Kritik
Sastra pada Puisi “Pada Suatu Hari Nanti”
Karya
Sapardi Djoko Damono
Disusun
oleh Ade Safri Fitria
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tidar
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tidar
A.
Parafrase
Pada suatu hari nanti. Jasadku tak akan ada lagi. Tapi
dalam bait-bait sajak ini. Kau takkan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti.
Suaraku tak terdengar lagi. Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan
tetap kusiasati. Pada suatu hari nanti. Impianku pun tak dikenal lagi. Namun di
sela-sela huruf sajak ini. Kau takkan letih-letihnya kucari.
Karya:
Sapardi Djoko Damono
B.
Orientasi
Kritik
sastra pada puisi yang berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko
Damono (SDD) bisa menggunakan pisau analisis orientasi objektif. Orientasi
objektif merupakan sudut pandang yang fokus pada sebuah karya sastra sebagai
objek atau pusat analisis atau kajian guna memahami maksud yang dapat
ditafsirkan dari karya sastra itu sendiri. Puisi SDD yang berjudul “Pada Suatu
Hari Nanti” memiliki kekhasan diksi yang sederhana dan menggambarkan maksud pengarang
secara tertuang penuh dalam simbol-simbol yang digunakan sebagai analogi pendukung
tema kesetiaan sehingga orientasi objektif dirasa tepat untuk menjadi pisau
analisis kritik sastra pada satu karya ini. Berikut adalah penafsiran yang
dapat dijabarkan dari puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Pada
Suatu Hari Nanti”.
1.
Tema
Puisi
“Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono (SDD) mempunyai tema tentang
‘kesetiaan’. Gambaran kesetian ini dicerminkan terhadap sosok “Kau” yang bisa
ditafsirkan sebagai para pembaca, meskipun subjek “Aku” di dalam puisi ini
tidak ada, tetapi penyair akan tetap setia ada bagi pembaca karya-karyanya.
2.
Tipografi
Puisi
‘Pada Suatu Hari Nanti` karya SDD bertipografi rata kiri dan diberi kemasan wajah
sederhana untuk memperkuat makna yang hendak disampaikan yaitu tentang
kesetiaan yang tercermin dalam kesederhaan ketulusan.
3.
Pilihan Kata (Diksi)
Karya SDD satu ini menggunakan pilihan
kata (diksi) konkret. Kata kongkret adalah kata-kata yang jika dilihat secara
denotatif sama, tetapi secara konotatif tidak sama, bergantung pada situasi dan
kondisi pemakainya. Atau dengan kata lain, kata-kata yang digunakan dapat
menyaran kepada arti yang menyeluruh. Seperti pengimajian, kata yang
dikongkretkan juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang.
Pada
puisi ini contoh kata kongkret terdapat pada bait:
Namun
di sela-sela huruf sajak ini
Kau
takkan letih-letihnya kucari
Penyair mengiaskan bahwa ‘kehidupan’ itu dianalogikan
dengan sela-sela huruf pada kata-kata dalam sajak, kemudian “kau takkan
letih-letihnya kucari” berarti penyair takkan pernah berhenti untuk mencari
tujuan hidupnya.
3.
Majas
Pada
puisi ini hanya terdapat majas metafora. Metafora adalah bahasa kiasan seperti
perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata perbandingan.Metafora itu
melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978:317).
Tapi
dalam bait-bait sajak ini
Kau
takkan kurelakan sendiri
Tapi
di antara larik-larik sajak ini
Kau
akan tetap kusiasati
Namun
di sela-sela huruf sajak ini
Kau
takkan letih-letihnya kucari
Pada kata-kata dalam bait di atas menggunakan
majas metafora karena mengumpamakan sesuatu dengan bait, larik, huruf, dan
sajak.
4.
Amanat
Amanat
adalah pesan yang akan disampaikan oleh penyair melalui sebuah karya sastra.
Amanat dari puisi ini adalah bahwa penyair ingin menyampaikan kesetiaannya
kepada pembaca walaupun ia sudah tidak ada, pembaca tak perlu sedih karena penyair
tetap setia dan tetap bisa menemani pembaca dengan karya-karyanya.
5.
Perasaan
Perasaan
di dalam puisi “Pada Suatu Hari Nanti” yakni sedih karena penyair menyadari
bahwa cepat atau lambat manusia pasti akan menutup usia (meninggal), tetapi
penyair berjanji akan tetap setia pada para pembaca melalui keabadian segala
karyanya.
6.
Citraan
Pengimajian
atau pencitraan adalah suatu kata atau kelompok kata yang digunakan untuk
mennggunakan kembali kesan-kesan panca indera dalam jiwa pembaca. Berikut beberapa
larik citraan dalam puisi “Pada Suatu Hari Nanti”.
Jasadku
tak akan ada lagi (penglihatan)
Suaraku
tak terdengar lagi (pendengaran)
Kau
takkan letih-letihnya kucari (penglihatan)
C.
Teori Sastra
Teori yang digunakan untuk menganalisis puisi “Pada
Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono yakni Teori Psikoanalisis Sastra. Teori
sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra berkedudukan sebagai symptom
(gejala) dari penyairnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk
gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam
bentuk karya yang kreatif.
Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan kejiwaan penyair
berlangsung secara tanpa disadari oleh si penyair itu sendiri dan sering kali
dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi.
Dengan kata lain, ketaksadaran penyair bekerja melalui aktivitas penciptaan puisinya.
Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas
hasrat penyairnya yang terkekang (terekspresi) dalam ketidaksadaran. Berikut beberapa
simbol puisi yang dapat ditafsir sebagai bentuk gejala psikis penyair yang
termuat dalam karyanya.
Pada
Suatu Hari Nanti
Karya: Sapardi Djoko Damono
Pada suatu hari nanti
Jasadku
tak akan ada lagi
Tapi
dalam bait-bait sajak ini
Kau
takkan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku
tak terdengar lagi
Tapi
di antara larik-larik sajak ini
Kau
akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku
pun tak dikenal lagi
Namun
di sela-sela huruf sajak ini
Kau
takkan letih-letihnya kucari
Bait I
Perenungan penyair yang khawatir pada kepastian tutup usianya, tetapi penyair berjanji akan setia untuk tetap menemani para pembacanya melalui keabadian karya-karyanya.
Bait II
Keniatan hati
penyair yang akan senantiasa setia untuk tetap menemani kesunyian para pembaca
karyanya.
Bait III
Kesetiaan penyair
untuk tetap selalu menjaga keberadaan para pembaca di dalam keabadian
karya-karyanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar