Rabu, 30 Oktober 2019

Keterbentukkan Pribadi Anak ditentukan Kedekatan dengan Sosok Ibu

(Revitalisasi Pendidikan Informal sebagai Karakterisasi Terpenting dalam Hidup)
Oleh: Ade Safri Fitria
Pendidikan merupakan upaya terstruktur yang dilakukan secara sengaja dalam rangka memanusiakan manusia muda. Dengan kata lain, pendidikan berarti sebuah proses karakterisasi atau proses pembentukan kepribadian seorang manusia. Dalam Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 1 menjelaskan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Sedangkan tujuan dari pendidikan memiliki tiga substansi yakni pembentukkan afeksi (sikap), kognisi (pengetahuan), dan psikomotor (keterampilan).

Selain pendefinisian tentang pendidikan, UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS pasal 13 ayat (1) juga menyebutkan tentang ruang pendidikan dengan redaksi “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.” Pendidikan formal mencakup pendidikan dasar, menengah serta pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/ atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.



Keluarga sebagai kanal pendidikan informal dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi atau satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam tatanan masyarakat. Tanpa dijabarkan secara rinci, tentu khalayak umum paham bahwa di dalam komponen keluarga seorang lelaki berperan sebagai subjek dengan istilah seorang “ayah” yang notabene berfungsi selayaknya kepala dan juga topangan rumah tangga khususnya dalam hal finansial (nafkah), sedangkan perempuan berperan sebagai subjek (ibu) yang menentukan keterbentukkan afeksi (sikap) dari generasi atau seorang anak dalam hal ini. Itu sebabnya peran seorang lelaki dengan perempuan sebenarnya tidak ada dominasi subjek mana yang bertugas paling berat dalam tatanan sosial khususnya untuk konteks keluarga, karena keduanya memiliki koridor dan bobot atas masing-masing tanggungan baik secara moril maupun materil. Sesuai dengan penjabaran substansi pendidikan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, keluarga memiliki urgensi sebagai kanal pendidikan informal yang berposisi sebagai pendidikan terdekat dan paling berpengaruh terhadap pembentukkan suatu kepribadian seorang anak.

Konsep keseimbangan peran antara lelaki dengan perempuan dianalogikan oleh Bung Karno dengan gagasan yang menyatakan “laki-laki dan perempuan adalah seperti dua sayap dari seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; Jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” Artinya keluarga sebagai bentuk suatu organisasi haruslah mengedepankan kesetaraan peran antara sosok ayah dan ibu dengan porsi yang seadil-adilnya demi tercapainya tujuan dari keluarga itu sendiri. Terlepas dari bahasan menyoal kesetaraan peran, Bung Karno juga mengamini bahwa masalah perempuan berarti masalah negara. Tentu saja hal ini memiliki korelasi kuat dengan peranan perempuan yang secara tanggung jawab moril paling mempengaruhi keterbentukan pribadi seorang anak karena memang sejatinya ibu ialah subjek terdekat bagi seorang anak pada umumnya.


Sembilan bulan seorang Ibu pada umumnya mengandung janin bakal reinkarnasi biologis. Tanpa berpenghitung letih serta pengorbanan, jiwa dan hatinya begitu luas untuk merelakan raganya diisi nyawa baru. Menjaga penuh kasih membesarkan penuh cinta. Berlaku adil pada tubuh demi penjagaan keberadaan buah hati dalam kandungan memang bukan perkara gampang.

Keluarga menjadi ruang pendidikan utama dalam proses pembentukkan karakter seorang anak sebelum dunia luar; baik kelas-kelas pendidikan formal atau lingkungan sosial mempengaruhi proses penentuan jati dirinya. Ibu yang baik serta bijaksana pasti interaktif dengan buah hatinya sedari si bayi berada dalam kandungan. Membiasakan interaksi seolah sedang berbincang dengan bayi dalam kandungan, memperdengarkan musik di muka perut ibu untuk jabang bayi, mengelus saat bayi menendang perut ibu, dan masih banyak lagi pembiasaan yang bisa mempengaruhi keterbentukkan karakter serta emosional anak sejak dari kandungan.

Penelitian-penelitian ilmiah menyepakati bahwa bayi yang masih berada di dalam kandungan sebenarnya sudah memiliki daya reseptif yang cukup baik melalui indera pendengaran. Itu sebabnya suara dari lingkungan sekitar ibu akan menentukan tingkat kepekaan anak. Pembiasaan pendidikan audio oleh seorang ibu terhadap anak akan membentuk kegemaran tersendiri bagi anak itu sendiri ketika dewasa. Misalnya seorang ibu religius akan memperdengarkan lantunan bacaan ayat suci Al-Qur’an atau shalawat secara tidak langsung akan terekam memori bayi kemudian secara berkesinambungan asupan memorinya saat dikandung ibu akan mengarahkan pendewasaan dirinya sebagai pribadi yang menggemari suara yang bersifat religius, begitupun dengan bayi yang diperdengarkan instrumen-intrumen klasik, lagu-lagu pop, rock, dan lain sebagainya.

Selain penentuan kegemaran, apa yang didengar bayi saat dikandung sang ibu seperti ajakan interaksi yang komunikatif dengan peragaan seolah-olah ibu sedang berdialog dengan bayi dalam kandungan juga akan membiasakan seorang anak sebagai pribadi yang kelak terbiasa komunikatif dengan lingkungan sekitarnya dan cenderung menjadi pribadi yang terbuka. Dengan demikian anak juga akan lebih mudah dan lebih cepat menguasai keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) karena sudah dibiasakan sejak berada dalam kandungan ibu. Kosa kata yang dikuasai tentu akan lebih banyak dibandingkan anak yang tidak terbiasa diajak sang ibu untuk berkomunikasi saat masih dikandung.

Selain pembentukan keterampilan berbahasa anak, pola kepedulian seorang ibu terhadap kandungan juga mempengaruhi mutu kesehataan jiwa raga sang anak seperti pola hidup sehat selama hamil akan menentukan banyak aspek kesehatan sang anak. Pembentukkan emosional anak bisa dilakukan dengan cara kebiasaan mengelus bagian perut yang ditendang anak agar menstimulus bayi bahwa setiap tindak lakunya direspon sang ibu kemudian konsep pembiasaan ini akan membekali afeksi anak agar mendewasa menjadi pribadi yang kaya akan empati atau kepedulian terhadap sekitarnya. Jadi, peran kasih ibu yang tergambar melalui kedekatan dirinya dengan bayi saat dalam kandungan akan membekali memori anak untuk menjadi pribadi yang kuat keterampilan berbahasa melalui pendidikan audio, membekali selera kegemaran, membiasakan anak sebagai seseorang yang interaktif, membentuk emosional yang baik dengan sentuhan responsif ketika bayi menendang perut ibu, dan mungkin masih ada beberapa manfaat pendidikan informal ibu terhadap anak saat mengandung.


Terlepas dari pendidikan prenatal (sebelum kelahiran), ibu juga tentu memiliki peran-peran di dalam keseharian anak hingga terbentuklah suatu capaian pendewasaan yang dirasa matang bagi seorang anak. Wawasan dan/ atau taraf pendidikan perempuan menentukan kualitas generasi. Esensi daripada pendidikan ialah mempertajam logika dan memperhalus rasa. Itu sebabnya mengapa taraf pendidikan ibu akan mencetuskan konsep bagaimana pola asuh yang baik untuk mendewasakan seorang anak. Anak-anak yang baik hanya akan terlahir dari rahim dan didewasakan oleh jiwa perempuan yang baik pula. Maksudnya setiap pengetahuan baik teoritis maupun empiris yang dimiliki seorang perempuan akan menentukan bagaimana keterampilan diri dalam mendidik darah dagingnya sendiri.

Pada akhirnya bagaimana keterbentukkan anak akan ditentukan oleh kedekatan ia dengan ibunya. Baik sejak dari dalam kandungan, pasca lahir, dan kapanpun. Pribadi perempuan yang selalu mengajak anak untuk terbuka tentu akan menumbuhkan kualitas anak yang senantiasa hidup penuh kejujuran dan keterbukaan. Tauladan ibu juga akan sangat menentukan pemahaman anak dalam menentukan sikap apa yang sepantasnya ditiru oleh pribadinya. Ibu-ibu yang terbiasa mencontohkan pola hidup bersih akan mendoktrin anaknya untuk bernaluri mencintai segala sesuatu yang bersih dan rapih pula, pun sebaliknya. Pepatah mengatakan “buah takkan jatuh jauh dari pohonnya” dan hal ini dibuktikan oleh realitas yang mengamini bahwa watak (bukan sikap) seorang ibu akan sangat kental diturunkan pada kepribadian anaknya. Ibu yang gagal mencetuskan iklim harmonis dan kenyamanan terhadap anak biasanya memicu ketertekanan sendiri bagi hidup seorang anak, dari ketertekanan inilah yang pada akhirnya menuntut anak untuk hidup menjadi sebagai seorang pemberontak dan sangat sukar menerima nasehat atau keras kepala, bahkan sangat membuka kemungkinan bahwa anak akan menjadi pribadi yang sangat tertutup dan apatis terhadap lingkungan sekitarnya.

Rabu, 02 Oktober 2019

Kritik Sastra pada Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" Karya Sapardi Djoko Damono


Kritik Sastra pada Puisi “Pada Suatu Hari Nanti”
Karya Sapardi Djoko Damono
Disusun oleh Ade Safri Fitria
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Tidar

A.    Parafrase
Pada suatu hari nanti. Jasadku tak akan ada lagi. Tapi dalam bait-bait sajak ini. Kau takkan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti. Suaraku tak terdengar lagi. Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati. Pada suatu hari nanti. Impianku pun tak dikenal lagi. Namun di sela-sela huruf sajak ini. Kau takkan letih-letihnya kucari.
Karya: Sapardi Djoko Damono

B.     Orientasi
Kritik sastra pada puisi yang berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono (SDD) bisa menggunakan pisau analisis orientasi objektif. Orientasi objektif merupakan sudut pandang yang fokus pada sebuah karya sastra sebagai objek atau pusat analisis atau kajian guna memahami maksud yang dapat ditafsirkan dari karya sastra itu sendiri. Puisi SDD yang berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” memiliki kekhasan diksi yang sederhana dan menggambarkan maksud pengarang secara tertuang penuh dalam simbol-simbol yang digunakan sebagai analogi pendukung tema kesetiaan sehingga orientasi objektif dirasa tepat untuk menjadi pisau analisis kritik sastra pada satu karya ini. Berikut adalah penafsiran yang dapat dijabarkan dari puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Pada Suatu Hari Nanti”.
1.      Tema
Puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono (SDD) mempunyai tema tentang ‘kesetiaan’. Gambaran kesetian ini dicerminkan terhadap sosok “Kau” yang bisa ditafsirkan sebagai para pembaca, meskipun subjek “Aku” di dalam puisi ini tidak ada, tetapi penyair akan tetap setia ada bagi pembaca karya-karyanya.

2.      Tipografi
Puisi ‘Pada Suatu Hari Nanti` karya SDD bertipografi rata kiri dan diberi kemasan wajah sederhana untuk memperkuat makna yang hendak disampaikan yaitu tentang kesetiaan yang tercermin dalam kesederhaan ketulusan.

3. Pilihan Kata (Diksi)
Karya SDD satu ini menggunakan pilihan kata (diksi) konkret. Kata kongkret adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama, tetapi secara konotatif tidak sama, bergantung pada situasi dan kondisi pemakainya. Atau dengan kata lain, kata-kata yang digunakan dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh. Seperti pengimajian, kata yang dikongkretkan juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang.
Pada puisi ini contoh kata kongkret terdapat pada bait:
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari
Penyair mengiaskan bahwa ‘kehidupan’ itu dianalogikan dengan sela-sela huruf pada kata-kata dalam sajak, kemudian “kau takkan letih-letihnya kucari” berarti penyair takkan pernah berhenti untuk mencari tujuan hidupnya.

3.      Majas
Pada puisi ini hanya terdapat majas metafora. Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata perbandingan.Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978:317).

Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari
Pada kata-kata dalam bait di atas menggunakan majas metafora karena mengumpamakan sesuatu dengan bait, larik, huruf, dan sajak.

4.      Amanat
Amanat adalah pesan yang akan disampaikan oleh penyair melalui sebuah karya sastra. Amanat dari puisi ini adalah bahwa penyair ingin menyampaikan kesetiaannya kepada pembaca walaupun ia sudah tidak ada, pembaca tak perlu sedih karena penyair tetap setia dan tetap bisa menemani pembaca dengan karya-karyanya.

5.      Perasaan
Perasaan di dalam puisi “Pada Suatu Hari Nanti” yakni sedih karena penyair menyadari bahwa cepat atau lambat manusia pasti akan menutup usia (meninggal), tetapi penyair berjanji akan tetap setia pada para pembaca melalui keabadian segala karyanya.

6.      Citraan
Pengimajian atau pencitraan adalah suatu kata atau kelompok kata yang digunakan untuk mennggunakan kembali kesan-kesan panca indera dalam jiwa pembaca. Berikut beberapa larik citraan dalam puisi “Pada Suatu Hari Nanti”.
Jasadku tak akan ada lagi               (penglihatan)
Suaraku tak terdengar lagi              (pendengaran)
Kau takkan letih-letihnya kucari     (penglihatan)

C.    Teori Sastra
Teori yang digunakan untuk menganalisis puisi “Pada Suatu Hari Nanti” karya Sapardi Djoko Damono yakni Teori Psikoanalisis Sastra. Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra berkedudukan sebagai symptom (gejala) dari penyairnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya yang kreatif.
Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan kejiwaan penyair berlangsung secara tanpa disadari oleh si penyair itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran penyair bekerja melalui aktivitas penciptaan puisinya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat penyairnya yang terkekang (terekspresi) dalam ketidaksadaran. Berikut beberapa simbol puisi yang dapat ditafsir sebagai bentuk gejala psikis penyair yang termuat dalam karyanya.

Pada Suatu Hari Nanti
Karya: Sapardi Djoko Damono

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari

Bait I

Perenungan penyair yang khawatir pada kepastian tutup usianya, tetapi penyair berjanji akan setia untuk tetap menemani para pembacanya melalui keabadian karya-karyanya.


Bait II
Keniatan hati penyair yang akan senantiasa setia untuk tetap menemani kesunyian para pembaca karyanya.

Bait III
Kesetiaan penyair untuk tetap selalu menjaga keberadaan para pembaca di dalam keabadian karya-karyanya.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Pagar Merah Mahasiswa Bintang Banteng



Tentang hari-hari yang begitu singkat, sejujurnya hati belum sudi untuk mengubur.

Tak salah memang hal terberat dalam hidup adalah mengikhlaskan.
Orang-orang yang akan tertawa bersamaku masih begitu banyak tetapi yang membersamai tangisku satu persatu akan tersekat jarak dan ruang. 

Aku takut sekali pada caci maki sunyi.
Lelahnya petualangan takkan lagi tergenapi kawan seperjalanan. 

Pencarian belum usai tetapi romantisme akan lekas dicerai.
Cumbu pada mulut botol air yang menenangkan bak minuman surga, cerutu yang menjadi kekasih para kutu buku, hisapan zat pelayang imaji, orgasme dua birahi anakan puisi, pendebatan kontemplasi metafisik antara hamba dengan Tuhannya, kemudian apa lagi?
Ah begitu banyak kesuraman yang akan dirindukan.

Dosa pahala menjadi bahasan rahasia paling rahasia,
Kemanusiaan menjadi hal yang didewakan.

Teruntuk kalian yang aku maksud, terima kasih telah menjadi Bapak dari ovum persajakan tepi selangkangan kehidupan.

Bir, rokok, cumbu bibir, sepertubuhan, narkoba, bincangan malam yang panjang, wajah kusut tak mandi seharian dilanjut laju kuliah di hari kemudian, otak sakau yang mengkuhumi diskusi kelas, hujatan pada intelektualitas dosen beserta metode ajarnya.
Sungguh, kita mahasiswa najis di bilik kiri bendera merah di pusara bintang tunggal.

Berkedok koleksi literasi, kita merasuki nadi-nadi dungu yang hidupnya tak berkiblat.
Semoga mereka tak tersesat, biar kita yang menetap pada gelar mahasiswa bangsat.

Selasa, 21 Mei 2019

Renungan dari Ibu Kota Sampai ke Kosan

Gambar Bernyawa di Dinding Kamar Kosku


PKI diduga hidup kembali
Mahasiswa kian beroposisi dengan pemerintah
Pendaratan peluru dan bakar ban sana-sini
Profokator mulai pasang taring cari mangsa pada bangsanya sendiri;
PERSETAN!

Dapat dipastikan benih sinisme pada kaum Thionghoa akan kembali ditebar
Padahal Gus Dur telah memperjuangkan perdamaian dalam hal ini, dulu.
Persatuan kian terancam padahal Tan Malaka telah menggagas sistem Republik untuk negeri ini, dulu. 

Kemerdekaan kembali dijajah bangsa sendiri padahal Bung Karno telah memproklamasikan kebebasan bangsa, dulu.
Perempuan kian tak sadar peran dibuatnya terlena kenyamanan hingga tak peduli pada marwah perjuangan wanita yang didalangi pula oleh Ibu Kartini, dulu. 

Indonesia akan semakin porak poranda dibuat bangsanya sendiri. 

Selamat berjuang Bapak Jokowi. 

Bapak adalah reinkarnasi semua penggede Indonesia yang jiwanya terakulturasi dalam satu raga Bapak. 

Panjang umur perdjoeangan!



Magelang, 22 Mei 2019.

Minggu, 19 Mei 2019

Kecil Kampusku Besar Tuntutan Dewasanya



(Kado Orasi Diksi di Hari Kebangkitan Nasional dari Ade Safri Fitria)


Sedari 2014 kampusku beralih status dari luar negeri (swasta) menjadi kampus negeri. Hingga 2019, rasanya lima tahun bukanlah golongan usia kampus negeri yang layak dikata dewasa. Analoginya rumahku yang satu ini bak balita yang sedang meraba banyak hal menyoal kehidupan, logika dan nuraninya tentu belum cukup umur untuk menadang dinamika dunia dewasa yang membentur. Bapak Republik, Tan Malaka menyeletuk ujaran yang sangat tidak asing di telinga para kaum muda khususnya mahasiswa “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk” sebagai belati juang yang harus ditanam mengakar dalam mindset kaula muda wabilkhusus mahasiswa itu sendiri yang dianggap sebagai agen perubahan, katanya. Naasnya benturan di kampus kecilku ini tidak menjamin keterbentukan justru meninabobokan. Miris.

Belakangan Keluarga Mahasiswa di kampus beralmamater jas kuning di tengah hiruk pikuk Kota Sejuta Bunga, Magelang ini dibuat pusing tujuh keliling. Serangan fajar pasca pemperbaharuan jajaran petinggi kampus mulai menyulut kandang kenyamanan. Kebijakan menghantam berbagai lini dengan atas nama perubahan yang katanya akselerasi, cih! Berikut beberapa problematika yang ada di kampus mungil yang dipaksa dewasa.
  1. Mulai dari gonjang-ganjing kalender akademik saat awal tahun yang memperdebatkan libur panjang,
  2. Syarat pengambilan SKS berdasarkan capaian IPK,
  3. SIBITA dan E-LITA yang entah bagaimana kabarnya dan dipastikan belum banyak mahasiswa mengerti atau bahkan sekadar mendengar mengenai dua sistem akademik ini,
  4. Almamater mahasiswa 2018 yang ternyata sembrono ukurannya,
  5. Kartu Tanda Mahasiswa 2018 yang juga entah apa kabar pemerataan pengadaannya,
  6. Sistem pendanaan kebutuhan organisasi kemahasiswaan yang semakin ruwet hingga kantong mahasiswa-mahasiswa di dalamnya kerap diperas atas nama pengorbanan,
  7. Peminjaman ruang yang kian dipersulit pula,
  8. Pengadaan inventaris Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang diulur-ulur melulu,
  9. Fasilitas kampus yang belum cukup memadai seperti ruang kelas yang tidak sesuai keberanian tampungan kuantitas kepala mahasiswa yang semakin bombastis, wifi yang hilang-hilangan layaknya doi, serta masih banyak sarana prasarana pendukung perkuliahan yang belum cukup dikata mendukung,
  10. Kebijakan pembatasan jam malam yang pemformulasiannya tidak melibatkan elemen mahasiswa apalagi nihil penawaran solusi terhadap segala bentuk dampaknya,
  11. Pola pengembangan sumber daya mahasiswa yang semakin tak tentu arahnya,
  12. Minimnya penyediaan kesekretariatan organisasi mahasiswa,Hingga UKT calon mahasiswa baru 2019 yang justru begitu mendongak atas nama kebutuhan nadi pembangunan tanpa mempertimbangkan kondisi iklim kampus yang sejatinya masih dekat dengan keadaan latarbelakang perekonomian mahasiswa secara mayoritas menengah bawah, dan masih banyak hal yang belum bisa diilustrasikan apalagi untuk didefinisikan.
Memang begitu penting proses suatu perubahan itu muncul, bahkan saya pribadi selalu mengaminkan adanya sebuah perubahan dalam konteks apapun selagi itu semua atas nama kebaikan. Tetapi kebaikan di sini harus diartikan sebagai kebaikan bersama bukan sepihak saja. Saya paham betul orientasi kampus kecil ini mulai dituntun untuk lekas menjelma langkah lampah kaki manusia dewasa, sayangnya segala bentuk keadaan di sini masih banyak cacat pincangnya. Terbukti dengan kurangnya keterbukaan jajaran pemimpin yang belum turut melibatkan jiwa raga mahasiswa yang seharusnya dianggap sebagai warga kampus yang akan menjadi pencicip segala kebijakan kampus, juga. Sistem yang kian otoriter mengingatkan ini kepala pada dimensi rezim orde baru dimana mahasiswa selaku kaum muda dibungkam melalui banyak cara hingga langkah juangnya terpangkas.

Terlepas dari sinisme terhadap birokrat, pun keadaan mahasiswa sendiri harus dikritisi pula. Sudah sejauh ini kampus merangkak dengan status kenegerian, tetapi sumber daya mahasiswa yang ada masih banyak yang belum memahami esensi apa itu mahasiswa. Budaya yang masih membabibuta adalah rasa nyaman pada pola mahasiswa kuliah pulang-kuliah pulang (kupu-kupu). Masih sangat jarang ada mahasiswa yang tulus menjadi kaum kuliah rapat-kuliah rapat (kura-kura). Dapat dihitung jari berapa jumlah mahasiswa yang dengan konyolnya berkenan memberangkatkan diri dengan berbagai motif mengisi ruang fungsionaris organisasi mahasiswa (ormawa) baik yang pemerintahan seperti DPM, BEM di tingkat universitas maupun fakultas serta Himpunan baik di tingkat jurusan maupun program studi, dan organisasi mahasiswa yang non pemerintahan seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Organisasi Mahasiswa Daerah (ORMADA), dan komunitas pengembangan. Saya sebut konyol karena kaum seperti merekalah yang menjadi ikan pelawan arus di saat ikan lainnya secara mayoritas memilih tenang tanpa mendekat pada ombak. Namun, perlu kita digarisbawahi pula pada kenyataan yang ada; mahasiswa yang andil di dalam struktural organisasi mahasiswa pun tidak sepenuhnya semua paham atas peranan daripada tupoksinya. Masih begitu banyak pula kaum apatis yang berkedok di balik jubah aktivis. Pun belum tentu mahasiswa yang tidak berkecimpung dalam ranah aktivisme justru mahasiswa ramutu yang tidak membawa kebermanfaatan dalam kepeduliannya.

Seluruh fungsionaris entah itu organisatoris, maupun aktivis hendaknya lebih rajin berkontemplasi sudah sejauh mana mereka berjuang, sudah sebesar apa hal yang telah atau sedang, juga akan diperjuangkan. Apakah masih sebatas menyandang status event organizer (EO)? Atau sudah berani lantang melawan kebungkaman dan menyuarakan kebenaran? Ada banyak sekali PR mahasiswa sendiri. Beberapa di antaranya menyadarkan diri bahwa budaya lingkungan kampus harusnya diisi kerumunan mahasiswa yang candu dalam bahasan dialektis, menanaman diskusi sebagai pangan pokok harian, menjadikan bacaan sebagai hidangan penunjang keterbentukkan, meminimalisir kedunguan manusia yang diperbudak telepon pintar semacam candu game yang mendukung sikap induvidualis hingga merambah sebagai benih antipati terhadap kerumunan sosial sesama mahasiswa, dan masih banyak lagi yang semestinya dipahamkan.

Sungguh betapapun banyak hal yang harus diuraikan, begitu banyak hak yang dirasa semestinya diperjuangkan, dan juga begitu banyak kepincangan tatanan sistem yang wajib diseimbangkan. Mahasiswa dalam arti yang seluas-luasnya, seyogyanya mereka memahami bahwa yang harus mereka musuhi adalah ketakutan atau kegelisahan dari kebungkaman perjuangan, sedang yang semestinya diagungkan sebagai kekuatan adalah persatuan atas nama keresahan bersama, bukan lagi kompetisi eksistensi diri maupun organisasi yang semestinya dijadikan prinsip nurani. Sinisme antar sesama mahasiswa sudah semestinya dipangkas dari dimensi kampus yang sedang melatah ini, karena yang mestinya dilawan bukanlah peperangan reputasi eksistensi. Sesuai dengan hari penulisan opini ini, Hari Kebangkitan Nasional sangat tepat menjadi momen perenungan mahasiswa kampus kecil yang besar tuntutan dewasanya; dalam membaca berbagai kebobrokan iklim kampus kuning di Kota Sejuta Bunga ini.

Sudah semestinya seluruh mahasiswa Universitas Tidar tanpa terkecuali, menghayati Hari Kebangkitan Nasional dengan implementasi kebangkitan perjuangan kaum muda sesuai dengan masa dan masing-masing caranya. Ada banyak keresahan yang seharusnya dimengerti dampak jangka panjangnya apabila budaya otoriterianisme birokrat dan sinisme di kalangan sesama mahasiswa dibiarkan mewabah begitu saja di dalam kampus ini. Sengaja yang diangkat bukan perkara penindasan di luar seperti perampasan HAM apa saja yang harus diperjuangkan, sebab kembali pada sekian belas problematika yang menjadi sampel akan PR kampus ini menunjukkan bahwa ada banyak sekali pembenahan internal sumber daya mahasiswa yang semestinya ditata sedemikian rupa terlebih dahulu mulai dari penyadaran personal atas esensi mahasiswa itu sendiri yang selayaknya selalu dekat dan akrab dengan perjuangan-perjuangan kebenaran beserta keseimbangan kehidupan, karena itu semua merupakan tanggungjawab primer seorang pemuda yang berpengetahuan.

Semoga lekas terbangun dari ketertiduranmu, kampus kecilku yang besar tuntutan dewasanya, UNTIDAR Terkasih.

Panjang umur perjuangan!




Magelang, 20 Mei 2019.
Yang selalu merenungkan kepincangan kampus, ASF.

Kamis, 09 Mei 2019

Kata Tuhanku




Kelak;
Lelahmu akan menjadi alasan senyum simpul dalam matimu.

"Bersyukurlah, Sayang."
Begitu kata Tuhanku.



Magelang, 2019.

Kepada Ayah



Saat jeruji jari-jariku kian menyerupai jemarimu,
Aku tahu akan ada banyak luka yang membunga membesarkan jiwa
Sekaligus menyisakan lara pada palung hati ini,
Ayah.

Tiada lagi cerita gadis murung yang digendong lelaki terkasih dalam hidupnya
Tatkala ia marah pada dunia beserta manusia sekitarnya.
Pun
Tiada lagi air mata yang terusap selama nadi arloji berdetak.

Menjadi dewasa bukan perkara mudah,
Terlebih kian kemari hati kian dituntut untuk selalu berpemaaf;
Atas apapun yang menyayat nurani beserta pikirnya.

Aku rindu dekapan nan hangat itu.

Lukaku kian berkuasa; tanpa pamit ia tinggalkan penyakit-penyakit, Ayah.
Aku kian cemas atas kehidupan.
Langkahku tak bergeming di lorong sunyi,
Pun jejaknya kian gontai tanpa arah lampah.

Aku hancur selepas jauh darimu,
Ayah.


Magelang, 8 Mei 2019.

Kamis, 11 April 2019

Doa Gadis yang Ia Hinakan



Perkenalkan.
Aku
adalah yang ia perkosa karena ujarnya aku ini wanita yang tak kenal pahala dan dosa.

Aku
adalah yang ia cabuli sebab menurutnya aku ini tak kenal illahi.

Aku
adalah yang ia hakimi najisnya hanya karena bandingan dengan kesuciannya.

Aku
adalah yang ia rajam selangkangannya hanya karena dianggap pelacur yang tidak jauh lebih theis daripada dirinya;
yang padahal sekadar beragama berdasar dogma.

Perkenalkan.
Aku
adalah yang selalu ia ibliskan;
ia najiskan
pun ia kafirkan.
Padahal ia belum tentu lebih manusia daripada aku.

Semoga
Tuhan yang ia sembah
lekas mempulangkan akal sehatnya beserta nuraninya.



Magelang, 11 April 2019.

Selasa, 09 April 2019

Kita Pisah di Persimpangan Ideologi


Jujur aku enggan kembali.
Cemas; terbayang-bayang hati yang pernah dicabik dimaki manusia yang padahal selalu aku rawat jiwanya. 

Hanya karena aku tak sempurna;
bahkan perkenalan yang sejauh ini terbangun runtuh begitu saja.

Aku tak mampu memberi kebutuhan hati,
terlepas dari konteks rasa;
ternyata aku tak pernah dianggap sebagai manusia sesamanya sejauh ini,
olehnya; manusia yang selalu kuanggap kekasih fiksi.

Tak mudah memang menghadapi ini semua.
Aku hanya mengkhawatirkan semesta turut murka,
sebab ia selalu sepihak denganku.

Aku cemas dunia turut membenci manusia macam ini,
sebab laraku selalu dibalas dendamnya oleh kehidupan di bantalan karma;
tanpa melibatkan tangan dan kakiku sendiri.

Semoga saja lukaku tak merambah kemana.

Teruntuk dikau,
aku memang jauh dari kata layak untuk kau anggap manusia;
tetapi ketika berbicara manusia,
ingat saja aku tetap membenci manusia theis yang tumpul nuraninya,
karena Tuhan pernah menjanjikan surga yang realistis padaku;
bukan macam kau yang tega hati menginjak manusia peduli hanya karena kepala kumuh yang tersekat dogma surga ilusi.

Aku tahu ini hati masih terlalu mencintamu.

Meski rasa masih terawat dalam beku dan rengkuhnya,
Jiwaku sendiri masih membencimu secara utuh rupanya.

Sial,
Sebesar apapun laraku, semua tak sebanding keteguhan ini hati untuk tetap mengaminkan namamu sebagai sosok penggenap ganjilku.

I,
Kasihku.
Adakah cara yang akan kau tawarkan lagi untuk lebih melindas nurani ini sebagai bangunan jiwa juga rasa sejatinya wanita?
Beri aku satu peyakinan mengapa aku harus berhenti mencintamu hanya karena keadaan;
yang menyimpul aku kiri yang terlalu ngiri sedang kau adalah kanan yang terlalu nganan.
Kita pisah dan saling membelakangi di persimpangan ideologi.


Magelang, 10 April 2019.

Selasa, 02 April 2019

KM Untidar Terkunci di Rumah Sendiri; PBSI Sedih Sedan Ini


     “21.00 WIB” saat ini menjadi momok seluruh mahasiswa penggiat kampus malam. Gamelan Bengkel Seni yang delapan jutaan per-nganu (katanya) terancam bisu, tulang otot para atlet UKM Olahraga terancam mengerak, pita suara PSM Grandio Sonora Tidar terancam amblas terseret cekikan riak yang tak tergerak, toa masjid kampus terancam tuli dari gemingan adzan muadzin UKAI bahkan nyaris tak ada lagi jamaah subuh di kampus tercinta ini. Pun Pramuka, Resimen Mahasiswa, Mapala, terancam tak memiliki tamu yang menjadi saudara lagi hanya karena pintu-pintu sekretariat mereka terkunci tanpa kunci, kajian-kajian para jurnalis UKM LPM Mata terancam tersekat aturan yang begitu mengikat, serta entah keresahan apa lagi yang dirasa UKM Kristiani, UKM Koperasi Mahasiswa, UKM UBC Radio dan UKM KSR.

     Terlepas dari UKM, entah bagaimana nasib kanal dialektis malam aktivis ORMAWA Pemerintahan KM Untidar. Mulai dari fungsionaris BEM dan DPM KM, BEM dan DPM Fakultas, hingga Himpunan Mahasiswa Jurusan dan Himpunan Mahasiswa Program Studi. Program kerja kini tak lagi diaminkan terlaksana hingga kampus mengantuk, bahkan segala rapat persiapan dan pengonsepan ini itu tak diperkenankan dirapatkan saat malam hari di rumah sendiri. Sungguh betapapun semua ini menyedihkan sekali.

   Tunggu dulu, kita juga perlu menilik ruang yang lain. Masih ada Organisasi Mahasiswa Daerah alias ORMADA, komunitas-komunitas pengembangan, serta adapun Himpunan Mahasiswa Bidikmisi Untidar (HIMADIKTAR) yang padahal [JUGA] butuh kanal malam untuk berdialektika membicarakan segala kepentingan mahasiswa bahkan diskusi cacian pada dunia.

   Siapa yang tak kenal Program Studi  kami, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang sejatinya kami identik dengan pentas Apresiasi Karya Sastra (AKS) PBSI semester 3, Pentas Drama PBSI semester 4, dan pentas Ilmu Perbandingan Bahasa Nusantara (IPBN) PBSI semester 5?

   Kami pikir, seisi kampus rasanya tak asing dengan suguhan-suguhan itu semua dari rumah kami, PBSI. Tetapi kini? Semua serba resah. Latihan tak lebih dari jam 9 malam; kemudian terancam diusir dari kampus, apakah kami hanya akan menampilkan suguhan dagelan spontan ala sentilan teruntuk petinggi pemegang putusan kebijakan?

    Selepas ulur tangisan dari segala perenungan kami di keharusan ruang akademik, lalu apa kabar nasib Sumber Daya Mahasiswa KM  PBSI yang padahal tersebar rapih di beberapa UKM kampus ini terutama di UKM yang beraroma seni tetapi kini ranah gerak pengembangannya tak lagi terfasilitasi?

     Terlepas lagi dari dua substansi ini, bagaimana nasib nyawa ORMAWA Pemerintahan Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (HIMAPRODI PBSI) yang padahal program kerja-program kerjanya pasti kental dengan semerbak sastra yang hanya dapat kami sajikan secara betul di malam hari? Seperti hajat besar Gelar Sastra salah satunya. Pun entah bagaimana kabar kegiatan hajat tahuban "Penulusuran Minat dan Bakat Penalaran" alias [PEMANTAPAN] Mahasiswa Baru yang sejatinya rutin dilaksanakan berhari-hari bermalam di kampus ini?

    Jika pada akhirnya memang terpaksa Pentas Drama semester 4 ini harus secara terpaksa dilaksanakan di luar kampus; seperti di balai RW misalnya, lalu  mau dikemanakan esensi hajat besar ini? Mau di-apakan nasib citra kampus ini?

     Mahasiswa di sini disandung larinya, ditangkis strategi geraknya, dibunuh kemerdekaannya, dibungkam pekikan juga suaranya, bahkan dibatasi pola pengembangannya. Lantas, mau jadi apa kampus kita yang sesungguhnya? Haruskah kami menyewa gedung dengan dana swadaya sekian kepala dan nyawa mahasiswa hingga jutaan nominalnya? Bagaimana nasib anakan manusia menengah bawah? Sungguh betapapun mahalnya bahagia kami di ruang proses penempaan diri.

       Setiap kebijakan pasti ada lebih dan kurangnya. Naas, kami belum terlepas dari belenggu cultural shock atas perubahan yang digaungkan ini. Kami masih saja merenungkan nasib esensi kesastraan dari rumah kami. Entah bagaimana nasib yang dijanjikan pada pengembangan mahasiswa.

   Haruskah kami menjadi generasi kutu buku yang dungu? Entah apa yang bisa terdefinisi lagi ketika napas kemahasiswaan kami dipangkas dari jeruji seni. Entah apa jadinya ormawa tanpa malam yang dialektis. Tak bisa dipungkiri, memang beginilah keaslian kenestapaannya. Semua penuh kata [ENTAH].

    Sedari 1 April, sepanjang malam Keluarga Mahasiswa UNTIDAR terkunci di rumah sendiri, kami pun selaku kaum dari poros PBSI akan merutin bersedih sedan ini.

Selamat jalan, Euforia Kaum Sastra.




                                   Jember, 3 April 2019.

                                       Ade Safri Fitria

Minggu, 24 Maret 2019

Dialog Mono


Diam tak bercakap sepatah kata
Mewakili perasaan yang asa
Tanpa berujar semua tak sampai

Aku sadar bahwa mencinta paling dewasa berarti mengikhlaskan segala, hingga melepas menjadi taruhan juangnya.

Karsaku pergi
Membawa rasa dan raga yang akan mati
Hingga suatu saat nanti
Kaupun akan mati

Yang runtuh mustahil kembali utuh,
Yang hilang mustahil kembali datang

Aku dan kau
Tersakiti lara yang imbang


Magelang-Purwokerto, 25 Maret 2019.

Sabtu, 16 Maret 2019

Surat Kasih Teruntuk yang Terkasih, Himaprodi PBSI Kabinet Candra Swadesi


Di bawah langit sore 16 Maret 2019 aku menulis surat kasih teruntuk yang terkasih, Himaprodi PBSI Kabinet Candra Swadesi 💙



Tidak pernah ada pertemuan di luar kesengajaan.
Saling bertatap, mengenal, saling sayang hingga menjaga, itulah yang sedang aku renungkan di celah sore yang terangkul eluh dinding langit.


Mengenal satu persatu memang butuh waktu, tetapi untuk jatuh hati terhadap kalian rasanya aku benar-benar tak butuh alasan.
Ya, aku mencintai, kamu, dia, mereka, semua.


Aku adalah gadis rantau yang terlahir dari rahim putri adam yang miskin.
Makanpun kerap kesulitan, lantas apa yang kalian harapkan dari kepemimpinanku?
Pemimpin ujung tombak dan ujung tombok?
Maaf aku tak sebesar dan sekaya itu.
Hati, hanya itu yang kumiliki.


Terlepas dari hati, aku tak bisa mengemas proker secara rapih sebab memang bukan itu yang aku cari di segala organisasi.
Aku hanya mencari makna sejatinya kemanusiaan, Seperjuangan.


Kalian adalah manusia pilihan yang bodoh.
Sebab orang pandai sudah pasti lebih memilih untuk damai dengan jiwa mudanya, bermain ke sana kemari; menyantap kisah romansanya, bahkan sekadar nge-GABUT di setiap harinya.
Lantas kalian?
Ah ya, di situlah bodohnya kalian sekaligus aku; yang lebih memilih mencari kelelahan dan kejenuhan.


Satu persatu lembar harap yang kalian tulis seharian ini, telah kubaca, Sayang.
Tidak ada harapan buruk; tentu.
Mengidamkan Himaprodi PBSI sebagai ruang kemanusiaan yang solid, menjaga kekeluargaan secara penuh, menjelma lembaga yang sadar akan peranan, juga menjadi kawah candra dimukanya kader militan yang memiliki karakter unggulan.
Kurang lebih seperti itu simpulan asa dari kalian dan para demisioner pengurus himpunan.
Ku harap semesta turut mengaminkan.


Segala embanan tugas telah menanti di depan sana, Pedjoeang.
Hari-hari yang melelahkan telah siap untuk mencabik nurani.
Tetapi jangan lupa; amanah tidak pernah terjatuh di pundak yang salah.


Aku ingin sekadar berbagi kutipan dari kawan juangku di lain ruang;

"Cintailah pilihanmu, jika tak bisa; maka pilihlah yang kau cinta." - NAH

Artinya ketika kita telah memilih untuk bersama-sama ada di sini, apapun yang terjadi itulah yang harus tetap kita pertanggungjawabkan.


Hanya kepada ufuk aku mengadu, ada cinta yang melebihi ketabahan hujan yang bisa ku bagi pada manusia-manusia pilihan seperti kalian, Seperjuangan.


Terima kasih, semoga tiada sungkan menjadi keluarga daripada langkah juangku.

Aku sayang kalian!



Dariku, 
Yang mencintai kalian;
Ade Safri Fitria. 
💙💙💙




#HimaprodiPBSI #kabinetcandraswadesi #satuhatisatumimpi #pbsibersinergi #pbsiberaksi

Jumat, 08 Februari 2019

Wahai Pujangga


Wahai pujangga,
Adakah disana kau mengenang rangkaian kisah yang telah lalu?

Wahai pujangga,
Adakah disana kau mengingat kupu-kupu yang setia menanti kumbang dengan jiwa yang terbalur rindu?

Wahai pujangga,
Adakah disana kau mengerti segala anyaman diksi yang selama ini ku persembahkan untukmu?

Wahai pujangga,
Adakah disana kau terniang kisah juang yang telah luntur pudar termakan waktu?

Wahai pujangga,
Adakah disana kau mendengar bisik relung sukmaku?

Wahai pujangga,
Pahamilah segala sandi nan penuh teka-teki yang selama ini ku beri.


Bumiayu, 16 November 2016.

AKU




Aku adalah aku
Akan tetap seperti itu
Meski dikau tak lagi membersamai langkah tualang kehidupanku
Aku tetap menjadi kata yang setia mencari makna