua
sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” Artinya keluarga
sebagai bentuk suatu organisasi haruslah mengedepankan kesetaraan peran antara
sosok ayah dan ibu dengan porsi yang seadil-adilnya demi tercapainya tujuan
dari keluarga itu sendiri. Terlepas dari bahasan menyoal kesetaraan peran, Bung
Karno juga mengamini bahwa masalah perempuan berarti masalah negara. Tentu saja
hal ini memiliki korelasi kuat dengan peranan perempuan yang secara tanggung
jawab moril paling mempengaruhi keterbentukan pribadi seorang anak karena
memang sejatinya ibu ialah subjek terdekat bagi seorang anak pada umumnya.
Sembilan
bulan seorang Ibu pada umumnya mengandung janin bakal reinkarnasi biologis.
Tanpa berpenghitung letih serta pengorbanan, jiwa dan hatinya begitu luas untuk
merelakan raganya diisi nyawa baru. Menjaga penuh kasih membesarkan penuh
cinta. Berlaku adil pada tubuh demi penjagaan keberadaan buah hati dalam
kandungan memang bukan perkara gampang.
Keluarga
menjadi ruang pendidikan utama dalam proses pembentukkan karakter seorang anak
sebelum dunia luar; baik kelas-kelas pendidikan formal atau lingkungan sosial
mempengaruhi proses penentuan jati dirinya. Ibu yang baik serta bijaksana pasti
interaktif dengan buah hatinya sedari si bayi berada dalam kandungan.
Membiasakan interaksi seolah sedang berbincang dengan bayi dalam kandungan,
memperdengarkan musik di muka perut ibu untuk jabang bayi, mengelus saat bayi
menendang perut ibu, dan masih banyak lagi pembiasaan yang bisa mempengaruhi
keterbentukkan karakter serta emosional anak sejak dari kandungan.
Penelitian-penelitian
ilmiah menyepakati bahwa bayi yang masih berada di dalam kandungan sebenarnya
sudah memiliki daya reseptif yang cukup baik melalui indera pendengaran. Itu
sebabnya suara dari lingkungan sekitar ibu akan menentukan tingkat kepekaan anak.
Pembiasaan pendidikan audio oleh seorang ibu terhadap anak akan membentuk
kegemaran tersendiri bagi anak itu sendiri ketika dewasa. Misalnya seorang ibu
religius akan memperdengarkan lantunan bacaan ayat suci Al-Qur’an atau shalawat
secara tidak langsung akan terekam memori bayi kemudian secara berkesinambungan
asupan memorinya saat dikandung ibu akan mengarahkan pendewasaan dirinya
sebagai pribadi yang menggemari suara yang bersifat religius, begitupun dengan
bayi yang diperdengarkan instrumen-intrumen klasik, lagu-lagu pop, rock, dan
lain sebagainya.
Selain
penentuan kegemaran, apa yang didengar bayi saat dikandung sang ibu seperti
ajakan interaksi yang komunikatif dengan peragaan seolah-olah ibu sedang
berdialog dengan bayi dalam kandungan juga akan membiasakan seorang anak
sebagai pribadi yang kelak terbiasa komunikatif dengan lingkungan sekitarnya
dan cenderung menjadi pribadi yang terbuka. Dengan demikian anak juga akan
lebih mudah dan lebih cepat menguasai keterampilan berbahasa (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis) karena sudah dibiasakan sejak berada dalam
kandungan ibu. Kosa kata yang dikuasai tentu akan lebih banyak dibandingkan
anak yang tidak terbiasa diajak sang ibu untuk berkomunikasi saat masih
dikandung.
Selain
pembentukan keterampilan berbahasa anak, pola kepedulian seorang ibu terhadap
kandungan juga mempengaruhi mutu kesehataan jiwa raga sang anak seperti pola
hidup sehat selama hamil akan menentukan banyak aspek kesehatan sang anak. Pembentukkan
emosional anak bisa dilakukan dengan cara kebiasaan mengelus bagian perut yang
ditendang anak agar menstimulus bayi bahwa setiap tindak lakunya direspon sang
ibu kemudian konsep pembiasaan ini akan membekali afeksi anak agar mendewasa
menjadi pribadi yang kaya akan empati atau kepedulian terhadap sekitarnya. Jadi,
peran kasih ibu yang tergambar melalui kedekatan dirinya dengan bayi saat dalam
kandungan akan membekali memori anak untuk menjadi pribadi yang kuat keterampilan
berbahasa melalui pendidikan audio, membekali selera kegemaran, membiasakan
anak sebagai seseorang yang interaktif, membentuk emosional yang baik dengan
sentuhan responsif ketika bayi menendang perut ibu, dan mungkin masih ada
beberapa manfaat pendidikan informal ibu terhadap anak saat mengandung.
Terlepas
dari pendidikan prenatal (sebelum kelahiran), ibu juga tentu memiliki peran-peran
di dalam keseharian anak hingga terbentuklah suatu capaian pendewasaan yang dirasa
matang bagi seorang anak. Wawasan dan/ atau taraf pendidikan perempuan
menentukan kualitas generasi. Esensi daripada pendidikan ialah mempertajam
logika dan memperhalus rasa. Itu sebabnya mengapa taraf pendidikan ibu akan
mencetuskan konsep bagaimana pola asuh yang baik untuk mendewasakan seorang
anak. Anak-anak yang baik hanya akan terlahir dari rahim dan didewasakan oleh
jiwa perempuan yang baik pula. Maksudnya setiap pengetahuan baik teoritis
maupun empiris yang dimiliki seorang perempuan akan menentukan bagaimana
keterampilan diri dalam mendidik darah dagingnya sendiri.
Pada
akhirnya bagaimana keterbentukkan anak akan ditentukan oleh kedekatan ia dengan
ibunya. Baik sejak dari dalam kandungan, pasca lahir, dan kapanpun. Pribadi perempuan
yang selalu mengajak anak untuk terbuka tentu akan menumbuhkan kualitas anak
yang senantiasa hidup penuh kejujuran dan keterbukaan. Tauladan ibu juga akan
sangat menentukan pemahaman anak dalam menentukan sikap apa yang sepantasnya ditiru
oleh pribadinya. Ibu-ibu yang terbiasa mencontohkan pola hidup bersih akan
mendoktrin anaknya untuk bernaluri mencintai segala sesuatu yang bersih dan
rapih pula, pun sebaliknya. Pepatah mengatakan “buah takkan jatuh jauh dari
pohonnya” dan hal ini dibuktikan oleh realitas yang mengamini bahwa watak
(bukan sikap) seorang ibu akan sangat kental diturunkan pada kepribadian
anaknya. Ibu yang gagal mencetuskan iklim harmonis dan kenyamanan terhadap anak
biasanya memicu ketertekanan sendiri bagi hidup seorang anak, dari ketertekanan
inilah yang pada akhirnya menuntut anak untuk hidup menjadi sebagai seorang
pemberontak dan sangat sukar menerima nasehat atau keras kepala, bahkan sangat
membuka kemungkinan bahwa anak akan menjadi pribadi yang sangat tertutup dan
apatis terhadap lingkungan sekitarnya.
Baguussss
BalasHapusKritik saran sangat diharapkan ♡
BalasHapus_Jika anda berpikir menetap di suatu tempat selama beberapa tahun, mulailah bertanam padi. Jika anda berpikir menetap untuk waktu lebih lama lagi, mulailah bertanam pohon. Akan tetapi, jika anda mau menetap untuk selamanya, mulailah mendidik manusianya_
BalasHapus*( _Confusius_ )*
Dan yang mampu mendidik manusia adalah perempuan *IBu
Subhanallah, terima kasih, Kak. Semoga kelak menjadi lelaki yang seutuhnya mengimbangi peran ibu dari anak-anakmu untuk mendidik Wkwk
BalasHapusgilssss ini daging banget Ade 🔥
BalasHapusmakasiiii, Leoniii ✨💖
BalasHapus