Sabtu, 15 Desember 2018

Hujan dari Sebuah Ruang yang Kusebut Kampus

Adalah sedih ketika satu raga tertuntut menjadi rakus bersekian jiwa.
Kuakui memang kepercayaan mahal harganya, tetapi aku tak kehabisan pikir bagaimana bisa mereka tak saling menghargai daripada kemampuan dan keterpanggilan dirinya sendiri?

Memang langkah terbaik dalam pelaksanaan merubah sistem adalah masuk ke dalam sistem itu sendiri; namun, tidakkah mereka mampu sedikit saja me-nomorpitulikur-kan perihal sinisme pada sebuah fase kepemimpinan?

Betapapun aku jenuh mendengar sumbang yang menerus menyalahkan kepemimpinan namun mendadak multi tuna ketika ditanya dimana luka mereka (oleh pemimpinnya)?
Kemudian mereka pura-pura mati suri ketika ditanting bagaimana bila mereka yang menjadi nahkoda?

Ah, semua pecundang; memang.
Tanpa terkecuali daku sendiri yang sadar atas keadaan krisis multi dimensi tanpa terkecuali pada ruang aktualisasi dan kaderisasi.

Daku (monolog) terlalu lemah, tak mempercayai diri untuk berjabat dwifungsi hingga trifungsi (ini lelucon tetapi benar adanya).
Usai terpercaya di satu ruang, dalam hitungan hari aku ditempatkan pada kursi jabatan di ruang lain pula, pun baru-baru ini didesak ujung batas visi misi lain dimensi.

(Maha)siswa, ada berapa kepala di kampus tercinta?
Tetapi entah ada berapa pula yang rela menjadi mahasiswa seutuhnya.


Untdr, 15 Desember 18' - pasca pemira.

Kamis, 06 Desember 2018

Surat Teruntuk Kang Mas, yang Sedang atau Telah Berjuang Atas Nama Pergerakan Kampus Ini

Hidup mahasiswa!
Hidup rakyat Indonesia!

Mas, tidakkah pekikan semangat juang itu bukan nada sumbang yang asing di teling kita masing-masing? Apa kabar kalian di dunia juang yang sekarang? Apa kabar skripsweet yang belum terjamah penuh? Apa kabar murid yang kalian didik? Apa kabar kader parpol yang sedang kalian Tuhankan? Apa kabar gaji dari keringat kalian? Apa kabar istri ataupun calon istri kalian? Apa kabar jiwa darah juang kalian? Sudahkah dikau menjaga independensi mahasiswa setelah dibenturkan kehidupan masyarakat yang sejati? Ehm, apa kabar apa lagi ya? Ahya, apa kabar pergerakan kampus kita yang kian terninabobokan?

Sudah berapa buku yang telah kau khatamkan, Mas? Tentu tak terhitung nampaknya. Haha.
Bagaimana malam-malammu saat ini, Mas? Sudah semakin tidur lebih dinikah? Hehe.
Masihkah gemar menjadi perenung yang berfaedah, Mas? Semoga perenungan itu bukanlah perenungan pergulatan diri kalian sendiri. Hihi.

Semoga surat ini tersebar hingga terbaca oleh sekian Pedjoeang Pergerakan kampus ini yang memang mayoritasnya kaum adam lalu kusebut di atas dengan sapaan Kang Mas. Panggilan penuh romantisme yang sederhana untuk lapis budaya Magelangan.

Ah ya, barangkali surat ini  sampai pada Tuan yang belum mengenalku. Perkenalkan daku, Kang Mas. Namaku Ade Safri Fitria, mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang berNPM 1710301050 yang kini menduduki Semester 3 (HAHA Pake NPM segala udah kaya pencitraan sama dosen aja). Asalku Bumiayu, Brebes Selatan, Mas. Hobiku ndaki gunung ala bocah wingi sore, maen gitar ala receto, dan nulis-nulis ala penulis yang gagal puitis. Wkwk. Aku di kampus CERITANYA UKM ikut, ORMAWA ikut, ORMADA juga ikut (ya semua cuma ikut-ikutan sih), pun di luar kampus aku ini adalah seorang Sarinah masa kini. Ehehe. Kan aku rakus banget, kan?  Iya kan?

Kenal atau tak kenal itu perihal yang menjadi urusan ke pitulikur sebab yang terpenting adalah apa yang ingin kusampaikan via surat ini karena belum bisa mengirim maksud dengan perantara Via Valen (haha apaan sih). Maapkeun nek nyong nggak bisa nulis surat ini secara romantis, Mas. Tur guyonku ncen receh og.

Mas, Ade yakin tidak hanya satu dua orang dari kalian yang hobi mencari kepuasan batin via dialektika dan via aksi, memberontak petinggi kampus atas nama pembelaan terbenahnya sistem yang dirasa kurang sehat, bahkan tak sedikit dari kalian yang mengira LKMM saat ini telah kehilangan esensi roda kaderisasinya bukan? Terlebih histori juang kalian bahkan sudah ada yang tergores catatan juang pembelaan hak rakyat di luar sana, entah pembelaan hak milik tanah, penyejahteraan sosial ekonomi, pembelaan wanita yang dilecehkan, atau sekadar memberontak perihal ketentuan apa itu namanya ehm SPI nek gak salah. Dan sayang, bukan nostalgia yang ingin kubahas di sini. Sejatinya aku hanya ingin mengerti kabarmu, Kang Mas yang pernah atau sedang berjuang atas nama pergerakan. Lalu aku ingin bertukar kabar bahwa di sini ada mahasiswi kemarin sore yang kebingungan. Bukan! Bukan kebingungan ingin berguru pada siapa bukan. Melainkan kebingungan pada nasib tongkat estafet pergerakan yang tidak bisa dipungkiri ia terancam tinggal nama saat ini.

Aku sejak bayi sudah dicekoki pendidikan Pramuka, Mas. Dari sana aku dibesarkan. Tuhanku adalah pengalaman bukan bacaan macam kalian. Tapi tak apa, aku berusaha memberanikan diri untuk menyapa kalian, sekali lagi yang sedang atau telah berjuang. Betapapun banyak kemirisan yang kurasa lho, Mas. Apa karena aku yang nggak ngrokok terus nggak akrab dengan kalian-kalian? Apa karena aku yang nggak doyan mabok mendem lalu tak sepergaulan dengan beberapa bagian dari kalian? Atau karena aku yang dungu hingga hasrat ingin belajarnya tak kalian gugu?
Teruntuk Kang Mas yang sepakat bahwa LKMM kini sebatas formalitas, sudahkah kalian sepenuhnya mengkaderisasi bocah anyar dengan jalur kaderisasi trobosan? Oh ya, Mas siapa sih figur pergerakan wanita kampus ini? Aku miskin sejarah banget tur kuper sampai nggak mencium aroma pergerakan dari kaum hawa sedari tahun-tahun kampus ini berstatus luar negeri sampai jadi negeri. Buat Mbak-mbaknya yang pernah berjuang dan barangkali turut membaca, maaf ya, Mbak aku belum sempet kenal dan bahkan belum mencium tinggalan juang yang beraroma khas perjuangan seorang wanita (jarku lho).

Sudah berapa kasus yang kalian diskusikan hingga tertemu solusinya, Mas? UtĂȘk brilian yang tak teragukan, sudahkan kalian aktualisasikan (sekarang) untuk mentransfer ini itu kepada penerus? Kalau dirasa sudah, ya syukurlah. Tapi kalau belum, emang udah pasti Kang Mas panjang umur nyawa beserta perjuangannya? Hehe. Oh ya btw ini kampus bersistem KM kan ya? Yuhuuuw KELUARGA MAHASISWA wiiihh. Tapi aku selaku mahasiswi awam kok KM tidak kutemu esensi semantisnya ya, Mas? Dimana kekeluargaan dari sistem KM sih? Lha wong saiki bukan lagi jamannya demo bareng melawan sebuah rezim kok, malahan jamannya jeruk nelen jeruk alias mahasiswa lawan sesamanya (mahasiswa juga). Baik itu dengan tindak kasat mata maupun tidak. Coba, dimana sinergisitas ormawa kampus ini? Dimana letak kekeluargaan organisasi mahasiswa daerah alias ormada? Dimana harmonisnya guyub UKM-UKM pula? Pun dimana romantisme pergerakan antar pergerakan organisasi eksternal kampus ini? Duh, lagi-lagi aku yang dungu ini memang kuper nggak bisa merasakan hal-hal sepele macam itu.

Kang Mas, aku buntu nih mau nyeritain apa lagi saking njubĂȘlnya krisis di kampus kita saat ini.

Penuh harap, surat ini terbalas olehmu, Kang Mas. Ora mesake po? Nek ono mahasiswi mati gasik diduga hanya karena azab yang menimpa atas perenungan dirinya terhadap keadaan permahasiswaan kampus ini yang terkini. Whahaha. Semoga kampus ini bermahasiswi tak hanya bermahasiswa. Aku ingin bergerak atas nama pergerakan wanita. Ehm, tapi MAGER e. Hehehe. Semoga kemaluan (perihal malu dalam konteks morfologi) Kang Mas tak terpotong atas surat ini. Makaciw udah baca.

Kucukupkan, Mas.
Boleh balas langsung via sosmed, Mas.
IG : @adesafrifitria
WA : 085229078040

Kecup basah dariku,
Bocah wingi sore yang dungu.
Lafyu ♡

Minggu, 11 November 2018

Strategi Pertahanan Esensi dan Eksistensi Bahasa Ibu dalam Kehidupan Masyarakat



Strategi Pertahanan Esensi dan Eksistensi Bahasa Ibu
dalam Kehidupan Masyarakat
Oleh Ade Safri Fitria
Bahasa Ibu (Bahasa Asli, Bahasa Pertama; secara harfiah mother tongue dalam bahasa Inggris) adalah bahasa pertama yang dipelajari oleh seseorang, dan orangnya disebut penutur asli dari bahasa tersebut. Biasanya seorang anak belajar dasar-dasar bahasa pertama mereka dari keluarga mereka. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa Ibu memiliki arti yakni bahasa pertama yang dikauasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Orang tua dan lingkungan mempunyai andil besar terhadap pemerolehan bahasa yang akan dipejarinya di lembaga formal. Dijelaskan dalam aliran behavioristik Tolla dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) bahwa proses penguasaan bahasa pertama (B1) dikendalikan dari luar, yaitu oleh adanya rangsangan yang disodorkan melalui lingkungan. Dalam hal ini keluarga (ayah, ibu, kakak, nenek, kakek) atau orang-orang dewasa yang terdapat di sekitar anak merupakan sosok atau model yang paling dekat dengan anak usia dini yang menjadi suatu panutan bagi anak. Selain itu, anak usia dini memiliki karakteristik imitasi (meniru). Anak usia dini selalu meniru kegiatan-kegiatan orang dewasa atau keluarganya baik itu tingkah laku yang dilakukan keluarganya maupun bahasa yang diucapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kepandaian dalam bahasa Asli sangat penting untuk proses belajar bahasa berikutnya, karena bahasa Ibu dianggap sebagai dasar cara berpikir. Kepandaian yang kurang dari bahasa pertama seringkali membuat proses belajar bahasa lain menjadi sulit. Oleh karena itu, bahasa Ibu memiliki peran pusat dalam pendidikan. Pentingnya peran bahasa Ibu memicu kemunculan perspektif yang menganggap bahwa bahasa Ibu memang wajib dipertahankan esensi dan eksistensinya di dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa peran bahasa Ibu terhadap seorang anak di antaranya yakni bahasa Ibu merupakan alat ekspresi dan komunikasi bagi anak, bahasa Ibu merupakan sumber pengetahuan bagi anak, bahasa Ibu merupakan pertahanan yang kuat untuk melawan tergerusnya pemakaian bahasa daerah yang terjadi di era globalisasi, dan bahasa Ibu menjadi bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah. Berikut beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam rangka mempertahankan esensi dan eksistensi bahasa Ibu.
1.    Pengindahan Peringatan Hari Bahasa Ibu
UNESCO telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya bahasa Ibu untuk terus diperingati dalam arti "dipertahankan" pemakaiannya dan "diberdayakan" fungsinya. Dalam literatur sosiolinguistik makro, kajian pemertahanan bahasa lazimnya tertuju pada bahasa Ibu dalam konteks bilingual, yang dalam hal ini terdapat bahasa Ibu (minor language) atau bahasa etnis bersehadapan dengan bahasa utama (major language), seperti bahasa nasional. Hal ini relevan dengan konteks Indonesia, yang di dalamnya terdapat sekitar 700 bahasa etnis, dengan jumlah penutur yang sangat beragam dari puluhan ribu sampai puluhan juta. Sejak tahun 1951, UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan. Hal itu merupakan langkah konkret dalam pemertahanan dan pemberdayaan bahasa Ibu. Pemertahanan bahasa ibu (language maintenance) lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja, antara lain, untuk mewujudkan diversitas (keberagaman) kultural, memelihara identitas etnis, memungkinkan adaptabilitas (kemampuan beradaptasi) sosial, secara psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan meningkatkan kepekaan linguistis (Crystal, 1997). Kegiatan peringatan hari bahasa Ibu dikemas dengan mengangkat nilai-nilai kebudayaan lokal yang berkaitan dengan bahasa lokal misalnya lomba menyanyi tembang daerah seperti macapat di Jawa untuk tingkat provinsi.

2.    Pembentukkan Peraturan yang Mengikat Eksistensi Bahasa Ibu
Hal ini dapat diwujudkan melalui adanya pemunculan peraturan yang merawat keterpeliharaan pengindahan bahasa Ibu atau bahasa daerah sebagai bahasa yang digunakan sehari-hari di dalam bermasyarakat setelah bahasa nasional seperti pemunculan peraturan hari penggunaan bahasa Ibu yang dilaksanakan rutin setiap hari tertentu dalam satu pekan baik di lingkungan pendidikan formal maupun lingkungan sosial secara luas seperti keluarga, ruang kerja, ruang dinas, dan lain-lain. Dengan adanya peraturan yang dapat mengikat eksistensi bahasa Ibu tentu secara tidak langsung maupun secara langsung penggunaan bahasa Ibu atau bahasa Daerah akan terlestarikan.

3.    Pemuatan Bahasa Ibu dalam Mata Pelajaran Muatan Lokal
Dengan masuknya bahasa Ibu dalam mata pelajaran muatan lokal tentu mampu mengoptimalkan ruang pendidikan formal sebagai penjaga esensi dan eksistensi bahasa Ibu dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga merupakan upaya optimalisasi penyertaan bahasa Ibu dalam ruang pendidikan formal di luar penempatan bahasa Ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan tingkat dasar. Dengan diajarkannya bahasa Ibu di ruang pendidikan formal mampu memberikan dampak perluasan pengetahuan seorang anak dalam memahami bahasa daerahnya dibanding dengan pengetahuan yang hanya ia dapatkan di ruang keluarga. Contohnya yakni anak akan lebih menguasai pengetahuan yang lebih luas seperti pemahaman tembung kosok balen, aksara Jawa, geguritan, dan hal lain dalam konteks budaya Jawa dibandingkan dengan perolehan anak tentang bahasa Ibu atau bahasa Daerah yang hanya diajarkan tentang pelafalan istilah-istilah dan penggunaan tata bahasa seperti bahasa Jawa Ngoko dan Jawa Krama dari lingkungan keluarganya.
4.    Pemberlakuan Ruang Bahasa Ibu di Setiap Daerah Indonesia
Langkah ini dapat dititik beratkan pada peran pemerintah daerah dalam rangka merawat kelestarian bahasa daerahnya dengan penguatan partisipasi masyarakat dalam upaya ini. Dengan adanya ruang atau sudut-sudut bahasa Ibu, masyarakat umum di setiap daerah maka masyarakat baik penutur asli maupun penutur asing dari suatu bahasa daerah akan semakin terbiasa menggunakan bahasa lokalnya. Untuk penempatan sistem ini bisa dilakukan dimanapun akan tetapi hal ini dapat memberikan dampak yang cukup besar apabila sistemnya diletakkan pada ruang-ruang yang sekiranya berada di sekitar ruang publik atau pusat keramaian sehingga banyak masyarakat yang terpengaruh dibanding penempatan ruang bahasa Ibu di sudut terpencil dan sepi. Contohnya pengaktualisasian Taman Kota Berbahasa Jawa.

5.    Sosialisasi Keterkaitan Esensi dan Eksistensi Bahasa Ibu Terhadap Penanaman Nasionalisme pada Anak Sejak Dini
Sosialisasi yang menerangkan keterkaitan antara esensi dan eksistensi bahasa Ibu terhadap penanaman nasionalisme pada generasi sejak dini juga sangat penting. Selain mengoptimalkan peran orang tua dalam lingkungan pendidikan informal (keluarga), sosialisasi ini juga dapat dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan atau seminar sebagai bentuk kerjasama antara pemerintah dengan badan balai bahasa, lembaga pendidikan, serta lembaga kemasyarakatan. Dengan pelestarian bahasa Ibu tentu saja hal ini memberikan pengaruh terhadap peningkatan rasa nasionalisme dalam diri generasi masa kini dengan pendalaman-pendalaman pemahaman terhadap esensi bahasa Ibu itu sendiri. Contohnya penanaman rasa cinta tanah air melalui pembentukkan tata perilaku atau kesantunan seorang anak melalui pendidikan bahasa Ibu di lingkungan Jawa dengan penerapan tata bahasa Krama Halus misalnya.

6.    Pembuatan Kamus Bahasa Ibu atau Bahasa Daerah Digital yang Ramah Anak
Di era yang serba modern ini segala hal tentang kehidupan banyak sekali yang dapat dimuat dan diakses melalui jejaring sosial bahkan segala kalangan masyarakat dapat andil di dalamnya tanpa terkecuali golongan anak-anak. Orang tua masa kini sudah tak sedikit yang mulai memfasilitasi anak-anaknya dengan fasilitas gawai, laptop, dan berbagai jenis alat digital lainnya. Melihat keadaan ini, untuk meminimalisirkan dampak negatif penggunaan fasilitas digital bagi seorang anak, dengan adanya “Kamus Bahasa Ibu Digital yang Ramah Anak” dapat menjadi alternatif yang solutif. Ramah anak dalam hal ini yakni penerapan cara penyampaian informasi terhadap pembaca (anak-anak) dengan metode yang mudah diterima atau ditangkap. Aktualisasinya dapat dikemas melalui bentuk kamus yang bergambar, karena anak-anak pada umumnya memang lebih suka melihat gambar daripada membaca rangkaian berupa tulisan huruf perhuruf atau angka demi angka.

Selasa, 23 Oktober 2018

Strategi Pemulihan Esensial Bahasa Indonesia di Masyarakat


Strategi Pemulihan Esensial Bahasa Indonesia di Masyarakat
Oleh : Ade Safri Fitria
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tidar

Bahasa Indonesia merupakan bahasa kesatuan nasional yang secara resmi dianggap sebagai bahasa persatuan sejak Sumpah Pemuda diikrarkan pada 28 Oktober 1928. Pernyataan yang menguatkan bahasa Indonesia menjadi bahasa kesatuan terletak pada ikrar ketiga di dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” Pada zaman penjajahan, bangsa Indonesia masih kerap menggunakan bahasa masing-masing daerah, dan para penjajah melarang keras penggunaan bahasa Indonesia karena mereka khawatir apabila bahasa yang saat ini menjadi bahasa persatuan justru memicu rasa nasionalisme yang dapat mematahkan jalan perjuangan kemerdekaan yang bersifat kedaerahan pada saat itu. Bahasa Indonesia juga dianggap bahasa persatuan sebagaimana dimuat dalam Undang-undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945 BAB XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pada Pasal 36 berbunyi “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.”

Di era modern seperti saat ini bahasa Indonesia sendiri mulai tak lagi begitu diindahkan esensial penggunaannya. Masyarakat mulai terbawa arus globalisasi secara mendalam. Pengaruh westernisasi kian menjamah berbagai aspek kehidupan seperti politik, teknologi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan pendidikan. Bahasa asing saat ini justru dianggap sebagai indikator eksistensi diri suatu kepribadian. Beberapa fenomena pelunturan keindahan penggunaan bahasa Indonesia dapat kita lihat melalui penggunaan bahasa Inggris dalam penamaan produk-produk yang padahal hasil budaya Indonesia sendiri, istilah-istilah pada acara televisi yang semakin banyak menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia seperti Indonesian Lawyers Club (ILC), On The Spot, Inbox Music, dan masih banyak lagi. Bahkan di era yang serba modern ini penamaan beberapa fasilitas umum, instansi, dan beberapa kelompok persatuan cabang olahraga lebih memilih untuk menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia seperti Sriwijaya Football Club (Sriwijaya FC).

Sudah menjadi keharusan bersama bahwa esensi penggunaan bahasa Indonesia harus dikembangkan. Bayangkan saja apabila bahasa Indonesia terus menerus tergeserkan oleh bahasa asing khususnya bahasa Inggris sebagai dampak dari arus globalisasi. Sudah pasti hal ini akan berpengaruh terhadap kadar rasa nasionalisme pada diri masing-masing bangsa Indonesia bukan? Maka dari itu masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan khususnya bagi pemerintah perlu menerapkan strategi jitu dalam rangka pemulihan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan perkembangan bahasa Indonesia saat ini. (1) Memprioritaskan pelaksanaan tes Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) daripada tes Test Of English As a Foreign Language (TOEFL) di lembaga pendidikan, (2) Membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang syarat Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar yang dibuktikan dengan tes wawancara dan sertifikat dari tes UKBI, (3) Mengharuskan segala produk dari dalam negeri selalu menggunakan istilah produk-produk itu sendiri dengan bahasa Indonesia, (4) Meningkatkan upaya sosialisasi tentang betapa pentingnya penggunaan bahasa Indonesia dalam rangka menjaga rasa nasionalisme dan jati diri bangsa di ranah internasional, (5) Menambah jam pembelajaran mata pelajaran di sekolah atau mata kuliah di kampus yang sekiranya berkaitan dengan bahasa Indonesia, dan (6) Meningkatkan upaya pengenalan bahasa Indonesia sendiri untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Beberapa upaya ini apabila diterapkan oleh pemerintah dan didukung sepenuhnya oleh seluruh rakyat Indonesia, tentu saja bahasa Indonesia akan tetap bertahan sebagai identitas bangsa bahkan mampu dikenal sebagai pemicu eksistensi negeri di ruang internasional. Di sisi lain, peningkatan kesadaran penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan nasional sudah pasti dapat berpengaruh pula pada rasa nasionalisme bangsa yang turut meningkat.




Magelang, 23 Oktober 2018

                                Penulis