Sabtu, 15 Desember 2018

Hujan dari Sebuah Ruang yang Kusebut Kampus

Adalah sedih ketika satu raga tertuntut menjadi rakus bersekian jiwa.
Kuakui memang kepercayaan mahal harganya, tetapi aku tak kehabisan pikir bagaimana bisa mereka tak saling menghargai daripada kemampuan dan keterpanggilan dirinya sendiri?

Memang langkah terbaik dalam pelaksanaan merubah sistem adalah masuk ke dalam sistem itu sendiri; namun, tidakkah mereka mampu sedikit saja me-nomorpitulikur-kan perihal sinisme pada sebuah fase kepemimpinan?

Betapapun aku jenuh mendengar sumbang yang menerus menyalahkan kepemimpinan namun mendadak multi tuna ketika ditanya dimana luka mereka (oleh pemimpinnya)?
Kemudian mereka pura-pura mati suri ketika ditanting bagaimana bila mereka yang menjadi nahkoda?

Ah, semua pecundang; memang.
Tanpa terkecuali daku sendiri yang sadar atas keadaan krisis multi dimensi tanpa terkecuali pada ruang aktualisasi dan kaderisasi.

Daku (monolog) terlalu lemah, tak mempercayai diri untuk berjabat dwifungsi hingga trifungsi (ini lelucon tetapi benar adanya).
Usai terpercaya di satu ruang, dalam hitungan hari aku ditempatkan pada kursi jabatan di ruang lain pula, pun baru-baru ini didesak ujung batas visi misi lain dimensi.

(Maha)siswa, ada berapa kepala di kampus tercinta?
Tetapi entah ada berapa pula yang rela menjadi mahasiswa seutuhnya.


Untdr, 15 Desember 18' - pasca pemira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar