Adalah sedih ketika satu raga tertuntut menjadi rakus bersekian jiwa.
Kuakui memang kepercayaan mahal harganya, tetapi aku tak kehabisan pikir bagaimana bisa mereka tak saling menghargai daripada kemampuan dan keterpanggilan dirinya sendiri?
Memang langkah terbaik dalam pelaksanaan merubah sistem adalah masuk ke dalam sistem itu sendiri; namun, tidakkah mereka mampu sedikit saja me-nomorpitulikur-kan perihal sinisme pada sebuah fase kepemimpinan?
Betapapun aku jenuh mendengar sumbang yang menerus menyalahkan kepemimpinan namun mendadak multi tuna ketika ditanya dimana luka mereka (oleh pemimpinnya)?
Kemudian mereka pura-pura mati suri ketika ditanting bagaimana bila mereka yang menjadi nahkoda?
Ah, semua pecundang; memang.
Tanpa terkecuali daku sendiri yang sadar atas keadaan krisis multi dimensi tanpa terkecuali pada ruang aktualisasi dan kaderisasi.
Daku (monolog) terlalu lemah, tak mempercayai diri untuk berjabat dwifungsi hingga trifungsi (ini lelucon tetapi benar adanya).
Usai terpercaya di satu ruang, dalam hitungan hari aku ditempatkan pada kursi jabatan di ruang lain pula, pun baru-baru ini didesak ujung batas visi misi lain dimensi.
(Maha)siswa, ada berapa kepala di kampus tercinta?
Tetapi entah ada berapa pula yang rela menjadi mahasiswa seutuhnya.
Untdr, 15 Desember 18' - pasca pemira.
Sabtu, 15 Desember 2018
Kamis, 06 Desember 2018
Surat Teruntuk Kang Mas, yang Sedang atau Telah Berjuang Atas Nama Pergerakan Kampus Ini
Hidup mahasiswa!
Hidup rakyat Indonesia!
Mas, tidakkah pekikan semangat juang itu bukan nada sumbang yang asing di teling kita masing-masing? Apa kabar kalian di dunia juang yang sekarang? Apa kabar skripsweet yang belum terjamah penuh? Apa kabar murid yang kalian didik? Apa kabar kader parpol yang sedang kalian Tuhankan? Apa kabar gaji dari keringat kalian? Apa kabar istri ataupun calon istri kalian? Apa kabar jiwa darah juang kalian? Sudahkah dikau menjaga independensi mahasiswa setelah dibenturkan kehidupan masyarakat yang sejati? Ehm, apa kabar apa lagi ya? Ahya, apa kabar pergerakan kampus kita yang kian terninabobokan?
Sudah berapa buku yang telah kau khatamkan, Mas? Tentu tak terhitung nampaknya. Haha.
Bagaimana malam-malammu saat ini, Mas? Sudah semakin tidur lebih dinikah? Hehe.
Masihkah gemar menjadi perenung yang berfaedah, Mas? Semoga perenungan itu bukanlah perenungan pergulatan diri kalian sendiri. Hihi.
Semoga surat ini tersebar hingga terbaca oleh sekian Pedjoeang Pergerakan kampus ini yang memang mayoritasnya kaum adam lalu kusebut di atas dengan sapaan Kang Mas. Panggilan penuh romantisme yang sederhana untuk lapis budaya Magelangan.
Ah ya, barangkali surat ini sampai pada Tuan yang belum mengenalku. Perkenalkan daku, Kang Mas. Namaku Ade Safri Fitria, mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang berNPM 1710301050 yang kini menduduki Semester 3 (HAHA Pake NPM segala udah kaya pencitraan sama dosen aja). Asalku Bumiayu, Brebes Selatan, Mas. Hobiku ndaki gunung ala bocah wingi sore, maen gitar ala receto, dan nulis-nulis ala penulis yang gagal puitis. Wkwk. Aku di kampus CERITANYA UKM ikut, ORMAWA ikut, ORMADA juga ikut (ya semua cuma ikut-ikutan sih), pun di luar kampus aku ini adalah seorang Sarinah masa kini. Ehehe. Kan aku rakus banget, kan? Iya kan?
Kenal atau tak kenal itu perihal yang menjadi urusan ke pitulikur sebab yang terpenting adalah apa yang ingin kusampaikan via surat ini karena belum bisa mengirim maksud dengan perantara Via Valen (haha apaan sih). Maapkeun nek nyong nggak bisa nulis surat ini secara romantis, Mas. Tur guyonku ncen receh og.
Mas, Ade yakin tidak hanya satu dua orang dari kalian yang hobi mencari kepuasan batin via dialektika dan via aksi, memberontak petinggi kampus atas nama pembelaan terbenahnya sistem yang dirasa kurang sehat, bahkan tak sedikit dari kalian yang mengira LKMM saat ini telah kehilangan esensi roda kaderisasinya bukan? Terlebih histori juang kalian bahkan sudah ada yang tergores catatan juang pembelaan hak rakyat di luar sana, entah pembelaan hak milik tanah, penyejahteraan sosial ekonomi, pembelaan wanita yang dilecehkan, atau sekadar memberontak perihal ketentuan apa itu namanya ehm SPI nek gak salah. Dan sayang, bukan nostalgia yang ingin kubahas di sini. Sejatinya aku hanya ingin mengerti kabarmu, Kang Mas yang pernah atau sedang berjuang atas nama pergerakan. Lalu aku ingin bertukar kabar bahwa di sini ada mahasiswi kemarin sore yang kebingungan. Bukan! Bukan kebingungan ingin berguru pada siapa bukan. Melainkan kebingungan pada nasib tongkat estafet pergerakan yang tidak bisa dipungkiri ia terancam tinggal nama saat ini.
Aku sejak bayi sudah dicekoki pendidikan Pramuka, Mas. Dari sana aku dibesarkan. Tuhanku adalah pengalaman bukan bacaan macam kalian. Tapi tak apa, aku berusaha memberanikan diri untuk menyapa kalian, sekali lagi yang sedang atau telah berjuang. Betapapun banyak kemirisan yang kurasa lho, Mas. Apa karena aku yang nggak ngrokok terus nggak akrab dengan kalian-kalian? Apa karena aku yang nggak doyan mabok mendem lalu tak sepergaulan dengan beberapa bagian dari kalian? Atau karena aku yang dungu hingga hasrat ingin belajarnya tak kalian gugu?
Teruntuk Kang Mas yang sepakat bahwa LKMM kini sebatas formalitas, sudahkah kalian sepenuhnya mengkaderisasi bocah anyar dengan jalur kaderisasi trobosan? Oh ya, Mas siapa sih figur pergerakan wanita kampus ini? Aku miskin sejarah banget tur kuper sampai nggak mencium aroma pergerakan dari kaum hawa sedari tahun-tahun kampus ini berstatus luar negeri sampai jadi negeri. Buat Mbak-mbaknya yang pernah berjuang dan barangkali turut membaca, maaf ya, Mbak aku belum sempet kenal dan bahkan belum mencium tinggalan juang yang beraroma khas perjuangan seorang wanita (jarku lho).
Sudah berapa kasus yang kalian diskusikan hingga tertemu solusinya, Mas? UtĂȘk brilian yang tak teragukan, sudahkan kalian aktualisasikan (sekarang) untuk mentransfer ini itu kepada penerus? Kalau dirasa sudah, ya syukurlah. Tapi kalau belum, emang udah pasti Kang Mas panjang umur nyawa beserta perjuangannya? Hehe. Oh ya btw ini kampus bersistem KM kan ya? Yuhuuuw KELUARGA MAHASISWA wiiihh. Tapi aku selaku mahasiswi awam kok KM tidak kutemu esensi semantisnya ya, Mas? Dimana kekeluargaan dari sistem KM sih? Lha wong saiki bukan lagi jamannya demo bareng melawan sebuah rezim kok, malahan jamannya jeruk nelen jeruk alias mahasiswa lawan sesamanya (mahasiswa juga). Baik itu dengan tindak kasat mata maupun tidak. Coba, dimana sinergisitas ormawa kampus ini? Dimana letak kekeluargaan organisasi mahasiswa daerah alias ormada? Dimana harmonisnya guyub UKM-UKM pula? Pun dimana romantisme pergerakan antar pergerakan organisasi eksternal kampus ini? Duh, lagi-lagi aku yang dungu ini memang kuper nggak bisa merasakan hal-hal sepele macam itu.
Kang Mas, aku buntu nih mau nyeritain apa lagi saking njubĂȘlnya krisis di kampus kita saat ini.
Penuh harap, surat ini terbalas olehmu, Kang Mas. Ora mesake po? Nek ono mahasiswi mati gasik diduga hanya karena azab yang menimpa atas perenungan dirinya terhadap keadaan permahasiswaan kampus ini yang terkini. Whahaha. Semoga kampus ini bermahasiswi tak hanya bermahasiswa. Aku ingin bergerak atas nama pergerakan wanita. Ehm, tapi MAGER e. Hehehe. Semoga kemaluan (perihal malu dalam konteks morfologi) Kang Mas tak terpotong atas surat ini. Makaciw udah baca.
Kucukupkan, Mas.
Boleh balas langsung via sosmed, Mas.
IG : @adesafrifitria
WA : 085229078040
Kecup basah dariku,
Bocah wingi sore yang dungu.
Lafyu ♡
Hidup rakyat Indonesia!
Mas, tidakkah pekikan semangat juang itu bukan nada sumbang yang asing di teling kita masing-masing? Apa kabar kalian di dunia juang yang sekarang? Apa kabar skripsweet yang belum terjamah penuh? Apa kabar murid yang kalian didik? Apa kabar kader parpol yang sedang kalian Tuhankan? Apa kabar gaji dari keringat kalian? Apa kabar istri ataupun calon istri kalian? Apa kabar jiwa darah juang kalian? Sudahkah dikau menjaga independensi mahasiswa setelah dibenturkan kehidupan masyarakat yang sejati? Ehm, apa kabar apa lagi ya? Ahya, apa kabar pergerakan kampus kita yang kian terninabobokan?
Sudah berapa buku yang telah kau khatamkan, Mas? Tentu tak terhitung nampaknya. Haha.
Bagaimana malam-malammu saat ini, Mas? Sudah semakin tidur lebih dinikah? Hehe.
Masihkah gemar menjadi perenung yang berfaedah, Mas? Semoga perenungan itu bukanlah perenungan pergulatan diri kalian sendiri. Hihi.
Semoga surat ini tersebar hingga terbaca oleh sekian Pedjoeang Pergerakan kampus ini yang memang mayoritasnya kaum adam lalu kusebut di atas dengan sapaan Kang Mas. Panggilan penuh romantisme yang sederhana untuk lapis budaya Magelangan.
Ah ya, barangkali surat ini sampai pada Tuan yang belum mengenalku. Perkenalkan daku, Kang Mas. Namaku Ade Safri Fitria, mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang berNPM 1710301050 yang kini menduduki Semester 3 (HAHA Pake NPM segala udah kaya pencitraan sama dosen aja). Asalku Bumiayu, Brebes Selatan, Mas. Hobiku ndaki gunung ala bocah wingi sore, maen gitar ala receto, dan nulis-nulis ala penulis yang gagal puitis. Wkwk. Aku di kampus CERITANYA UKM ikut, ORMAWA ikut, ORMADA juga ikut (ya semua cuma ikut-ikutan sih), pun di luar kampus aku ini adalah seorang Sarinah masa kini. Ehehe. Kan aku rakus banget, kan? Iya kan?
Kenal atau tak kenal itu perihal yang menjadi urusan ke pitulikur sebab yang terpenting adalah apa yang ingin kusampaikan via surat ini karena belum bisa mengirim maksud dengan perantara Via Valen (haha apaan sih). Maapkeun nek nyong nggak bisa nulis surat ini secara romantis, Mas. Tur guyonku ncen receh og.
Mas, Ade yakin tidak hanya satu dua orang dari kalian yang hobi mencari kepuasan batin via dialektika dan via aksi, memberontak petinggi kampus atas nama pembelaan terbenahnya sistem yang dirasa kurang sehat, bahkan tak sedikit dari kalian yang mengira LKMM saat ini telah kehilangan esensi roda kaderisasinya bukan? Terlebih histori juang kalian bahkan sudah ada yang tergores catatan juang pembelaan hak rakyat di luar sana, entah pembelaan hak milik tanah, penyejahteraan sosial ekonomi, pembelaan wanita yang dilecehkan, atau sekadar memberontak perihal ketentuan apa itu namanya ehm SPI nek gak salah. Dan sayang, bukan nostalgia yang ingin kubahas di sini. Sejatinya aku hanya ingin mengerti kabarmu, Kang Mas yang pernah atau sedang berjuang atas nama pergerakan. Lalu aku ingin bertukar kabar bahwa di sini ada mahasiswi kemarin sore yang kebingungan. Bukan! Bukan kebingungan ingin berguru pada siapa bukan. Melainkan kebingungan pada nasib tongkat estafet pergerakan yang tidak bisa dipungkiri ia terancam tinggal nama saat ini.
Aku sejak bayi sudah dicekoki pendidikan Pramuka, Mas. Dari sana aku dibesarkan. Tuhanku adalah pengalaman bukan bacaan macam kalian. Tapi tak apa, aku berusaha memberanikan diri untuk menyapa kalian, sekali lagi yang sedang atau telah berjuang. Betapapun banyak kemirisan yang kurasa lho, Mas. Apa karena aku yang nggak ngrokok terus nggak akrab dengan kalian-kalian? Apa karena aku yang nggak doyan mabok mendem lalu tak sepergaulan dengan beberapa bagian dari kalian? Atau karena aku yang dungu hingga hasrat ingin belajarnya tak kalian gugu?
Teruntuk Kang Mas yang sepakat bahwa LKMM kini sebatas formalitas, sudahkah kalian sepenuhnya mengkaderisasi bocah anyar dengan jalur kaderisasi trobosan? Oh ya, Mas siapa sih figur pergerakan wanita kampus ini? Aku miskin sejarah banget tur kuper sampai nggak mencium aroma pergerakan dari kaum hawa sedari tahun-tahun kampus ini berstatus luar negeri sampai jadi negeri. Buat Mbak-mbaknya yang pernah berjuang dan barangkali turut membaca, maaf ya, Mbak aku belum sempet kenal dan bahkan belum mencium tinggalan juang yang beraroma khas perjuangan seorang wanita (jarku lho).
Sudah berapa kasus yang kalian diskusikan hingga tertemu solusinya, Mas? UtĂȘk brilian yang tak teragukan, sudahkan kalian aktualisasikan (sekarang) untuk mentransfer ini itu kepada penerus? Kalau dirasa sudah, ya syukurlah. Tapi kalau belum, emang udah pasti Kang Mas panjang umur nyawa beserta perjuangannya? Hehe. Oh ya btw ini kampus bersistem KM kan ya? Yuhuuuw KELUARGA MAHASISWA wiiihh. Tapi aku selaku mahasiswi awam kok KM tidak kutemu esensi semantisnya ya, Mas? Dimana kekeluargaan dari sistem KM sih? Lha wong saiki bukan lagi jamannya demo bareng melawan sebuah rezim kok, malahan jamannya jeruk nelen jeruk alias mahasiswa lawan sesamanya (mahasiswa juga). Baik itu dengan tindak kasat mata maupun tidak. Coba, dimana sinergisitas ormawa kampus ini? Dimana letak kekeluargaan organisasi mahasiswa daerah alias ormada? Dimana harmonisnya guyub UKM-UKM pula? Pun dimana romantisme pergerakan antar pergerakan organisasi eksternal kampus ini? Duh, lagi-lagi aku yang dungu ini memang kuper nggak bisa merasakan hal-hal sepele macam itu.
Kang Mas, aku buntu nih mau nyeritain apa lagi saking njubĂȘlnya krisis di kampus kita saat ini.
Penuh harap, surat ini terbalas olehmu, Kang Mas. Ora mesake po? Nek ono mahasiswi mati gasik diduga hanya karena azab yang menimpa atas perenungan dirinya terhadap keadaan permahasiswaan kampus ini yang terkini. Whahaha. Semoga kampus ini bermahasiswi tak hanya bermahasiswa. Aku ingin bergerak atas nama pergerakan wanita. Ehm, tapi MAGER e. Hehehe. Semoga kemaluan (perihal malu dalam konteks morfologi) Kang Mas tak terpotong atas surat ini. Makaciw udah baca.
Kucukupkan, Mas.
Boleh balas langsung via sosmed, Mas.
IG : @adesafrifitria
WA : 085229078040
Kecup basah dariku,
Bocah wingi sore yang dungu.
Lafyu ♡
Minggu, 11 November 2018
Strategi Pertahanan Esensi dan Eksistensi Bahasa Ibu dalam Kehidupan Masyarakat
Strategi
Pertahanan Esensi dan Eksistensi Bahasa Ibu
dalam
Kehidupan Masyarakat
Oleh Ade Safri Fitria
Bahasa
Ibu (Bahasa Asli, Bahasa Pertama; secara harfiah mother tongue dalam bahasa Inggris) adalah bahasa pertama yang
dipelajari oleh seseorang, dan orangnya disebut penutur asli dari bahasa
tersebut. Biasanya seorang anak belajar dasar-dasar bahasa pertama mereka dari
keluarga mereka. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa Ibu
memiliki arti yakni bahasa pertama yang dikauasai manusia sejak lahir melalui
interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan
masyarakat lingkungannya. Orang tua dan
lingkungan mempunyai andil besar terhadap pemerolehan bahasa yang akan
dipejarinya di lembaga formal. Dijelaskan dalam aliran behavioristik Tolla
dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) bahwa proses penguasaan bahasa pertama
(B1) dikendalikan dari luar, yaitu oleh adanya rangsangan yang disodorkan
melalui lingkungan. Dalam hal ini keluarga (ayah, ibu, kakak, nenek, kakek) atau
orang-orang dewasa yang terdapat di sekitar anak merupakan sosok atau model
yang paling dekat dengan anak usia dini yang menjadi suatu panutan bagi anak.
Selain itu, anak usia dini memiliki karakteristik imitasi (meniru). Anak usia
dini selalu meniru kegiatan-kegiatan orang dewasa atau keluarganya baik itu
tingkah laku yang dilakukan keluarganya maupun bahasa yang diucapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Kepandaian
dalam bahasa Asli sangat penting untuk proses belajar bahasa berikutnya, karena
bahasa Ibu dianggap sebagai dasar cara berpikir. Kepandaian yang kurang dari
bahasa pertama seringkali membuat proses belajar bahasa lain menjadi sulit. Oleh
karena itu, bahasa Ibu memiliki peran pusat dalam pendidikan. Pentingnya peran
bahasa Ibu memicu kemunculan perspektif yang menganggap bahwa bahasa Ibu memang
wajib dipertahankan esensi dan eksistensinya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Beberapa peran bahasa Ibu terhadap seorang anak di antaranya yakni bahasa Ibu
merupakan alat ekspresi dan komunikasi bagi anak, bahasa Ibu merupakan sumber
pengetahuan bagi anak, bahasa Ibu merupakan pertahanan
yang kuat untuk melawan tergerusnya pemakaian bahasa daerah yang terjadi di era
globalisasi, dan bahasa Ibu menjadi
bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah. Berikut beberapa langkah yang
dapat ditempuh dalam rangka mempertahankan esensi dan eksistensi bahasa Ibu.
1. Pengindahan Peringatan Hari Bahasa Ibu
UNESCO
telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Hal
ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya bahasa Ibu untuk terus diperingati
dalam arti "dipertahankan" pemakaiannya dan "diberdayakan"
fungsinya. Dalam literatur sosiolinguistik makro, kajian pemertahanan bahasa lazimnya
tertuju pada bahasa Ibu dalam konteks bilingual, yang dalam hal ini terdapat
bahasa Ibu (minor language) atau
bahasa etnis bersehadapan dengan bahasa utama (major language), seperti bahasa nasional. Hal ini relevan dengan
konteks Indonesia, yang di dalamnya terdapat sekitar 700 bahasa etnis, dengan
jumlah penutur yang sangat beragam dari puluhan ribu sampai puluhan juta. Sejak
tahun 1951, UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa
pengantar pendidikan. Hal itu merupakan langkah konkret dalam pemertahanan dan
pemberdayaan bahasa Ibu. Pemertahanan bahasa ibu (language maintenance) lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja,
antara lain, untuk mewujudkan diversitas (keberagaman) kultural, memelihara
identitas etnis, memungkinkan adaptabilitas (kemampuan beradaptasi) sosial, secara
psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan meningkatkan kepekaan linguistis
(Crystal, 1997). Kegiatan peringatan hari bahasa Ibu dikemas dengan mengangkat
nilai-nilai kebudayaan lokal yang berkaitan dengan bahasa lokal misalnya lomba
menyanyi tembang daerah seperti macapat
di Jawa untuk tingkat provinsi.
2. Pembentukkan Peraturan yang Mengikat Eksistensi
Bahasa Ibu
Hal
ini dapat diwujudkan melalui adanya pemunculan peraturan yang merawat
keterpeliharaan pengindahan bahasa Ibu atau bahasa daerah sebagai bahasa yang
digunakan sehari-hari di dalam bermasyarakat setelah bahasa nasional seperti
pemunculan peraturan hari penggunaan bahasa Ibu yang dilaksanakan rutin setiap
hari tertentu dalam satu pekan baik di lingkungan pendidikan formal maupun
lingkungan sosial secara luas seperti keluarga, ruang kerja, ruang dinas, dan
lain-lain. Dengan adanya peraturan yang dapat mengikat eksistensi bahasa Ibu
tentu secara tidak langsung maupun secara langsung penggunaan bahasa Ibu atau
bahasa Daerah akan terlestarikan.
3. Pemuatan Bahasa Ibu dalam Mata Pelajaran Muatan
Lokal
Dengan
masuknya bahasa Ibu dalam mata pelajaran muatan lokal tentu mampu
mengoptimalkan ruang pendidikan formal sebagai penjaga esensi dan eksistensi
bahasa Ibu dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga merupakan upaya
optimalisasi penyertaan bahasa Ibu dalam ruang pendidikan formal di luar
penempatan bahasa Ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan tingkat dasar. Dengan
diajarkannya bahasa Ibu di ruang pendidikan formal mampu memberikan dampak
perluasan pengetahuan seorang anak dalam memahami bahasa daerahnya dibanding
dengan pengetahuan yang hanya ia dapatkan di ruang keluarga. Contohnya yakni
anak akan lebih menguasai pengetahuan yang lebih luas seperti pemahaman tembung
kosok balen, aksara Jawa, geguritan, dan hal lain dalam konteks
budaya Jawa dibandingkan dengan perolehan anak tentang bahasa Ibu atau bahasa
Daerah yang hanya diajarkan tentang pelafalan istilah-istilah dan penggunaan
tata bahasa seperti bahasa Jawa Ngoko dan Jawa Krama dari lingkungan
keluarganya.
4. Pemberlakuan Ruang Bahasa Ibu di Setiap Daerah
Indonesia
Langkah
ini dapat dititik beratkan pada peran pemerintah daerah dalam rangka merawat
kelestarian bahasa daerahnya dengan penguatan partisipasi masyarakat dalam upaya
ini. Dengan adanya ruang atau sudut-sudut bahasa Ibu, masyarakat umum di setiap
daerah maka masyarakat baik penutur asli maupun penutur asing dari suatu bahasa
daerah akan semakin terbiasa menggunakan bahasa lokalnya. Untuk penempatan
sistem ini bisa dilakukan dimanapun akan tetapi hal ini dapat memberikan dampak
yang cukup besar apabila sistemnya diletakkan pada ruang-ruang yang sekiranya
berada di sekitar ruang publik atau pusat keramaian sehingga banyak masyarakat
yang terpengaruh dibanding penempatan ruang bahasa Ibu di sudut terpencil dan
sepi. Contohnya pengaktualisasian Taman Kota Berbahasa Jawa.
5. Sosialisasi Keterkaitan Esensi dan Eksistensi Bahasa
Ibu Terhadap Penanaman Nasionalisme pada Anak Sejak Dini
Sosialisasi yang menerangkan keterkaitan antara
esensi dan eksistensi bahasa Ibu terhadap penanaman nasionalisme pada generasi
sejak dini juga sangat penting. Selain mengoptimalkan peran orang tua dalam
lingkungan pendidikan informal (keluarga), sosialisasi ini juga dapat dilakukan
melalui penyuluhan-penyuluhan atau seminar sebagai bentuk kerjasama antara
pemerintah dengan badan balai bahasa, lembaga pendidikan, serta lembaga
kemasyarakatan. Dengan pelestarian bahasa Ibu tentu saja hal ini memberikan
pengaruh terhadap peningkatan rasa nasionalisme dalam diri generasi masa kini
dengan pendalaman-pendalaman pemahaman terhadap esensi bahasa Ibu itu sendiri. Contohnya
penanaman rasa cinta tanah air melalui pembentukkan tata perilaku atau
kesantunan seorang anak melalui pendidikan bahasa Ibu di lingkungan Jawa dengan
penerapan tata bahasa Krama Halus misalnya.
6. Pembuatan Kamus Bahasa Ibu atau Bahasa Daerah
Digital yang Ramah Anak
Di
era yang serba modern ini segala hal tentang kehidupan banyak sekali yang dapat
dimuat dan diakses melalui jejaring sosial bahkan segala kalangan masyarakat
dapat andil di dalamnya tanpa terkecuali golongan anak-anak. Orang tua masa
kini sudah tak sedikit yang mulai memfasilitasi anak-anaknya dengan fasilitas
gawai, laptop, dan berbagai jenis alat digital lainnya. Melihat keadaan ini,
untuk meminimalisirkan dampak negatif penggunaan fasilitas digital bagi seorang
anak, dengan adanya “Kamus Bahasa Ibu Digital yang Ramah Anak” dapat menjadi
alternatif yang solutif. Ramah anak dalam hal ini yakni penerapan cara
penyampaian informasi terhadap pembaca (anak-anak) dengan metode yang mudah
diterima atau ditangkap. Aktualisasinya dapat dikemas melalui bentuk kamus yang
bergambar, karena anak-anak pada umumnya memang lebih suka melihat gambar
daripada membaca rangkaian berupa tulisan huruf perhuruf atau angka demi angka.
Selasa, 23 Oktober 2018
Strategi Pemulihan Esensial Bahasa Indonesia di Masyarakat
Strategi Pemulihan Esensial
Bahasa Indonesia di Masyarakat
Oleh : Ade Safri Fitria
Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Universitas Tidar
Bahasa
Indonesia merupakan bahasa kesatuan nasional yang secara resmi dianggap sebagai
bahasa persatuan sejak Sumpah Pemuda diikrarkan
pada 28 Oktober 1928. Pernyataan yang menguatkan bahasa Indonesia menjadi
bahasa kesatuan terletak pada ikrar ketiga di dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi “Kami
poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia.” Pada
zaman penjajahan, bangsa Indonesia masih kerap menggunakan bahasa masing-masing
daerah, dan para penjajah melarang keras penggunaan bahasa Indonesia karena
mereka khawatir apabila bahasa yang saat ini menjadi bahasa persatuan justru memicu
rasa nasionalisme yang dapat mematahkan jalan perjuangan kemerdekaan yang
bersifat kedaerahan pada saat itu. Bahasa Indonesia juga dianggap bahasa
persatuan sebagaimana dimuat dalam Undang-undang Dasar (UUD) Republik Indonesia
Tahun 1945 BAB
XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pada Pasal
36 berbunyi “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.”
Di
era modern seperti saat ini bahasa Indonesia sendiri mulai tak lagi begitu
diindahkan esensial penggunaannya. Masyarakat mulai terbawa arus globalisasi
secara mendalam. Pengaruh westernisasi kian
menjamah berbagai aspek kehidupan seperti politik, teknologi, sosial, budaya,
pertahanan, keamanan, dan pendidikan. Bahasa asing saat ini justru dianggap
sebagai indikator eksistensi diri suatu kepribadian. Beberapa fenomena
pelunturan keindahan penggunaan bahasa Indonesia dapat kita lihat melalui
penggunaan bahasa Inggris dalam penamaan produk-produk yang padahal hasil
budaya Indonesia sendiri, istilah-istilah pada acara televisi yang semakin
banyak menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia seperti Indonesian
Lawyers Club (ILC), On The Spot, Inbox Music, dan masih banyak lagi. Bahkan di
era yang serba modern ini penamaan beberapa fasilitas umum, instansi, dan
beberapa kelompok persatuan cabang olahraga lebih memilih untuk menggunakan bahasa
Inggris daripada bahasa Indonesia seperti Sriwijaya Football Club (Sriwijaya
FC).
Sudah
menjadi keharusan bersama bahwa esensi penggunaan bahasa Indonesia harus
dikembangkan. Bayangkan saja apabila bahasa Indonesia terus menerus tergeserkan
oleh bahasa asing khususnya bahasa Inggris sebagai dampak dari arus
globalisasi. Sudah pasti hal ini akan berpengaruh terhadap kadar rasa
nasionalisme pada diri masing-masing bangsa Indonesia bukan? Maka dari itu
masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan khususnya bagi pemerintah perlu
menerapkan strategi jitu dalam rangka pemulihan penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh
pemerintah untuk mengatasi permasalahan perkembangan bahasa Indonesia saat ini. (1) Memprioritaskan pelaksanaan
tes Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) daripada tes Test Of English As a Foreign Language (TOEFL) di lembaga pendidikan, (2) Membuat peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang syarat Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus menguasai bahasa
Indonesia dengan baik dan benar yang dibuktikan dengan tes wawancara dan
sertifikat dari tes UKBI, (3) Mengharuskan segala produk dari
dalam negeri selalu menggunakan istilah produk-produk itu sendiri dengan bahasa
Indonesia, (4) Meningkatkan upaya sosialisasi
tentang betapa pentingnya penggunaan bahasa Indonesia dalam rangka menjaga rasa
nasionalisme dan jati diri bangsa di ranah internasional, (5) Menambah jam pembelajaran mata
pelajaran di sekolah atau mata kuliah di kampus yang sekiranya berkaitan dengan
bahasa Indonesia, dan (6) Meningkatkan upaya pengenalan
bahasa Indonesia sendiri untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Beberapa
upaya ini apabila diterapkan oleh pemerintah dan didukung sepenuhnya oleh
seluruh rakyat Indonesia, tentu saja bahasa Indonesia akan tetap bertahan
sebagai identitas bangsa bahkan mampu dikenal sebagai pemicu eksistensi negeri
di ruang internasional. Di sisi lain, peningkatan kesadaran penggunaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan nasional sudah pasti dapat berpengaruh pula
pada rasa nasionalisme bangsa yang turut meningkat.
Magelang, 23 Oktober 2018
Penulis
Langganan:
Postingan (Atom)